• Home
  • Disclaimer
  • Iklan
  • Redaksi
  • Donasi
  • Copyright
Selasa, 24 Juni 2025
Islampos
  • Home
  • Beginner
  • Tahukah
  • Sirah
  • Renungan
  • Muslimbiz
    • Muslimtrip
  • Berita
  • Cari
Tidak ada Hasil
View All Result
  • Home
  • Beginner
  • Tahukah
  • Sirah
  • Renungan
  • Muslimbiz
    • Muslimtrip
  • Berita
  • Cari
Tidak ada Hasil
View All Result
Tidak ada Hasil
View All Result
Islampos
Home Kolom

Benarkah Gelar Haji Warisan Belanda?

Oleh Yudi
7 tahun lalu
in Kolom
Waktu Baca: 5 menit baca
A A
0
Muslim memakai sorban. Foto: Jejak Islam

Muslim memakai sorban. Foto: Jejak Islam

1
BAGIKAN

BEBERAPA waktu ke belakang ini tersebar beberapa tulisan entah darimana sumbernya yang mengatakan bahwa gelar “haji” pada masa Indonesia masih dijajah oleh Belanda merupakan pemberian dari pemerintah Kolonial Belanda sendiri.

Hal demikian sengaja diberikan untuk mengawasi siapa-siapa saja yang yang telah menunaikan haji ke Mekah. Mereka penting untuk dikenali dan diawasi mengingat pemberontakan-pemberontakan terhadap pemerintah Belanda banyak dilakukan oleh mereka yang telah menunaikan ibadah haji ke Mekah.

Oleh sebab itu, untuk memudahkan Belanda mencegah kaum Muslim yang pulang haji melakukan pemberontakan, maka disematkanlah gelas “haji” di depan nama mereka. Benarkah demikian?

Jawaban atas pertanyaan di atas adalah “tidak”. Bahkan, kesimpulannya tergategori gegabah dan terlampau simplisistik. Kesimpulan sejarah simplisistik semacam ini sering muncul di tengah masyarakat Indonesia yang pada umumnya awam sejarah.

ArtikelTerkait

Amerika dan Penjajah Israel: Kemesraannya Seperti Abu Lahab dan Istrinya

Kala Bani Israil Mendominasi Pemberitaan

Sikap terhadap Bani Israil, dari Era Nabi Ya‘qub hingga Rasulullah ﷺ

Mendukung Iran? Belajar dari Era Shalahuddin Al-Ayyubi

Buku-buku sejarah dan kajian-kajian sejarah yang baik dan serius jarang menjadi bacaan masyarakat Indonesia. Oleh sebab itu, wajar bila cerita-cerita seperti di atas muncul. Tujuannya mungkin untuk menunjukkan bahwa menggunakan gelar “haji” bukan merupakan hal yang terpuji. Untuk itu perlu dicari legitimasi sejarah dari mana gelar itu datang.

Muncullah kemudian cerita rumor seperti di atas yang kalau dicari sumbernya amat sulit, karena seringkali hanya merupakan dugaan-dugaan yang kemudian menyebar menjadi cerita dari mulut ke mulut.

BACA JUGA: Bolehkah Berhaji untuk Orang Tua?

Sayang sekali, cerita semacam ini pada era media sosial yang amat cepat memassifkan informasi hanya dari sumber tunggal segera menjalar ke mana. Bahkan, kekuatan ceritanya semakin diperkuat manakala website milik ormas besar ikut menyebarkannya.

Sebut saja contohnya dalam “Asal-Usul Gelar Haji” yang dimuat di nu.or.id. Dalam situs ini dikutip pendapat Agus Sunyoto yang menyebut adanya “Ordonansi Haji” tahun 1916 yang mewajibkan penggunaan gelar haji untuk mengawasi para haji, karena umumnya sering menjadi pemimpin perlawanan di Indonesia. Pendapat ini kemudian di-copy paste oleh situs-situs yang lain dan menyebar secara massif ke mana-mana sehingga dianggap sebagai sebuah kebenaran.

Kelemahan pertama pendapat di atas adalah mengutip “Ordonansi Haji 1916”. Persoalannya bukan pada pengutipan atau penyebutan, melainkan pada keberadaan ordonansinya itu sendiri. Sepanjang periode Hindia Belanda (1800-1942) peraturan (ordonansi) mengenai haji terbit pada tahun 1825 tentang pembatasan kuota jamaah haji, 1859 tentang aturan pelaksanaan haji, dan 1922 yang berisi aturan tentang pelayanan haji yang lebih baik.

Tidak ditemukan sama sekali ada ordonansi haji tahun 1916. Kalaupun ada bukan ordonansi, melainkan pelarangan menunaikan ibadah haji oleh pemerintah terkait tengah belangsungnya Perang Dunia I yang dikeluarkan sejak tahun 1915, walaupun dalam praktiknya jamaah haji Indonesia tetap banyak yang berangkat meski jumlahnya menurun dari tahun-tahun sebelumnya. Pelarangan ini juga tidak ada kaitan dengan masalah ideologis atau gelar, melainkan terkait masalah keamanan perjalanan haji. (lihat: Saleh Putuhena, Historiografi Haji Indonesia, 2007: 170-173; Husnul Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda, 1996: 92-98).

Kedua, tidak benar bahwa gelar haji baru dipakai sejak tahun 1916. Bahkan, pernyataan ini menunjukkan keteledoran sejarah yang fatal. Berbagai fakta yang jumlahnya tidak terhitung banyak sekali yang menunjukkan bahwa gelar “haji” sudah dipakai sejak lama di Indonesia bahkan sejak sebelum Zaman Klonial. Salah satunya yang dikemukakan oleh Henri Chambert-Loir dalam Naik Haji di Masa Silam (2013: 33-34).

Ia menyebut bahwa pada tahun 1674, anak Sultan Ageng Tirtayasa dari Banten naik haji. Ia merupakan anak raja di Jawa yang pertama kali naik haji. Sepulang dari Mekah tahun 1675, ia kemudian disebut sebagai “Sultan Haji”. Sebelumnya, beberapa bangsawan Banten sudah berangkat haji juga pada tahun 1638 dan 1651. Sepulang dari Mekah, mereka menyematkan gelar “haji” di depan namanya, yaitu Haji Jayasantana dan Haji Wangsaraja, lalu Haji Fatah. Fakta ini menunjukkan bahwa sejak lama gelar “haji” sudah populer di Indonesia, dan sama sekali bukan buatan Belanda. Bila pada abad ke-17 saja gelar “haji” sudah populer, apalagi abad-abad selanjutnya. Pada saat Sarekat Islam didirikan tahun 1911, pendirinya sudah populer disebut “haji”, yaitu Hadji Oemar Said (HOS) Tjokroaminoto.

BACA JUGA: Haji Mabrur atau Haji Mabur?

Ketiga, mengenai gelar haji ini justru sikap Belanda malah ingin menghapuskannya, hanya saja mereka tidak sanggup melakukan itu. Hal ini terlihat jelas dari Ordonansi Haji tahun 1859. Salah satu ketentuan dalam ordonansi ini adalah bahwa sepulang dari Mekah mereka harus menempuh ujian mengenai masalah Mekah dan Islam. Hanya apabila mereka lulus ujian ini, barulah mereka dianggap berhak untuk mempergunakan gelar haji di depan nama mereka.

Ujian ini maksudnya untuk mengurangi pengaruh orang-orang haji yang tidak disenangi pemerintah terhadap masyarakat. Sebab, di masyarakat umum, mereka yang pernah pergi haji dan menggunakan gelar haji mendapatkan apresiasi yang lebih tinggi dari masyarakat. Agar mereka tidak berpengaruh lagi; atau minimal dapat mengurangi pengaruh mereka, maka penggunaan gelar “haji” justu ingin dihilangkan oleh Belanda. (Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia, 1993: 32).

Alasan ketiga ini semakin diperkuat dengan kenyataan bahwa pada masa lalu, terutama pada akhir abad ke-19 dan awal ke-20 posisi mereka yang pernah menunaikan ibadah haji ke Mekkah sangat penting dan strategis. Mereka yang melaksanakan ibadah haji pada masa itu, disebabkan faktor geografis, menyebabkan perjalanan haji menjadi perjalanan yang sangat penting.

Perjalanan haji bukan hanya sekedar menjadi perjalanan spiritual belaka seperti yang kita saksikan akhir-akhir ini setelah transportasi udara massal mudah diakses. Perjalan haji pada masa itu adalah juga perjalanan mencari ilmu dan membangun relasi internasional. Mereka pada umumnya bermukim di Mekah atau Jeddah dalam waktu yang cukup lama sebelum atau sesudah melaksanakan ibadah haji. Selama mereka berada di sana, sebagian besar menggunakannya untuk belajar dan membangun relasi internasional.

Selama mereka “ngelmu”dan membangun jaringan di Tanah Suci, terbangunlah kesadaran tentang kondisi tanah air mereka yang sedang terjajah sama seperti di belahan dunia Islam yang lain. Oleh sebab itu, tidak mengherankan apabila pada masa Kolonial Belanda banyak tokoh yang sepulang haji tampil menjadi tokoh-tokoh pergerakan yang memapu mempengaruhi masyakarat untuk melawan pemerintah Belanda. Salah satu yang cukup penting adalah munculnya gerakan pembaharuan Islam di Sumatera Barat yang sekaligus menjadi motor perlawanan terhadap Belanda, yaitu kaum Padri.

Cristian Dobbin dalam Gejolak Ekonomi, Kebangkitan Islam, dan Gerakan Padri Minangkabau 1784-1847 (2008: 198-202) menjelaskan bahwa munculnya para pemimpin Padri dan pengaruh mereka terhadap masyarakat tidak terlepas dari pengaruh yang didapatkan dari kawasan Hijaz sepulang haji. Pengaruh ini bahkan semakin kuat hingga mampu menggerakkan masyarakat untuk angkat senjata melawan Belanda pada Perang Padri (1833-1838).

BACA JUGA: Selametan Pulang dari Haji, Bagaimana?

Pengaruh gerakan para haji ini semakin menguat memasuki abad ke-20. Hasil ngelmu di Mekah dari guru-guru mereka dan kenalan mereka sedunia menginspirasi para haji ini untuk membuat suatu terobosan gerakan baru selain gerakan militer seperti para pendahulu mereka. Pendekatan baru yang dimaksud adalah pendekatan politik dengan cara mendirikan organisasi-organisasi gerakan yang cukup efektif untuk mendapat dukungan rakyat secara langsung.

Mula-mula Haji Samanhudi mendirikan Sarekat Dagang Islam (SDI) tahun 1905; lalu Hadji Oemar Said Tjokroaminota memperluas cakupan politiknya dengan mendirikan Sarekat Islam (SI) pada tahun 1911. Setahun berikutnya 1912 Haji Ahmad Dahlan yang pernah tinggal cukup lama di Mekah mendirikan organisasi Muhammadiyah yang berfokus pada pendidikan dan kegiatan sosial untuk membentengi umat dari pemurtadan. Tahun 1923 di Bandung Haji Muhammad Yunus dan Haji Muhammad Zam-zam mendirikan Persatuan Islam (Persis), Haji Abdul Halim mendirikan Persyarekatan Ulama di Majalengka, dan contoh-contoh lain yang jumlahnya cukup banyak. Gara-gara haji ini juga, para pengasuh pesantren akhirnya menempuh jalan para aktivis Islam dengan mendirikan Nahdhatul Ulama (NU) pada tahun 1926.

Munculnya gerakan-gerakan Islam tersebut semakin menekan posisi politik Belanda di tanah jajahannya ini. Oleh sebab itu, Belanda berusaha untuk menekannya supaya tidak berbahaya. Masuk akal bila tahun Ordonansi Haji tahun 1859 membatasi dan cenderung melarang penggunaan gelar “haji”, karena masyarakat memang amat menghormati gelar ini sejak lama. Ini jelas sekali menunjukkan bahwa gelar “haji” bukan pemberian Belanda, melainkan budaya yang sudah melekat lama di kalangan kaum Muslim di Indonesia. Wallâhu A’lam. []

Oleh: Tiar Anwar Bachtiar – Doktor Sejarah Universitas Indonesia, Pembina JIB

SUMBER: JEJAKISLAM

Tags: belandagelar hajihajiwarisan
ShareSendShareTweetShareScan
Advertisements
ADVERTISEMENT
Previous Post

Penjual Kerupuk

Next Post

Lima Orang Tewas dan Satu Hilang Akibat Banjir Bandang Tasikmalaya

Yudi

Yudi

Terkait Posts

Israel, Hamas

Amerika dan Penjajah Israel: Kemesraannya Seperti Abu Lahab dan Istrinya

24 Juni 2025
Antisemit, Yahudi, Israel, Israel, Bani Israil

Kala Bani Israil Mendominasi Pemberitaan

22 Juni 2025
Ibnu Abbas, Bani Israil

Sikap terhadap Bani Israil, dari Era Nabi Ya‘qub hingga Rasulullah ﷺ

21 Juni 2025
Shalahuddin Al-Ayyubi,

Mendukung Iran? Belajar dari Era Shalahuddin Al-Ayyubi

19 Juni 2025
Please login to join discussion

Tulisan Terbaru

Penyebab Datangnya Rezeki, Hukum Arisan, Nafkah yang Haram

Orang yang Mudah Didatangi Rezeki

Oleh Haura Nurbani
24 Juni 2025
0

Keutamaan Berbakti kepada Orangtua, Anak

Berapa Usia Anak dari Bapak Ini?

Oleh Haura Nurbani
24 Juni 2025
0

Syirik, Bahaya Vape untuk Kesehatan, Rokok, Kentut

Suami Suka Kentut Depan Istri, Istri Ga Suka, Bagaimana Hukumnya?

Oleh Saad Saefullah
24 Juni 2025
0

JISc

Banyak Diterima di UI, JISc Ungguli SMA Negeri Meski Terapkan 3 Kurikulum

Oleh Saad Saefullah
24 Juni 2025
0

fakta menarik tentang indonesia, fakta kopi indonesia, kopi

Inilah Negara yang Pertama Kali Temukan Kopi Sebelum Menyebar ke Seluruh Dunia

Oleh Yudi
24 Juni 2025
0

Terpopuler

5 Negara Paling Aman, Jika Terjadi Perang Dunia, Ternyata Ada Indonesia!

Oleh Haura Nurbani
23 Juni 2025
0
Alasan kenapa Hidup di Indonesia Itu Enak Banget

Berikut ini lima  negara yang dianggap paling aman jika terjadi perang dunia — dan ya, Indonesia termasuk di dalamnya!

Lihat LebihDetails

11 Adab Jima yang Harus Diketahui Pasangan Suami Istri

Oleh Saad Saefullah
18 Juni 2023
0
Adab Jima

ISLAM telah mengajarkan kita segala sesuatu, bagaimana kita makan, memakai pakaian. Apakah disana ada sunah yang menjelaskan bagi orang Islam...

Lihat LebihDetails

Jangan Dianggap Sepele, Ini 10 Dampak Perang Dunia Ketiga Jika Pecah

Oleh Yudi
23 Juni 2025
0
perang dunia, perang, kiamat

Seperti yang terjadi setelah Perang Dunia I dengan flu Spanyol, perang besar sering diikuti oleh pandemi mematikan.

Lihat LebihDetails

8 Ciri Orang Suka Berbohong dari Fisiknya

Oleh Yudi
20 Juni 2025
0
berbohong

Orang yang berbohong sering butuh waktu lebih lama untuk merespons, karena mereka “menyusun” cerita.

Lihat LebihDetails

Apa Ciri-Ciri Ginjal yang “Kotor” atau Tidak Sehat?

Oleh Saad Saefullah
23 Juni 2025
0
Bahaya Jantung ketika Sudah Kotor Lebaran, Ginjal, ginjal

Dalam istilah medis, ini bisa merujuk pada gangguan fungsi ginjal atau penyakit ginjal kronis.

Lihat LebihDetails
Facebook Twitter Youtube Pinterest Telegram

© 2022 islampos - Membuka, Menginspirasi, Free to Share.

Tidak ada Hasil
View All Result
  • Home
  • Beginner
  • Tahukah
  • Sirah
  • Renungan
  • Muslimbiz
    • Muslimtrip
  • Berita
  • Cari

© 2022 islampos - Membuka, Menginspirasi, Free to Share.