DALAM Islam, haid adalah kondisi alami yang dialami oleh perempuan, dan syariat memberikan beberapa keringanan ibadah bagi mereka selama masa ini. Salah satu bentuk rukhsah (keringanan) yang diberikan adalah larangan melaksanakan shalat bagi perempuan yang sedang haid. Namun, bagaimana hukum shalat wajib yang ditinggalkan selama masa haid itu? Apakah harus diqadha (diganti) setelah suci?
Untuk menjawabnya, kita perlu menelaah penjelasan para ulama dan hadis Nabi Muhammad SAW yang menjadi dasar hukum dalam hal ini.
1. Wanita Haid Tidak Wajib Mengqadha Shalat
Mayoritas ulama sepakat bahwa wanita yang sedang haid tidak diwajibkan untuk mengganti shalat wajib yang ditinggalkan selama masa haid. Pendapat ini bersumber dari hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim dari Aisyah RA:
“Kami mengalami haid pada masa Rasulullah SAW. Kami diperintahkan untuk mengqadha puasa, tetapi tidak diperintahkan untuk mengqadha shalat.” (HR. Bukhari dan Muslim)
BACA JUGA: Kapan Sebaiknya Qadha Shalat Dilakukan?
Hadis ini menjadi dasar kuat bahwa wanita yang haid tidak memiliki kewajiban untuk mengganti shalat yang ditinggalkan karena memang mereka tidak diperbolehkan melakukannya selama masa haid. Bahkan, jika mereka memaksa diri untuk shalat saat haid, maka ibadah tersebut tidak sah.
2. Mengapa Puasa Harus Diqadha, Tapi Shalat Tidak?
Pertanyaan ini sering muncul di benak banyak orang. Mengapa dua ibadah utama dalam Islam—puasa dan shalat—diperlakukan berbeda ketika ditinggalkan karena haid?
Jawabannya terletak pada beban ibadah dan frekuensi pelaksanaannya. Shalat dilakukan setiap hari lima kali, sementara puasa Ramadhan hanya setahun sekali selama sebulan. Jika seorang wanita diwajibkan untuk mengganti seluruh shalat yang ditinggalkannya selama haid (yang bisa berlangsung antara 5–15 hari setiap bulan), maka beban mengganti puluhan shalat akan menjadi sangat berat. Karena itulah, Islam memberikan keringanan agar shalat yang ditinggalkan selama haid tidak perlu diganti.
Sedangkan puasa hanya dilakukan dalam rentang waktu yang lebih sedikit dan hanya sekali dalam setahun, sehingga masih dianggap wajar dan memungkinkan untuk diganti.
3. Kondisi Khusus: Kapan Shalat Harus Diqadha?
Meskipun secara umum wanita haid tidak diwajibkan mengqadha shalat, ada beberapa kondisi khusus yang mewajibkan seorang wanita untuk mengganti shalat:
a. Haid Datang Setelah Masuk Waktu Shalat
Jika haid datang setelah waktu shalat masuk dan ia belum sempat menunaikan shalat tersebut, maka ia wajib mengqadhanya setelah suci.
Contoh kasus:
-
Seorang wanita belum sempat melaksanakan shalat Dzuhur, padahal waktu Dzuhur sudah masuk sejak pukul 12:00. Kemudian ia mulai haid pada pukul 12:30. Maka setelah suci, ia wajib mengqadha shalat Dzuhur tersebut karena ia sudah memasuki waktu shalat namun belum menunaikannya.
Penjelasan ini berdasarkan kaidah fikih bahwa seseorang yang mengalami uzur setelah masuk waktu shalat namun belum sempat menunaikannya, maka ia masih berkewajiban menggantinya setelah uzurnya selesai.
b. Suci dari Haid Saat Waktu Shalat Masih Tersisa
Jika seorang wanita suci dari haid sebelum waktu shalat berakhir, dan masih cukup waktu baginya untuk bersuci (mandi) dan melaksanakan shalat, maka ia wajib melaksanakan shalat tersebut.
Contoh:
-
Seorang wanita suci dari haid pada pukul 17:45, sedangkan waktu Maghrib masuk pukul 18:00. Maka ia masih bisa melakukan shalat Ashar, karena waktu Ashar baru akan berakhir saat Maghrib masuk. Dalam kondisi seperti ini, ia wajib segera mandi dan melaksanakan shalat Ashar.
Menurut pendapat mazhab Syafi’i dan Maliki, dalam situasi seperti itu, wanita tersebut juga wajib melaksanakan dua shalat sekaligus, yakni shalat yang sedang berlaku (Ashar) dan shalat sebelumnya (Dzuhur). Hal ini dikenal dengan istilah “jama’ ta’khir taqdiran,” yakni menyamakan hukum dengan orang yang menjama’ dua shalat karena uzur.
4. Bagaimana Jika Lupa atau Tidak Tahu Hukumnya?
Jika seorang wanita tidak tahu bahwa ada kewajiban qadha dalam dua kondisi di atas, maka tidak berdosa karena ia termasuk orang yang tidak tahu. Namun, jika ia sudah tahu hukumnya dan dengan sengaja tidak menggantinya, maka itu termasuk kelalaian dalam ibadah dan bisa berdosa.
Maka dari itu, penting bagi setiap muslimah untuk mempelajari ilmu fiqih dasar terkait haid dan hukum-hukum ibadah yang berkaitan dengannya. Ini termasuk bagian dari kewajiban setiap muslim untuk memahami agamanya.
BACA JUGA: Hukum Menqadha Shalat untuk Orang yang Sudah Meninggal, Adakah?
Syariat Islam tidak membebani hamba melebihi kemampuannya. Itulah sebabnya wanita yang sedang haid diberi keringanan untuk tidak shalat dan tidak perlu menggantinya setelah suci. Namun, ada dua kondisi yang menjadi pengecualian:
-
Jika haid datang setelah masuk waktu shalat dan shalat belum dikerjakan.
-
Jika suci dari haid masih dalam waktu shalat yang sedang berlangsung.
Dalam kedua kondisi ini, wanita tetap memiliki kewajiban untuk menunaikan atau mengganti shalat tersebut. Maka penting untuk memperhatikan waktu datang dan berhentinya haid agar dapat menentukan kewajiban shalat dengan benar.
Semoga penjelasan ini bermanfaat dan menambah pemahaman kita tentang fiqih wanita dalam Islam. []