DALAM hidup ini, tak ada satu ibadah pun yang lebih sering kita lakukan secara rutin setiap hari kecuali shalat. Lima waktu sehari, tanpa henti, sepanjang hayat. Tapi pernahkah kita duduk sejenak dan bertanya kepada diri sendiri: “Apakah shalatku sudah benar-benar baik? Sudahkah aku menghadirkannya dengan hati yang hidup?”
Bukan sekadar menggugurkan kewajiban, tapi benar-benar menunaikan shalat sebagaimana yang Allah dan Rasul-Nya kehendaki.
Shalat, Amal Pertama yang Diadili
Nabi Muhammad ﷺ bersabda: “Sesungguhnya amal yang pertama kali dihisab dari seorang hamba pada hari kiamat adalah shalatnya. Jika baik shalatnya, maka baiklah seluruh amalnya. Dan jika rusak shalatnya, maka rusaklah seluruh amalnya.” (HR. Tirmidzi, no. 413, hasan)
Hadits ini membuatku merenung dalam. Bagaimana bisa amal lain diterima jika shalatku masih penuh kekurangan? Mungkin selama ini aku merasa cukup dengan menunaikan shalat lima waktu, tapi ternyata Allah menilai kualitas, bukan hanya kuantitas.
BACA JUGA: Kenapa Aku Enggan Berjilbab?
Shalat adalah timbangan utama. Jika ia lurus, maka amal lainnya akan mengikuti. Tapi jika ia bengkok, bisa jadi seluruh amalku terancam tak bernilai.
Mengapa Harus Diperbaiki Terus-Menerus?
Karena shalat bukan hanya rutinitas. Ia adalah komunikasi langsung dengan Allah. Setiap takbir yang kita ucapkan, setiap ayat yang kita baca, adalah bentuk penghambaan dan harapan agar Allah menerima kita sebagai hamba-Nya.
Hasan Al-Bashri رحمه الله pernah berkata:
“Wahai anak Adam, shalatlah seakan-akan itu adalah shalat terakhirmu. Sebab engkau tidak tahu, mungkin setelah shalat ini engkau tidak akan kembali berdiri untuk shalat lagi.”
Setiap kali aku berdiri di hadapan Allah dalam shalat, aku ingin menjadikannya shalat terbaikku. Tapi realitanya, seringkali hati ini lalai, pikiran melayang ke mana-mana, dan bacaan hanya menjadi lantunan tanpa makna.
Inilah sebabnya aku harus terus memperbaiki shalatku.
Tanda Iman dan Cermin Hati
Ibnul Qayyim رحمه الله menulis: “Sungguh, tidak ada sesuatu yang lebih dicintai oleh setan daripada melihat seseorang melakukan shalat dengan hati yang lalai.”
Lalai dalam shalat bukan sekadar lupa bacaan, tapi hati yang tidak hadir bersama Allah. Bukankah Allah berfirman:
“Telah beruntung orang-orang yang beriman, (yaitu) orang-orang yang khusyuk dalam shalatnya.” (QS. Al-Mu’minun: 1–2)
Khusyuk bukan perkara mudah, tapi ia adalah tujuan dari perbaikan. Aku ingin shalatku menjadi tempatku mengadu, menenangkan hati, dan menyalurkan cinta kepada Allah. Bukan sekadar gerakan fisik tanpa rasa.
Memperbaiki Shalat = Memperbaiki Hidup
Para salaf sangat menjaga kualitas shalat mereka. Umar bin Khattab رضي الله عنه pernah berkata:
“Tidak ada bagian dalam Islam bagi orang yang meninggalkan shalat.”
Bahkan ketika ditusuk dalam keadaan sekarat, Umar masih sempat bertanya: “Apakah manusia telah shalat?” Karena ia tahu, kehidupan seorang mukmin bertumpu pada shalat.
Aku sadar, memperbaiki shalat adalah memperbaiki hidup. Karena shalat yang benar akan membentengi dari maksiat:
“Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan) keji dan mungkar.” (QS. Al-Ankabut: 45)
Kalau masih mudah tergoda maksiat, jangan-jangan shalatku belum benar. Mungkin belum hadir hati, belum ada kesungguhan, dan belum ada rasa butuh yang mendalam kepada Allah.
BACA JUGA: Kenapa Seorang Muslim Meninggalkan Tahajjud?
Penutup: Perjalanan Seumur Hidup
Memperbaiki shalat bukan tugas sehari dua hari. Ia adalah perjalanan seumur hidup. Setiap rakaat adalah kesempatan untuk belajar khusyuk, memahami makna bacaan, dan mendekat kepada Allah.
Maka, aku ingin terus memperbaikinya. Karena shalat bukan hanya tugas, tapi anugerah. Tempatku kembali, saat dunia menyesakkan dada.
Dan kelak, ketika aku berdiri di hadapan Allah di hari perhitungan, aku ingin shalatku menjadi penyelamatku, bukan penuntut atas kelalaianku.
Ya Allah, bimbinglah kami agar selalu memperbaiki shalat kami, hingga Engkau ridha kepada kami. Aamiin. []