KEJAYAAN Budha Sriwijaya dan Hindu Majapahit tertoreh dalam sejarah, sebagai kerajaan yang sangat diperhitungkan di kawasan Asia Tenggara. Tapi yang terjadi kemudian, kenapa justru Islam yang menjadi agama mayoritas yang paling berkembang. Dan mengapa raja-raja yang semula beragama Hindu, Budha atau Animisme di Nusantara kemudian ramai-ramai memeluk Islam. Tentu, ini menarik untuk dikaji.
Sebelum mengkaji lebih jauh, patut menelaah dakwah yang diterima dengan mudah oleh para raja, sehingga Islam berkembang dan menjadi agama resmi kerajaan dan agama resmi masyarakatnya. Gerangan apakah yang tersembunyi di balik semua ini, tatkala sejarah panjang kerajaan-kerajaan Budha dan Hindu, lalu berganti dengan Kesultanan Islam yang tak sedikit jumlahnya.
Menurut Ahmad Rifai, penulis buku “Perjuangan 29 Ulama Besar Ranah Minang”, perubahan sejarah kerajaan-kerajaan itu tidak pernah digali oleh sejarawan manapun, terutama terkait munculnya banyak kerajaan Islam sesudah itu. Kalaupun ada, kebanyakan sejarawan hanya mengikuti alur sejarah, bukan menggali lebih dalam.
Sejarawan kawakan, Syafnir Abu Nain, menulis, yang tersembunyi dibalik ini adalah sebuah rahasia dan rekayasa Allah, di mana para raja lah, orang yang pertama diberi Allah cahaya hidayah Islam dikerajaannya lewat dakwah ulama ketika itu. Kemudian dengan kekuasaannya, para raja mengislamkan rakyatnya, menggantikan sistem tata kerajaannya dengan sistem Islam. Peradaban baru telah lahir, yakni Peradaban Islam Nusantara.
Ketika penjajah datang, maka tandingan sepadan untuk melawan keganasannya adalah para raja-raja dan kesultanan Islam. Pada gilirannya Allah telah memunculkan Islam dari negeri ini sebagai tiang penyanggah dakwah di Asia Tenggara, kemudian ditandai dengan banyaknya kerajaan dan kesultanan Islam yang tumbuh dan berkembang, dimana agama Islam sebagai pondasinya.
Merujuk Prof. Naquib Al Attas, alasan lain, yang memudahkan raja dan masyarakat dapat menerima Islam adalah Islamisasi masyarakat Melayu lantaran semangat rasionalisme dan intelektualisme Islam itu sendiri. Pandangah hidup ala Islam inilah yang merubah cara pandang bangsa melayu-Indonesia yang sebelumnya dikuasai oleh mitologi Hindu yang rapuh.
Kedatangan Islam pun tidak pernah disambut dengan perang, melainkan diterima dengan lapang dada oleh para raja Hindu. Sebab Islam telah membawa konsep baru tentang Tuhan, manusia, makan, hidup, dunia dan akhirat.
“Inilah rencana Allah yang menggerakkan hati para raja untuk menerima Islam dengan sukacita, mengingat tanggungjawab raja itu akan semakin berat kedepannya. Untuk itu, ia harus diberi kekuatan ideologi dan doktrin (agama islam) untuk sanggup bertahan menghadapi gempuran-gempuran yang datang, baik dari dalam maupun dari luar,” ungkap Ahmad Rif’ai.
Setelah “hijrah”, keterbukaan dan ketertarikan hati para raja dengan Islam, ada yang langsung menukar namanya dengan nama-nama Islam. Atau ada yang menikahkan putrinya dengan saudagar Arab untuk kemudian diambil menjadi menantu dan melanjutkan kekuasaan kerajaannya. Atau mengirim surat kepada Khalifah Umar bib Abdul Aziz untuk didatangkan para guru agama, sebagaimana dilakukan oleh Maharaja Sriwijaya.
Parade panjang kerajaan Islam secara silih berganti, telah membuat rencana Panglima Portugis jadi berantakan, karena satu kerajaan dapat dikuasai, tepi kerajaan Islam lain bermunculan sambung menyambung. Dari Sumatera (Aceh), Jawa, Kalimantan, Sulawesi, dan Maluku. Rencana Panglima Perang D’Albuquerque untuk memutuskan ikatan dengan Mekkah pun tidak tercapai.
Sementara itu, raja-raja Hindu dan Budha justru sibuk melakukan perang saudara dengan sesamanya. Bahkan bekerjasama dengan Portugis untuk meruntuhkan kerajaan Islam, sebagaimana yang dilakukan kerajaan Hindu Majapahir dimasa Gajah Mada dengan Kerajaan Islam Samudra Pasai.
Peran Kesultanan Islam
Perlawanan terhadap penjajah Portugis, justru dilakukan oleh kesultanan Islam yang terbentang dari Aceh hingga Papua. Antara lain, Kesultanan Perlak, Kerajaan Islam Samudra Pasai dengan raja pertama Malikus Shaleh, Gowa (Sultan Alaizidin al Awwal), Kesultanan Tamiang, Pedir dan Maheurpum Daya. Kesultanan Aceh Darussalam (Sultan Alauddin Johansyah berdaulat) hingga Kerajaan Pagaruyung dan Kerajaan banjar di Kalimantan.
Kemudian Kerajaan Islam Demak (diwah Sultan Syah Alam Akbar al Fatah atau Raden Fatah), Kerajaan Pajang, Mataram, Banten, Giri dan Cirebon. Kesultanan Bima disambung lagi dengan Kerajaan Ternate, Kerajaan Tidore, Kerajaan Jailolo. Kehadiran Islam di Papua (tepatnya di daerah Waigeo dan Misool) dipengaruhi oleh dakwah dari kerajaan Bacan dan banyak lagi kerajaan Islam lainnya.
Begitu juga muncul nama pejuan dari kalangan ulama dan Sultan, sebut saja seperti Sultan Ageng Tirtayasa (Banteng), Sultan Iskandar Muda (Aceh), Raja Haji( Riau), Sultan Mahmud Badaruddin (Palembang), Trunojoyo, Kraeng Galesong, Surapati, Sultan Agung Hanyakrokusumo, Sultan Hasanuddin (Makassar), Sultan Khairun dan Sultan Baabullah (Maluku).
Menariknya, Kesultanan Aceh pernah dibantu oleh Kerajaan Turki Utsmani dengan panglima yang seorang wanita bernama Laksamana Malahayati. Bantuan dari Turki Utsmani kepada Kesultanan Aceh itu adalah perlengkapan perang.
Fakta ini dikuatkan oleh Kitab klasikBustanus Salatin karangan Nuruddin Arraniri, sebuah naskah kuno (1562 M), yang menceritakan sejarah hubungan Aceh dengan kerajaan Turki Utsmani, yang didasari oleh akidah Islam yang sama. Telah datang seorang duta (utusan) Aceh, yang pergi ke Istambul untuk meminta bantuan, karena kapal-kapal yang dikendarainya telah dirampok oleh Portugis di tengah samudera. Duta ini pulang ke Aceh dengan membawa bantuan militer untuk mengusir Portugis. []