• Home
  • Disclaimer
  • Iklan
  • Redaksi
  • Donasi
  • Copyright
Selasa, 20 Mei 2025
Islampos
  • Home
  • Beginner
  • Tahukah
  • Sirah
  • Renungan
  • Muslimbiz
    • Muslimtrip
  • Berita
  • Cari
Tidak ada Hasil
View All Result
  • Home
  • Beginner
  • Tahukah
  • Sirah
  • Renungan
  • Muslimbiz
    • Muslimtrip
  • Berita
  • Cari
Tidak ada Hasil
View All Result
Tidak ada Hasil
View All Result
Islampos
Home Fiksi

Pesan Pendek Anas

Oleh Saad Saefullah
6 tahun lalu
in Fiksi
Waktu Baca: 4 menit baca
A A
0
Foto: deviantart

Foto: deviantart

98
BAGIKAN

Oleh: Muhammad Walid Khakim, muhammadwalidkhakim333@gmail.com

SUDAH seperti sebelumnya, Anas selalu menangis ketika tahu ibunya tak ada di rumah. Biasanya ia segera tanyakan hal itu pada bapak Slamet, tetangga sebelah, tapi pagi ini ia tak menemukan siapa-siapa ketika pulang sekolah. Ia hanya duduk, dan menunggu di rumah dengan air mata yang membasahi piagam penghargaan yang baru didapatkannya.

Lima menit setelah menangis dan meletakkan piagam basah dan tas, Anas minum air putih dengan genggaman pulpen di tangan kiri. Sementara pandangannya tak jauh-jauh dari piagam yang ia letakkan dengan posisi terbalik di atas meja makan.
Aku harus menulis pesan.

Ia merenggutnya dan menulis dengan tulisan yang sangat jelek dan tak mudah dibaca.

ArtikelTerkait

Tapi Ini Tanah Kami, Meski Duka dan Mati Tertanam di Sini

Hidup Itu Seperti UAP… Puisi Terakhir WS Rendra

Suamiku Mantan Majikanku

Gadis Cantik Sebagai Anugerah Tuhan

Setelah itu, ia buru-buru ganti pakaian di kamar dan menutup pintu rumah, ke luar untuk mencari ibunya.

BACA JUGA: Disaster Jono

Sepanjang jalan ia menangis. Rumah-rumah yang ia lalui tak ada tanda-tanda kehidupan. Orang-orang menghilang. Termasuk juga teman-teman yang sering ia ajak bermain. Pohon-pohon seperti beku dan ogah-ogahan disuapi pertanyaan. Hanya angin yang berembus, itu saja pelan dan lemah. Sementara pongah matahari di tengah hari, kian membakar kulit tipis bocah itu ketika berjalan menerjangnya.

Ke mana mereka? Ke mana ibu? Ke mana aku harus pergi?

Ia terus berjalan sampai kelelahan dan berteduh di bawah pohon asem dekat gardu jaga. Di sana juga tak ada siapa-siapa. Padahal biasanya Pak Kitno, Pak Sukri, Pak Dewo, dan Mamat tengah asyik main kartu dan membiarkan televisi menyala. Ke mana mereka sekarang? Ia makin bingung. Air matanya terasa habis. Yang tersisa hanya kekosongan, dan pertanyaan tanpa jawaban.

Gardu itu berukuran 2 x 2 meter, cukup untuk menaruh kentongan, tikar yang tergulung, televisi yang mati, dan juga sekotak kartu bridge yang diselipkan di antara televisi dan tikar yang lumayan tinggi. Ia belum mampu menggapai letak tombol televisi itu, sehingga ia sedikit melompat dan menimbulkan suara gemeretak di amben tua yang diinjak kakinya.

Setelah lima kali usaha yang lumayan gigih, akhirnya ia berhasil menarik kotak kartu bridge itu. Tapi sedikit limbung ketika mendarat.
Aku harus menulis pesan. Seperti kata Bu Ratri—kita bisa menebak itu gurunya—bahwa, “Kalau kehilangan sesuatu, kita harus mencari tahu. Dan kalau sedang mencarinya, kita harus meninggalkan pesan. Siapa tahu, orang-orang tahu dan mau mengerti kalau kita membutuhkan bantuan mereka.”

Ia menarik 56 kartu dari dalam kotaknya, dan segera mencomot pulpen yang sempat ia selipkan di celah saku celana depannya. Ia menulis pesan di tiap-tiap kartu itu dengan tulisan seperti sebelumnya: jelek, tidak menarik, acak-acakan, dan lebih seperti coretan kaki ayam.

Advertisements

Ia menarik napas lega.

Ditatapinya sekeliling gardu, dan masih tak ada orang.

Ke mana mereka? Apakah mereka bosan tinggal di desa? Tapi aku tak mau sendirian.

Ia berpikir keras, sehingga menimbulkan kerut-merut di keningnya. Mungkin lebih baik aku menempel kartu-kartu ini di pinggir-pinggir jalan. Tapi aku membutuhkan lem.

Ia ingat, cuma ada satu warung di desa itu. Karena itu, warung milik Mbah Bandiyah nampak gemuk dan segar. Tanpa pikir panjang ia menenteng sekumpulan kartu dan meninggalkan pulpen birunya di amben gardu.

Setibanya di warung, ia juga tak menemukan siapa-siapa. Padahal ia ingat, di sekolah ada cucu Mbah Bandiyah yang juga ikut lomba Siswa Teladan tingkat kecamatan bersamanya. Tapi ke mana dia? Bukankah tadi ikut pulang bersamaku?

Tanpa permisi, ia merenggut lem setelah mengobrak-abrik lapak Mbah Bandiyah yang tidak ditutup. Akhirnya.

***

“Innalillahi wainna ilaihi roji’uun,” sekelompok orang-orang—pria dan wanita—itu mengelus dada.

Seseorang di antara mereka yang sepertinya paling tua, akhirnya angkat bicara berusaha memecah keributan di tengah jalan raya,

“Memang takdir, tak bisa diputar kembali. Kita….”

BACA JUGA: Negeri Tanpa Kepala

“Hus hus, dengar. Pak RT lagi ngomong.” Mereka saling sodok. Dan sekejap, keriuhan yang tak jelas itu berubah jadi lautan kesepian.

Pak RT masih meneruskan kalimatnya dengan menatap jenazah yang setelah sebelumnya dilindas truk besar muatan kayu hutan.

“Apapun kehendak Allah, kita wajib menghormati. Kalau seperti ini, musibah tetap jadi musibah. Semua ribut. Tak ada yang turun tangan. Harus disodok dulu baru mengerti. Ini memang bukan salah kita. Truk itu telah lari, dan ini jadi tanggung jawab kita untuk segera menguburnya.”

“Tapi, Pak. Mayat itu gepeng dan rata dengan aspal. Kita tak mungkin bisa menguburkannya.”

“Kalau begitu, biar aku yang mengangkatnya.”

Jalanan itu memang selalu sepi. Hanya saja, masyarakat setempat kurang hati-hati sehingga menjadi rawan kecelakaan.

Tak ada yang mampu mengenali siapa pemilik wajah mayat itu. Hanya darah yang tercerer sampai ke tepi jalan. Dan juga gepeng.

Tapi mereka jelas tahu, setelah saling pandang dan ada salah satu dari mereka yang tak kelihatan batang hidung dan kepalanya.

“Innalillahi wainna ilaihi roji’uun,” mereka kembali mengulangi kalimat tarji’ ketika sama-sama mengeruk dan mengumpulkan mayat gepeng itu. Sebelum akhirnya mereka kembali memasuki desa dan memunggungi jalan raya yang masih tertinggal ceceran darah dan bekas siraman.

***

Anas pulang dan tak tahu harus berbuat apa. Ia merebahkan tubuhnya di depan televisi, dan menonton kartun kesukaannya: Adit, Sopo, dan Jarwo. Ia cekikan sendirian menonton kekonyolan Jarwo yang gagal mengendarai motor Harley Davidson sehingga menghebohkan banyak orang ketika motor itu menyusuri jalan. Ia tertawa lebih keras, terlebih mengingat apa yang ia lakukan hari ini.

Tapi tak berapa lama, ia mendengar suara lain. Suara yang terdengar sepertinya: cekikian. Lantas tanpa basa-basi, ia mengecilkan suara televisi. Suara cekikikan itu bertambah keras. Memenuhi rumah. Bahkan mungkin meluber ke luar rumah dan menemplok di jalan.

Ia mematikan suara televisi, sedikit merinding, dan mengendap-endap menuju arah datangnya suara yang hampir dikenalinya itu.
Ketika menyibak tirai kamar, ia menemukan seorang wanita yang tengah melotot sambil menggenggam piagamnya. Beberapa menit, mereka saling pandang. Bocah itu tahu, ia telah lalai memeriksa kamar orangtuanya. Ada sedikit kengerian di kepala Anas, ketika mata wanita itu juga melotot ke arahnya.

“Ibu!”

Anas terpekik ketika ibunya berlari menyongsongnya dan menyerang dengan pisau dapur. Darah meluber ke mana-mana dari kulit kepala bocah itu. Perempuan itu menangis lebih keras dengan diselingi cekikikan.

Sementara di jalanan desa, orang-orang terpaku di hadapan sederetan kartu bridge yang tertempel di tiang-tiang listrik. Mereka memandang lekat-lekat coretan tak jelas di punggung kartu-kartu itu.

BACA JUGA: Kiara Payung

Kalau ibu tidak pulang, aku akan membunuh ayah.

Anas

Pak Slamet, pembawa jenazah yang terbungkus di plastik putih itu berseru kepada seorang tertua yang berada di iringan paling depan, “Pak RT! Kita harus segera ke rumah Pak Mono, dan memberitahu Anas kalau bapaknya meninggal. Kalau tidak, pasti dia menangis terus. Kasihan.”

“Jangan. Kita harus menguburkan almarhum lebih dulu. Pasti istrinya sudah memberitahu.” []

Biodata: Penulis kelahiran Purworejo, Jawa Tengah, Ia aktif menulis di sela-sela kegiatannya sebagai produsen bata merah.

 

Tags: anak ibucerita pendekcerpenfiksipesan pendek
Share98SendShareTweetShareScan
Advertisements
ADVERTISEMENT
Previous Post

Innalilahi, Ustadz Majer—Ketua Pemuda Hijrah Purwakarta—Meninggal Dunia

Next Post

Ibu Tak Bahagia = Istri Stres?

Saad Saefullah

Saad Saefullah

Lelaki. Tidak terkenal. Menyukai kisah-kisah Nabi dan Para Sahabat.

Terkait Posts

Palestina, Semangka, tanah, Pelajaran dari Gaza, Palestina, Palestina

Tapi Ini Tanah Kami, Meski Duka dan Mati Tertanam di Sini

6 November 2023
Hadits tentang Sabar, Konsultasi Kesehatan, Puisi Terakhir WS Rendra

Hidup Itu Seperti UAP… Puisi Terakhir WS Rendra

10 Oktober 2023
KDRT, Balasan bagi Orang yang Suka Memaki dan Menyakiti Orang Lain, Suamiku

Suamiku Mantan Majikanku

17 Agustus 2023
cantik, Rukun Islam, Amal Penghapus Dosa

Gadis Cantik Sebagai Anugerah Tuhan

9 Maret 2023
Please login to join discussion

Tulisan Terbaru

Manfaat Tidur di Awal Malam, Bahaya Tidur Sore untuk Kesehatan, Penyebab Tidur Tidak Teratur, Ketindihan, Tidur di Awal Malam, Cara Mengatasi Insomnia, Adab Tidur

Adab-adab Tidur

Oleh Haura Nurbani
20 Mei 2025
0

Keutamaan Pembaca Quran, Orang yang Dirindukan Surga, Surat Al-BAqarah, Adab Membaca Al-Quran

Wahai Jiwa, Kenapa Engkau Enggan Baca Quran?

Oleh Haura Nurbani
20 Mei 2025
0

Hal yang Bisa Jadi Kita Sedekahkan, Keutamaan Sedekah

Wahai Jiwa, Mengapa Engkau Enggan Sedekah?

Oleh Dini Koswarini
20 Mei 2025
0

mandi

Apa yang Terjadi Jika Kita Tidak Mandi Selama Satu Bulan? Ini 8 Dampak Seriusnya!

Oleh Yudi
20 Mei 2025
0

cicak

5 Penyakit yang Bisa Ditimbulkan Akibat Banyak Cicak di Rumah

Oleh Yudi
20 Mei 2025
0

Terpopuler

7 Jenis Pakaian yang Tak Boleh Dipakai saat Shalat: Panduan dari Syariat Islam

Oleh Yudi
19 Mei 2025
0
wanita, shalat, pakaian

Pakaian yang tipis hingga memperlihatkan warna kulit atau bentuk tubuh secara jelas tidak memenuhi syarat menutup aurat.

Lihat LebihDetails

Cara Singkat Tulis ‘Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam ﷺ di Microsoft Word, Ini Dia

Oleh Saad Saefullah
19 Oktober 2024
1
Nabi Muhammad Keutamaan Membaca Sholawat, Waktu Terbaik Bershalawat, Sholawat, Ciri Fisik Rasulullah, Wasiat Nabi Sebelum Wafat, Cara Bershalawat yang Benar kepada Nabi, Keistimewaan Rasulullah, Kebiasaan Nabi Muhammad ﷺ, Rasulullah

Selain untuk membuat karakter shalawat tersebut, kita juga bisa membuat lafadz Allah (ﷲ), Muhammad (ﷴ), Basmalah (﷽), Jalla Jalaluhu (ﷻ)...

Lihat LebihDetails

Jika Suami Tolak Ajakan Istri

Oleh Saad Saefullah
28 Mei 2022
0
Hukum Air Liur Kucing

Keduanya suami dan istri saling berkewajiban untuk melakukan hubungan.

Lihat LebihDetails

Bagaimana Pandangan Islam Terhadap Teknologi?

Oleh Yudi
21 Februari 2021
0
Foto: Unsplash

Fakta itu terungkap berdasarkan pengamatan para sejarawan sains Barat di era modern terhadap sejarah sains di Abad Pertengahan.

Lihat LebihDetails

Daftar Makanan Tinggi Gula yang Sering Dikonsumsi Anak-anak, Apa Saja?

Oleh Haura Nurbani
19 Mei 2025
0
Diabetes pada Anak

Makanan-makanan ini kerap tampak "biasa saja", namun sebenarnya mengandung gula dalam jumlah tinggi yang bisa berdampak pada kesehatan jika dikonsumsi...

Lihat LebihDetails
Facebook Twitter Youtube Pinterest Telegram

© 2022 islampos - Membuka, Menginspirasi, Free to Share.

Tidak ada Hasil
View All Result
  • Home
  • Beginner
  • Tahukah
  • Sirah
  • Renungan
  • Muslimbiz
    • Muslimtrip
  • Berita
  • Cari

© 2022 islampos - Membuka, Menginspirasi, Free to Share.