KENAPA aku tidak mau olahraga?
Aku tidak mau olahraga. Bukan karena aku malas… ya meskipun itu 89% alasannya, tapi mari kita cari pembenaran yang lebih filosofis.
Olahraga itu katanya bikin sehat. Tapi bukankah kita hidup di dunia ini untuk mati juga pada akhirnya? Aku cuma mempercepat prosesnya, toh garis finish-nya sama. Teman-temanku yang rajin nge-gym, tiap hari jogging, tiap minggu naik gunung, akhirnya juga masuk rumah sakit… karena cedera otot, keseleo, atau patah hati sama pelatihnya.
Aku memilih hidup yang damai. Daripada lari keliling komplek, aku lebih suka lari dari kenyataan. Sama-sama ngos-ngosan, tapi yang satu bisa sambil rebahan. Olahraga menguras keringat, sementara tidur mengisi energi. Bukankah hidup ini tentang balance?
BACA JUGA: Apa Akibat Tidak Olahraga selama Sebulan bagi Laki-laki?
Aku pernah mencoba olahraga. Satu kali. Waktu itu niatnya mau ikut kelas yoga. Tapi ternyata lebih banyak pose menderita daripada mencerahkan. Setengah jam pertama, aku pikir aku lagi disiksa dengan teknik dari abad ke-3 SM. Kaki dilipat, kepala dibalik, dan semua sambil disuruh “bernapas dengan damai.” Damai dari mana?! Nafasku aja tinggal dua-tiga helaan terakhir.
Lalu aku mencoba jogging. Katanya jogging itu ringan. “Cuma lari santai kok,” kata mereka. Iya, santai buat yang udah pernah ikut maraton. Buat aku? Baru 500 meter, paru-paruku udah minta ganti user. Jantungku ngira aku lagi dikejar beruang.
Tapi jangan salah, aku peduli kok dengan kesehatan. Sangat peduli, malah. Makanya setiap habis makan, aku minum teh hijau. Manis. Dengan gula tiga sendok. Karena kesehatan itu penting, tapi kenikmatan juga tidak boleh diabaikan. Rasulullah SAW suka yang manis-manis, jadi aku hanya mengikuti sunnah—dengan sedikit kreativitas modern.
Kadang aku merasa jadi manusia modern itu berat. Dulu orang hidup sehat karena gaya hidupnya alami. Mereka jalan kaki ke ladang, angkat beban pas bawa kayu, renang pas nyeberang sungai, dan push-up pas dikejar macan. Sekarang? Kita harus bayar untuk lari di treadmill. Di tempat ber-AC. Sambil nonton iklan minuman elektrolit.
Olahraga sekarang bukan cuma soal sehat, tapi juga soal estetika. Enam perut jadi standar, padahal Nabi Adam saja tidak pernah dituntut punya six-pack. Aku punya perut satu, utuh, solid, dan penuh konsistensi. Kalau itu bukan prestasi, aku tidak tahu apa lagi.
Tentu saja, semua ini bukan alasan murni. Kadang aku iri juga melihat orang-orang yang badannya kencang, nafasnya stabil, dan bajunya muat semua ukuran. Tapi aku juga ingin jujur dengan diriku sendiri. Bahwa sebagian dari kita tidak ditakdirkan menjadi pelari, binaragawan, atau instruktur zumba. Sebagian dari kita ditakdirkan sebagai penonton. Pemberi semangat. Penjual air mineral di pinggir lintasan. Itu juga peran penting dalam dunia kebugaran.
BACA JUGA: Olahraga Lari Malam Hari, Bolehkah?
Dan walaupun aku tidak suka olahraga, aku percaya hidup sehat bisa dimulai dari hal-hal kecil. Seperti… tidak nambah nasi waktu makan malam. Atau naik tangga satu lantai, sebelum akhirnya menyerah dan naik lift. Hidup ini bukan sprint, tapi maraton… yang bisa dijalani sambil jalan pelan, sambil mikir, sambil ngemil.
Mungkin suatu hari aku akan berubah. Saat celana sudah tidak muat semua, dan napas naik satu tangga butuh istighfar dua kali. Mungkin saat itu aku akan merenung lebih dalam, bukan hanya soal lemak, tapi tentang amanah menjaga tubuh yang Allah titipkan. Karena tubuh ini bukan punya kita, dan kelak akan dimintai pertanggungjawaban.
Tapi untuk hari ini… biarkan aku rebahan dulu. Olahraga hati. Menyadari kekurangan, menertawakan diri sendiri, dan berjanji untuk minimal nggak nambah gorengan.
Doakan aku kuat. []














