JIMA atau hubungan suami istri dalam Islam bukan hanya sekadar pemenuhan kebutuhan biologis, tetapi juga bagian dari ibadah yang penuh keberkahan. Ia menjadi sarana memperkuat cinta, kasih sayang, dan keharmonisan rumah tangga.
Namun sayangnya, masih banyak suami yang kurang memahami sisi emosional dan psikologis istri dalam berhubungan intim. Padahal, memperhatikan kenyamanan istri adalah kunci penting dalam menjaga keutuhan cinta dan membangun kepercayaan di antara keduanya.
Sebagaimana suami memiliki hak, istri pun memiliki hak untuk diperhatikan, dipahami, dan dihargai dalam hal jima’. Tidak sedikit istri yang merasa kecewa atau bahkan tersakiti karena perilaku suami yang terburu-buru, tidak lembut, atau kurang memperhatikan perasaannya.
Oleh karena itu, penting bagi suami untuk mengetahui hal-hal yang bisa membuat istri merasa tidak nyaman saat jima’, agar hubungan yang seharusnya membawa ketenteraman tidak justru menjadi sumber luka atau kekecewaan.
BACA JUGA: Kenapa Suami Sukanya Minta Jima Terus sama Istri?
Berikut ini adalah beberapa hal yang umumnya tidak disukai oleh istri dari suami ketika jima’ (hubungan intim), berdasarkan pengalaman rumah tangga, pandangan para konselor pernikahan, serta adab yang diajarkan dalam Islam:
1. Kurangnya Pendahuluan (Foreplay)
Banyak istri merasa tidak nyaman jika suami terlalu terburu-buru. Dalam Islam sendiri, pendahuluan sebelum jima’ adalah sunnah. Nabi ﷺ bersabda:
“Janganlah salah seorang di antara kalian menggauli istrinya seperti hewan. Hendaklah ada pendahuluan antara kalian berdua: ciuman dan kata-kata.” (HR. Ad-Dailami)
Pendekatan emosional dan fisik sebelum jima’ sangat penting untuk istri, karena secara biologis dan psikologis, wanita memerlukan lebih banyak waktu untuk terangsang dibanding pria.
2. Tidak Menjaga Kebersihan Diri
Bau badan, mulut, atau tubuh yang tidak bersih bisa menjadi penghalang kenyamanan istri. Dalam Islam, menjaga kebersihan termasuk sunnah fitrah dan salah satu bentuk penghormatan kepada pasangan.
Imam Ibnul Qayyim berkata: “Sesungguhnya kebersihan dan keharuman itu memperkuat cinta antara suami dan istri.”
3. Tidak Memperhatikan Kepuasan Istri
Sebagian suami mungkin hanya mengejar kepuasannya sendiri tanpa memperhatikan apakah istri sudah merasa puas atau belum. Padahal dalam Islam, hak istri untuk merasakan kenikmatan itu setara.
Ibn Qudamah berkata: “Termasuk adab dalam hubungan suami-istri adalah menunggu hingga istri mencapai kenikmatannya, karena hal itu bisa memperkuat cinta dan keharmonisan.”
4. Kasarnya Perlakuan
Istri tidak menyukai perlakuan yang kasar, menyakitkan, atau tidak memperhatikan kelembutan. Islam sangat menganjurkan kelembutan dalam segala hal, apalagi dalam hubungan suami istri.
Rasulullah ﷺ bersabda: “Sesungguhnya Allah mencintai kelembutan dalam segala hal.” (HR. Bukhari dan Muslim)
5. Tidak Peka Terhadap Perasaan Istri
Jika istri sedang sedih, sakit, kelelahan, atau sedang tidak dalam mood yang baik, lalu suami memaksakan jima’ tanpa memahami kondisi tersebut, hal ini bisa menimbulkan luka emosional.
6. Tidak Menjaga Lisan dan Suasana
Ucapan kasar, mempermalukan, atau berbicara kotor secara tidak pantas bisa membuat istri tidak nyaman. Padahal, kata-kata mesra, lembut, dan romantis sangat membantu memperkuat ikatan emosional.
BACA JUGA: Suami Nolak Terus Diajak Jima, Istri Harus Bagaimana?
7. Menganggap Jima’ Hanya Kewajiban Sepihak
Hubungan intim bukan sekadar kewajiban istri untuk melayani suami, tetapi merupakan ibadah yang mendatangkan pahala bagi kedua belah pihak, bila dijalani dengan niat baik dan cara yang santun.
Penutup
Jima atau hubungan intim dalam Islam bukan hanya tentang pemenuhan syahwat, tetapi juga sarana memperkuat cinta, menjaga kesucian, dan membangun keintiman yang penuh rahmat. Maka, memahami apa yang disukai dan tidak disukai pasangan adalah bagian dari akhlak mulia dalam pernikahan.
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu mawaddah dan rahmah…” (QS. Ar-Rum: 21) []