Oleh: Shafayasmin Salsabila
Pengasuh MCQ Sahabat Hijrah Indramayu
BAHAGIA membuncah di hati seorang ibu, saat kelahiran buah hatinya. Segala perlengkapan jauh-jauh hari dipersiapkan. Menyambut malaikat kecil, buah dari perjuangan selama sembilan bulan lebih menjaganya dalam kandungan. Namun bagaimana bila bayi itu terlahir pada hari-hari bencana tiba?
Pil Pahit Pascagempa
Sepekan berlalu setelah gempa, Lombok masih sulit bernafas. Duka menyelimuti pulau seribu masjid. Guncangannya hanya beberapa detik, namun melahap ratusan nyawa, meremukkan rumah, bangunan serta apa saja yang menempel di atas permukaan bumi. Aktivitas warga lumpuh total dan sejumlah ibu terpaksa melahirkan di posko kesehatan pengungsian.
Sejak gempa terjadi, terhitung sudah ada empat bayi yang lahir di posko pengungsian di Kecamatan Pemenang, Lombok Utara. Sementara, masih ada sejumlah ibu lainnya yang sedang menunggu saat kelahiran bayinya. (Liputan6.com, 12/8/2018)
BACA JUGA: Arab Tua InsyaAllah Ahli Surga
Bayangan tentang pakaian bayi, kasur mungil nan empuk, selimut berwana pastel serta kelambu yang mencegahnya dari serbuan nyamuk, musnah. Sekadar bisa memastikan si jabang lahir dengan selamat, itu sudah luar biasa. Kehidupan sulit dan serba terbatas menjadi pil pahit. Mereka yang menjadi korban gempa adalah saudara kita. Getir ini milik bersama, duka Lombok berarti duka kita. Ada hal besar yang harus kita lakukan agar bencana serupa tidak berulang.
Memaknai Gempa
Siapa yang mampu menjungkirbalikkan bumi, jika bukan Sang Pencipta? Fenomena alam termasuk gempa di Lombok, terjadi bukan tanpa alasan. Gempa yang berpusat di darat utara Gunung Rinjani, merupakan jenis gempa bumi dangkal akibat aktivitas Sesar Naik Busur Belakang Flores (Flores Back Arc Thrust). Gempa bumi ini dibangkitkan oleh deformasi batuan dengan mekanisme pergerakan naik (wikipedia.org).
Lalu pernahkah terlintas dalam benak, siapakah yang memerintahkan batuan tersebut bergerak?
Empat belas abad silam, Allah Swt telah memperingatkan dalam beberapa ayat:
“Apakah kamu merasa aman terhadap Allah yang (berkuasa) di langit bahwa Dia akan menjungkir balikkan bumi bersama kamu, sehingga dengan tiba-tiba bumi itu bergoncang?” (TQS. Al Mulk [67]: 16).
“Apakah mereka tidak melihat bahwa sesunguhnya Kami mendatangi bumi, lalu Kami mengurangi bumi itu (sedikit demi sedikit) dari tepi-tepinya? Allah menetapkan hukum (menurut kehendak-Nya); tidak ada yang dapat menolak ketetapanNya (TQS. Ar-Ra’d [13]: 41).
Sebagian ahli tafsir menerangkan bahwa maksud dari “Kami mengurangi bumi itu (sedikit demi sedikit) dari tepi-tepinya” adalah dengan tenggelamnya sebagian bumi, gempa dan berbagai macam bencana. Semua ini semata-mata atas kehendak Allah sekaligus menjadi bukti kekuasaanNya.
Antara Ujian dan Teguran
Sejatinya, bencana alam adalah bagian dari ketetapan Allah. Menjadi ujian bagi orang yang beriman serta peringatan bagi pelaku maksiat.
Saat bumi diperintahkan untuk berguncang, Allah hendak mengaktifkan kembali getaran iman di dada. Seyakin apakah seorang hamba kepada Penciptanya? Pil pahit bencana akan menyehatkan ruhiyah dan nafsiyah seseorang yang ikhlas dalam menerima setiap takdir. Tiadalah bencana kecuali membawa kedekatan serta perasaan butuh kepada Allah. Tersadar bahwa hanya kepada Allah sajalah tempat bersandar. Dari sana, keimanan kian terpancar.
Sebaliknya bagi pelaku maksiat, gempa menjadi satu teguran. Tamparan yang semestinya membawa pada kesadaran. Allah murka saat manusia menjadi penentang yang nyata. Menyalahi aturanNya.
Disebutkan oleh Imam Ahmad, dari Shafiyah ra., beliau mengatakan, “Pernah terjadi gempa di kota Madinah, di zaman Umar bin Khatab radhiallahu ‘anhu. Maka Umar bertanya kepada penduduk Madinah, “Wahai manusia, apa yang kalian lakukan? Betapa cepatnya maksiat yang kalian lakukan. Jika terjadi gempa bumi lagi, kalian tidak akan menemuiku lagi di Madinah.”
Sebagai seorang pemimpin yang cerdas, Umar bin Khattab ra., mampu memahami korelasi antara gempa dengan kemaksiatan yang dilakukan rakyatnya. Tentu pemahaman tersebut lahir di atas dalil.
BACA JUGA: Berusia 300 Tahun, Masjid Bayan di Lombok Tetap Kokoh Meski Diguncang Gempa
Allah berfirman: “Tidaklah kami mengirim tanda-tanda kekuasaan itu (berupa musibah dan sejenisnya), selain dalam rangka menakut-nakuti mereka.” (QS. Al-Isra’: 59).
Dimana ada maksiat maka di situ ada teguran. Maksiat adalah perbuatan yang telah Allah haramkan atas manusia terutama Muslim. Balasannya adalah siksa pedih di neraka. Namun terkadang para hamba lupa betapa dahsyatnya azab Allah. Maka Allah timpakan bencana alam sebagai satu pengingat. Hanya sebagai sedikit gambaran agar mata terbelalak. Kembali ingat akan kekuasaan Allah. Hingga manusia merasa takut dan berhenti dari kemaksiatan.
Menjawab dengan Takwa
Tiadalah kerusakan di darat dan di laut kecuali karena ulah manusia itu sendiri. Dari bencana, Allah berkehendak agar kita kembali ke jalan yang benar. Karenanya, inilah saat yang tepat bagi kita untuk melakukan introspeksi. Apatah bencana demi bencana yang terjadi belakangan ini disebabkan sikap manusia yang meninggalkan aturan Allah. Mari bercermin, tidakkah diri bergelimang dengan maksiat dan dosa.
Jika kita cermati, kemaksiatan di negeri ini menjadi hal yang lumrah, bahkan dilakukan secara terang-terangan. Rasa malu seakan hilang, kehidupan liberal diagungkan. Hawa nafsu dijadikan acuan. Sedang aturan Islam diabaikan. Beberapa diantaranya malah dikriminalisasikan. Predikat fanatik dan radikal siap-siap menyasar setiap orang yang teguh berIslam secara totalistas.
Maka patutlah untuk kita berjuang membalik keadaan. Mengembalikan kehidupan Islam, demi tertunaikannya hak Allah untuk diibadahi. Berhenti membuat Allah murka. Menjawab peringatan Allah dengan takwa agar derita sirna. Keberkahan menaungi kita. Setiap ibu yang melahirkan pun dapat bernafas lega, jauh dari kekalutan dan kesempitan. Hidup nyaman jauh dari bencana.
Terakhir, mari kita renungkan terjemahan ayat di bawah ini:
“Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk tunduk hati mereka mengingat Allah dan kepada kebenaran yang telah turun (kepada mereka), dan janganlah mereka seperti orang-orang yang sebelumnya telah diturunkan Al Kitab kepadanya, kemudian berlalulah masa yang panjang atas mereka lalu hati mereka menjadi keras. Dan kebanyakan di antara mereka adalah orang-orang yang fasik.” (TQS. Al Hadid [57]: 16). Wallahu a’lam bish-shawab. []
Kirim RENUNGAN Anda lewat imel ke: [email protected], paling banyak dua (2) halaman MS Word. Sertakan biodata singkat dan foto diri.