SENDIRI, Muhammad bin Abdullah menelusuri jalan menanjak perbukitan Mekkah. Menapaki bebatuan. Sambil membawa bekal yang disiapkan istrinya, Khadijah.
Perjalanannya dihangatkan oleh sinar matahari pagi musim panas Ramadhan. Ia melintasi tebing-tebing bukit dengan tenang dan teguh. Ketukan langkah kaki seorang lelaki berusia 40 dengan kekuatan yang telah mencapai sempurna.
Mekkah tampak semakin menjauh dan mengecil setiap kali Muhammad memandangnya.
Muhammad memandangi Mekkah dengan penuh cinta. Hingga kemudian ia sampai di gua kecil yang hanya bisa menampung dua orang berhimpitan. Hatinya tertambat pada gua itu. Ia merasakan ketenangan berada di dalamnya. Tapi, ia sendiri tidak tahu dari mana sumber ketenangan itu.
BACA JUGA: Kejujuran dan Kasih Sayang Nabi Muhammad ﷺ, Tiada Terhingga
Muhammad lalu duduk di atas sebongkah batu besar sambil menikmati semilir angin yang berhembus dari kejauhan. Semilir angin datang setelah melintasi puncak-puncak bukit yang tampak membentang. Membelai dengan lembut wajah Muhammad seolah hendak menyekap bulir-bulir keringat yang nampak serupa mutiara di keningnya.
Sementara, alam seperti tenggelam dalam kesunyian dan ketenangan. Dan, Muhammad merasakan dirinya sedemikian syahdu menyatu dengan ketenangannya.
Muhammad memandangi Ka’bah yang kukuh di tengah Mekkah. Dari tempat ia duduk, Ka’bah tampak kecil di mata namun terasa agung di jiwa. Muhammad dapat merasakan, keagungan Ka’bah telah memecahkan kedamaian dan ketenangan pada Tanah Haram, Negeri Ibrahim.
Muhammad telah terbiasa menyendiri di Gua Hira. Di sana, ia bertasbih dan berdzikir kepada Allah serta bertafakur, merenungi semesta. Ia melakukan itu selama beberapa malam. Dan, akan pulang jika bekal makanan telah habis untuk kemudian menjalani kehidupan seperti biasa.
Saat berdzikir, Muhammad terkadang didatangi malaikat pengembara semesta yang menyuguhkan sesuatu menyerupai makanan. Jika malaikat itu berlalu, Muhammad akan kembali larut dalam dzikir kepada Sang Maha Agung Tuhan dan Maha Pencipta.
Dzikir dan tafakur mengungkapkan Muhammad pada kesadaran akan kebesaran Sang Pencipta semesta dan membuka mata batinnya dalam melihat realitas suatu kaum.
Kaum itu, mereka adalah orang-orang yang mengotori Masjidil Haram dengan berhala-berhala yang mereka muliakan; mereka menyembelih binatang sebagai kurban untuk benda-benda mati tersebut, menghamba kepada batu yang sama sekali tak mampu berbuat apa-apa. Mereka menguji nasib di hadapan berhala-berhala itu.
BACA JUGA: 11 Kebiasaan Nabi Muhammad ﷺ
Mereka memiliki tiga berhala besar: Latta, Uza dan Manat. Mereka meletakkan berhala bernama Hubal yang terbuat dari batu akik di dalam Ka’bah. Jika bagian tangan Hubal patah, maka mereka menggantinya dengan emas. Tangan tuhan bisa patah? Dan masih banyak lagi jenis berhala.
Berhala-berhala ukuran kecil berserakan di sekitar Masjidil Haram dan dirawat oleh para dukun. Para dukun itu yang akan menyambut orang-orang yang datang, lalu menipu mereka.
Di negeri yang aman ini, di sekitar Ka’bah ini, hanya berisi manusia-manusia bengis yang menindas manusia-manusia lemah manusia-manusia sombong yang memperbudak manusia-manusia malang, manusia-manusia yang memandang para budak sebagai binatang, bahkan lebih rendah daripada itu. Hak-hak para budak itu tidak pernah diperhatikan.
Di negeri ini, di sekitar Ka’bah ini, begitu banyak dosa: orang-orang mendapatkan kehidupan dari hasil riba dan jual beli yang aneh, di sana berlaku hukum rimba: yang kuat memakan yang lemah bayi-bayi perempuan dikubur hidup-hidup, kaum perempuan direndahkan.
Orang-orang meminum minuman keras secara berlebihan hingga menyebabkan mereka melakukan dosa-dosa lain, mereka berzina secara terang-terangan mereka berjudi.
Ya Robbi! Tidak ada dosa yang tak mereka kerjakan.
Engkau telah mengutus Ibrahim untuk menyebarkan ajaran yang lurus membangun rumah-Mu di sini, menegakkan agama-Mu di sini. Tapi, kini, orang-orang tidak mendapatkan semua itu dan membuat tuhan sendiri.
Ya Robbi! Engkau Maha Besar. Sampai kapan ini akan berlangsung?
BACA JUGA: Ketika Heraklius Mengakui Muhammad sebagai Rasulullah
Muhammad teringat akan hari-harinya yang menyenangkan di Mekkah. Ia memiliki orang-orang yang ia kasihi dan sayangi. Ada paman yang sangat penyayang, Abu Thalib, serta anaknya, Ali. Juga ada paman paman yang lain: Hamzah “Si Pemburu Singa”, Abbas, dan Abu Lahab. Ada sang istri, Khadijah, perempuan agung yang penuh cinta dan telah memberi empat buah hati. Di sisi Khodijah, Muhammad merasakan kasih sayang yang tak putus-putus. Muhammad juga memiliki Zaid, seorang pelayan yang kemudian dijadikan anak angkat. Dalam keluarga ini, Muhammad merasakan ketenangan, kebahagiaan, dan kedamaian.
Muhammad juga teringat dengan orang-orang yang baik hati. Ada Abu Bakar, Ustman, Thalhah, Zubair, Sa’d, Saad, Abu Ubaidah, Abdurrahman bin Auf, Al-Arqom Ibnu Abu Al-Arqom dan lain-lain. Mereka adalah kalangan orang tua dan pemuda yang merasakan ketidaknyamanan berdampingan dengan orang-orang sesat.
Namun apa yang dapat mereka lakukan untuk menghadapi orang-orang Quraisy yang berkubang dalam tradisi jahiliyah? []
SUMBER: PUSAT STUDI ISLAM