• Home
  • Copyright
  • Disclaimer
  • Iklan
  • Redaksi
  • Donasi
Rabu, 3 Maret 2021
No Result
View All Result
NEWSLETTER
Islampos
No Result
View All Result
  • Home
  • Berita
    • Dunia
    • Nasional
    • Palestina
  • Muslimtrip
  • Muslimbiz
  • Beginner
  • Syiar
  • Keluarga
  • Dari Anda
  • Home
  • Berita
    • Dunia
    • Nasional
    • Palestina
  • Muslimtrip
  • Muslimbiz
  • Beginner
  • Syiar
  • Keluarga
  • Dari Anda
No Result
View All Result
Islampos
No Result
View All Result

Kesalehan Ritual dan Kesalehan Sosial

Redaktur Adam
4 tahun ago
in Opini
Reading Time: 4min read
0
Kesalehan Ritual dan Kesalehan Sosial

Foto: ST

Oleh: Nadirsyah Hosen

Rais Syuriah PCI Nahdlatul Ulama Australia-New Zealand dan Dosen Senior Monash Law School

 

KH Ahmad Mustofa Bisri pernah mempopulerkan istilah saleh ritual dan saleh sosial. Yang pertama merujuk pada ibadah yang dilakukan dalam konteks memenuhi haqqullah dan hablum minallah seperti shalat, puasa, haji dan ritual lainnya. Sementara itu, istilah saleh sosial merujuk pada berbagai macam aktivitas dalam rangka memenuhi haqul adami dan menjaga hablum minan nas. Banyak yang saleh secara ritual, namun tidak saleh secara sosial; begitu pula sebaliknya.

Gus Mus tentu tidak bermaksud membenturkan kedua jenis kesalehan ini, karena sesungguhnya Islam mengajarkan keduanya. Bahkan lebih hebat lagi; dalam ritual sesungguhnya juga ada aspek sosial. Misalnya shalat berjamaah, pembayaran zakat, ataupun ibadah puasa, juga merangkum dimensi ritual dan sosial sekaligus. Jadi, jelas bahwa yang terbaik itu adalah kesalehan total, bukan salah satunya atau malah tidak dua-duanya. Kalau tidak menjalankan keduanya, itu namanya kesalahan, bukan kesalehan. Tapi jangan lupa, orang salah pun masih bisa untuk menjadi orang saleh. Dan orang saleh bukan berarti tidak punya kesalahan.

Pada saat yang sama, kita harus akui seringkali terjadi dilema dalam memilih skala prioritas. Mana yang harus kita utamakan antara ibadah atau amalan sosial. Pernah di Bandara seorang kawan mengalami persoalan dengan tiketnya karena perubahan jadual. Saya membantu prosesnya sehingga harus bolak balik dari satu meja ke meja lainnya. Waktu maghrib hampir habis. Kawan yang ketiga, yang dari tadi diam saja melihat kami kerepotan, kemudian marah-marah karena kami belum menunaikan shalat maghrib. Bahkan ia mengancam, “Saya tidak akan mau terbang kalau saya tidak shalat dulu”.

Saya tenangkan dia, bahwa sehabis check in nanti kita masih bisa shalat di dekat gate, akan tetapi kalau urusan check in kawan kita ini terhambat maka kita terpaksa meninggalkan dia di negeri asing ini dengan segala kerumitannya. Lagi pula, sebagai musafir kita diberi rukhsah untuk menjamak shalat maghrib dan isya’ nantinya. Kita pun masih bisa shalat di atas pesawat. Kawan tersebut tidak mau terima: baginya urusan dengan Allah lebih utama ketimbang membantu urusan tiket kawan yang lain. Saya harus membantu satu kawan soal tiketnya dan pada saat yang bersamaan saya harus adu dalil dengan kawan yang satu lagi. Tiba-tiba di depan saya dilema antara kesalehan ritual dan kesalehan sosial menjadi nyata.

Syekh Yusuf al-Qaradhawi mencoba menjelaskan dilema ini dalam bukunya Fiqh al-Awlawiyat. Beliau berpendapat kewajiban yang berkaitan dengan hak orang ramai atau umat harus lebih diutamakan daripada kewajiban yang berkaitan dengan hak individu. Beliau juga menekankan untuk prioritas terhadap amalan yang langgeng (istiqamah) daripada amalan yang banyak tapi terputus-putus. Lebih jauh beliau berpendapat:

“Fardhu ain yang berkaitan dengan hak Allah semata-mata mungkin dapat diberi toleransi, dan berbeda dengan fardhu ain yang berkaitan dengan hak hamba-hamba-Nya. Ada seorang ulama yang berkata, “Sesungguhnya hak Allah dibangun di atas toleransi sedangkan hak hamba-hamba-Nya dibangun di atas aturan yang sangat ketat.” Oleh sebab itu, ibadah haji misalnya, yang hukumnya wajib, dan membayar utang yang hukumnya juga wajib; maka yang harus didahulukan ialah kewajiban membayar utang.” Ini artinya, untuk ulama kita ini, dalam kondisi tertentu kita harus mendahulukan kesalehan sosial daripada kesalehan ritual.

Kita juga dianjurkan untuk mendahulukan amalan yang mendesak daripada amalan yang lebih longar waktunya. Misalnya, antara menghilangkan najis di masjid yang bisa mengganggu jamaah yang belakangan hadir, dengan melakukan shalat pada awal waktunya. Atau antara menolong orang yang mengalami kecelakaan dengan pergi mengerjakan shalat Jum’at. Pilihlah menghilangkan najis dan menolong orang yang kecelakaan dengan membawanya ke Rumah Sakit. Sebagai petugas kelurahan, mana yang kita utamakan: shalat di awal waktu atau melayani rakyat yang mengurus KTP terlebih dahulu?

Atau mana yang harus kita prioritaskan di saat keterbatasan air dalam sebuah perjalanan: menggunakan air untuk memuaskan rasa haus atau untuk berwudhu’. Wudhu’ itu ada penggantinya, yaitu tayammum. Tapi memuaskan haus tidak bisa diganti dengan batu atau debu. Begitu juga kewajiban berpuasa masih bisa di-qadha atau dibayar dengan fidyah dalam kondisi secara medis dokter melarang kita untuk berpuasa. “Fatwa” dokter harus kita utamakan dalam situasi ini. Ini artinya shihatul abdan muqaddamun ‘ala shihatil adyan. Sehatnya badan diutamakan daripada sehatnya agama.

Dalam bahasa Abdul Muthalib, kakek Rasulullah, di depan pasukan Abrahah yang mengambil kambing dan untanya serta hendak menyerang Ka’bah: “Kembalikan ternakku, karena akulah pemiliknya. Sementara soal Ka’bah, Allah pemiliknya dan Dia yang akan menjaganya!” Sepintas terkesan hewan ternak didahulukan daripada menjaga Ka’bah; atau dalam kasus tiket di atas seolah urusan shalat ditunda gara-gara urusan pesawat; atau keterangan medis diutamakan daripada kewajiban berpuasa. Inilah fiqh prioritas!

Syekh Yusuf al-Qaradhawi juga menganjurkan untuk prioritas pada amalan hati ketimbang amalan fisik. Beliau menulis:

“…Kami sangat heran terhadap konsentrasi yang diberikan oleh sebagian pemeluk agama, khususnya para dai yang menganjurkan amalan dan adab sopan santun yang berkaitan dengan perkara-perkara lahiriah lebih banyak daripada perkara-perkara batiniah; yang memperhatikan bentuk luar lebih banyak daripada intinya; misalnya memendekkan pakaian, memotong kumis dan memanjangkan jenggot, bentuk hijab wanita, hitungan anak tangga mimbar, cara meletakkan kedua tangan atau kaki ketika shalat, dan perkara-perkara lain yang berkaitan dengan bentuk luar lebih banyak daripada yang berkaitan dengan inti dan ruhnya. Perkara-perkara ini, bagaimanapun, tidak begitu diberi prioritas dalam agama ini.”

Loading...

Dengan tegas beliau menyatakan:

“Saya sendiri memperhatikan—dengan amat menyayangkan—bahwa banyak sekali orang-orang yang menekankan kepada bentuk lahiriah ini dan hal-hal yang serupa dengannya—Saya tidak berkata mereka semuanya—mereka begitu mementingkan hal tersebut dan melupakan hal-hal lain yang jauh lebih penting dan lebih dahsyat pengaruhnya. Seperti berbuat baik kepada kedua orangtua, silaturahim, menyampaikan amanat, memelihara hak orang lain, bekerja yang baik, dan memberikan hak kepada orang yang harus memilikinya, kasih-sayang terhadap makhluk Allah, apalagi terhadap yang lemah, menjauhi hal-hal yang jelas diharamkan, dan lain-lain sebagaimana dijelaskan oleh Allah SWT kepada orang-orang yang beriman di dalam kitab-Nya, di awal surah al-Anfal, awal surah al-Mu’minun, akhir surah al-Furqan, dan lain-lain.”

Kesalehan ritual itu ternyata bertingkat-tingkat. Kesalehan sosial juga berlapis-lapis. Dan kita dianjurkan dapat memilah mana yang kita harus prioritaskan sesuai dengan kondisi dan kemampuan kita menjalankannya. Wa Allahu a’lam bi-shawab. []

Tags: RitualSalehSosial
Adam

Adam

Dengan Ilmu, engkau berani bertindak dan dapat menahan diri untuk diam

Related Posts

Inilah Wanita Muslim yang Selamat dari Kecelakaan Kapal Titanic pada 1912

Kapal dan Kapten Kesadaran

3 Maret 2021
Ketika Wanita Berbicara dengan Bukan Mahramnya di Telefon

Jilbab, Wujud Ketakwaan Seorang Muslimah

2 Maret 2021
Ilmu Manfaat

Beruntungnya Orang Berilmu

26 Februari 2021
Islam dan Kemiskinan

Islam dan Kemiskinan

22 Februari 2021
Buka Lagi
Selanjutnya
Kuatkan Aqidah Anak Muda, Walikota Bandung Programkan Shalat Subuh Berjamaah

Kuatkan Aqidah Anak Muda, Walikota Bandung Programkan Shalat Subuh Berjamaah

Tinggalkan Balasan Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Advertisements

Terbaru

21 Pelajaran Hidup Nabi Ayyub (1)
Uncategorized

Langkah-langkah Kecil yang Mengantarkanmu ke Neraka

Redaktur Laras Setiani
11 menit ago
Pelaku Dosa Besar yang Belum Bertaubat, Apakah Kekal di Neraka?
Kolom

Pelaku Dosa Besar yang Belum Bertaubat, Apakah Kekal di Neraka?

Redaktur Yudi
11 menit ago
Bolehkah Wudhu dengan Air Musyammas?
Syi'ar

Bolehkah Wudhu dengan Air Musyammas?

Redaktur Yudi
1 jam ago
Tayangan Iklan Ternyata Sebabkan Gizi Buruk
Kesehatan

Lima Kebiasaan Ini Memicu Penuaan Dini Kulit

Redaktur Dini Koswarini
2 jam ago

On Facebook

Navigasi

  • Home
  • Copyright
  • Disclaimer
  • Iklan
  • Redaksi
  • Donasi

About Us

Membuka, menginspirasi, free to share

  • Home
  • Copyright
  • Disclaimer
  • Iklan
  • Redaksi
  • Donasi

© 2019 islampos - Membuka, Menginspirasi, Free to Share.

No Result
View All Result
  • Home
  • Berita
    • Dunia
    • Nasional
    • Palestina
  • Ramadan
    • Tanya Jawab Ramadhan
    • Tsaqofah Ramadhan
    • Video Ramadhan
    • Fiqh Ramadan
    • Kesehatan Ramadhan
    • Kultum Ramadhan
  • Muslimbiz
  • Muslimtrip
  • Beginner
  • Keluarga
  • Sirah
  • Syiar
  • Muslimah
  • Dari Anda
  • Donasi

© 2019 islampos - Membuka, Menginspirasi, Free to Share.

Add Islampos to your Homescreen!

Add