MUSIBAH dan seorang Muslim. Ketika membaca kisah-kisah Al-Qur’an dan membuka lembaran-lembaran sejarah, lalu mencermati fakta yang terjadi, maka ditemukan sebuah pelajaran dan bukti kuat yang mendukung serta menguatkan kaidah Al-Qur’an ini.
Berikut ini kita akan memaparkan beberapa di antara bukti itu, semoga ia menjadi obat pelipur lara bagi yang dirundung kesedihan, serta menjadi pelajaran bernilai bagi yang sedang ditimpa kegalauan.
Perhatikanlah kisah ummu Musa saat melarungkan bayinya ke sungai Nil.
Jika membaca susunan kejadian sejarahnya, maka Anda akan menemukan bahwa tidak ada yang paling menyakitkan dan menyedihkan dalam kehidupan Ummu Musa selain saat ia diperintah Allah untuk melarungkan bayinya yang bernama Musa di aliran sungai Nil. Namun, cerita ini berakhir dengan keindahan, pujian, serta pengaruh yang baik di masa-masa datang. Itulah tafsir potongan ayat yang Allah disebutkan pada bagian akhir ayat, “Dan Allah mengetahui sedangkan kalian tidak mengetahui.”
BACA JUGA: 16 Amalan Penghilang Musibah
Renungkan juga kisah Yusuf Awal cerita ini juga tentang kesedihan yang dirasakan oleh Yusuf dan ayahnya Ya’qub Alaihimassalam.
Renungkan juga kisah seorang anak yang dibunuh oleh Khidr berdasarkan perintah Allah. Setelah itu, Allah mengemukakan alasan kuat serta meyakinkan di balik perintah pembunuhan anak itu dengan firman-Nya,
وَأَمَّا الْغُلَامُ فَكَانَ أَبَوَاهُ مُؤْمِنَيْنِ فَخَشِينَا أَن يُرْهِقَهُمَا طُغْيَنًا وَكُفْرًا فَأَرَدْنَا أَن يُبْدِلَهُمَا رَبُّهُمَا خَيْرًا مِنْهُ زَكَوَةً وَأَقْرَبَ رُحْمًا )
“Dan adapun anak itu maka kedua orangtuanya adalah orang-orang mukmin dan Kami khawatir bahwa dia akan mendorong kedua orangtuanya itu kepada kesesesatan dan kekafiran. Dan kami menghendaki supaya Tuhan mereka mengganti bagi mereka dengan anak lain yang lebih baik kesuciannya dari anaknya itu dan lebih dalam kasih sayangnya kepada ibu bapaknya.” (Al-Kahfi: 80-81)
Betapa banyak pasangan suami istri yang ditakdirkan belum dikaruniai buah hati, lalu dengan kondisi seperti itu dadanya menjadi sempit dan merasakan sedih yang berkepanjangan. Tentu, tidak atau belum memiliki keturunan adalah sesuatu yang biasa dan lumrah terjadi. Akan tetapi, satu hal yang tidak boleh terjadi adalah menghadirkan kesedihan yang terus menerus, bahkan merasa bahwa dirinya telah diharamkan Allah meraih aneka kebaikan dalam hidupnya.
Seseorang yang belum dikaruniai anak hendaknya merenung-kan ayat ini baik-baik, karena itu tidak saja menghilangkan kesedihan dan kegalauannya, tapi juga membuat hatinya menjadi tentram dan damai, dadanya menjadi lapang, ia memandang ketetapan ini sebagai nikmat dan bentuk kasih sayang Allah kepadanya.
Boleh jadi sekarang Allah menetapkan kondisi seperti ini (Tidak memiliki keturunan) untuk dirinya. Tapi, siapa yang mengetahui jika di belakang hari banyak kebaikan dan kasih sayang untuknya. Boleh jadi ketika ia dianugrahi seorang anak, maka anak itu akan menjadi fitnah dan kecelakaan dalam hidupnya, menjadi siksa dan bencana dalam kesehariannya.
Seperti bunyi ayat di atas, Allah berfirman, “Dan adapun anak itu maka kedua orangtuanya adalah orang-orang mukmin dan kami khawatir bahwa dia akan mendorong kedua orangtuanya itu kepada kesesesatan dan kekafiran. Dan kami menghendaki supaya Tuhan mereka mengganti bagi mereka dengan anak lain yang lebih baik kesuciannya dari anaknya itu dan lebih dalam kasih sayangnya kepada ibu bapaknya.” (Al-Kahfi: 80-81)
Beberapa saat sebelum Perang Badar berkecamuk, Al-Qur’an menanamkan nilai dan pesan ini dalam dada kaum muslimin. Allah berfirman, “Sebagaimana Tuhanmu menyuruhmu pergi dari rumahmu dengan kebenaran (Perang Badar) padahal sesungguhnya sebagian dari orang-orang beriman itu tidak menyukainya. Mereka membantahmu tentang kebenaran sesudah nyata bahwa mereka pasti menang, seolah-olah mereka dihalau kepada kematian sedang mereka melihat sebab-sebab kematian itu.” (Al-Anfal: 5-6)
Pada kenyataannya, betapa banyak kebaikan, kemuliaan, kehebatan yang terjadi pada diri kaum muslimin pasca terjadinya perang besar ini, yang sebelumnya tidak disukai oleh sebagian sahabat Rasulullah untuk turut andil mengambil peran di dalamnya.
Dalam sunnah Nabi banyak disebutkan contoh-contoh yang sejalan dengan kandungan makna ayat ini, di antaranya tentang cerita kematian suami dari Ummu Salamah, yakni Abu Salamah Setelah peristiwa kematian itu, Ummu Salamah mendengar Rasulullah bersabda, “Tidaklah seorang muslim ditimpa sebuah musibah lalu ia berdoa, ‘Sesungguhnya kami milik Allah dan kami akan kembali kepadaNya, Ya Allah, berilah aku pahala terhadap musibah yang menimpaku ini dan berikan ganti yang lebih baik darinya, kecuali Allah akan memeberi ganti yang lebih baik untuknya.”
Ketika suami Ummu Salamah (Abu Salamah) meninggal dunia, ia bertanya-tanya dalam dirinya, “Adakah orang yang lebih baik dari Abu Salamah?” Tidak terlalu membutuhkan waktu yang lama, Ummu Salamah pun akhirnya dinikahi oleh Rasulullah, sebagai ganti yang lebih baik dari suaminya yang telah meninggal dunia. (HR. Muslim)
Coba Anda bayangkan perasaan duka dan lara yang dirasakan oleh Ummu Salamah saat suaminya meninggal dunia. Sebuah kedalaman perasaan yang juga pernah dialami oleh sebagian wanita yang ditakdirkan suaminya meninggal dunia atau meninggalnya orang-orang yang dekat di hatinya. Boleh jadi ia mengajukan pertanyaan yang sama, “Adakah orang yang lebih baik dari ayahnya anak-anakku?”
BACA JUGA: 10 Hikmah Musibah Seorang Manusia
Namun, coba cermati dengan baik, ketika Ummu Salamah menyikapi bencana dan musibah itu dengan penuh sabar dan ikhlas, mengembalikan segalanya kepada Allah sembari bergumam, “Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un” maka Allah berkenan menghadirkan seorang pengganti suaminya yang jauh lebih baik untuknya, sesuatu yang sangat istimewa, dimana sosok pengganti itu belum pernah terlintas dan terbayang dalam benaknya.
Demikianlah seharusnya sikap seorang wanita muslimah dalam menyikapi setiap musibah yang menerpanya. Ia tidak membatasi kebahagiaannya pada satu pintu kehidupan. Padahal, kehidupan itu memiliki banyak pintu. Ya, memang kesedihan itu sesuatu yang dirasakan oleh semua manusia, termasuk para Nabi dan Rasul. Akan tetapi, yang perlu ditekankan di sini adalah terlarangnya membatasi kehidupan atau kebahagian pada satu sikap atau menggantungkannya kepada seseorang; laki-lai, perempuan atau orang tua. []
SUMBER: HUMAYRO