Oleh: M. Fuaddin
Ma’had Ustman bin Affan (AMCF) Jakarta Timur
AKU merenung pada suatu malam yang sepi akan masa depan ku nanti. Aku berpikir, kearah manakah aku bergerak dalam roda kehidupan ini? Betapa banyaknya perubahan moral serta gaya hidup mewah dalam dunia ini, terlebih pada bangsaku.
Ya…aku sadar akan perubahan yang begitu dramatis dalam kehidupan ini, baik dari internal maupun eksternal. Betapa banyak mereka di sana yang mengaku dirinya muslim tapi hanya sekadar ucapan belaka. Betapa banyaknya pula mereka yang mengaku seorang aktivis, da’i, hafizd atau hafizdoh. Namun semua itu hanyalah sebagai label semata.
Memang negeri kita adalah negeri nestapa yang penuh banyak sekali perubahan mulai dari segi moral, ahlaq, serta lifestyle pun tidak jauh beda dengan lifestyle barat.
Ku ingat-ingat sebuah ungkapan dari seorang guru yang dulu aku pernah belajar padanya, beliau mengungkapkan, “Kita saat ini banyak di hadapkan dengan problematika hidup serta berbagai macam fitnah, terutama fitnah terbesar bagi umat islam saat ini ialah Fitnatu Syubhat dan Syahwat“.
Sedangkan bagi seorang aktivis, da’i, dan lainnya. Apabila mereka mumpuni dengan ilmu agamanya serta pemikirannya yang lurus akan hal agamanya maka mereka bisa selamat dari fitnah yang pertama. Akan tetapi fitnah yang ke dua baik dai,aktivis hafidz atau hafidzoh belum tentu bisa selamat dari fitnah tersebut. Adapun untuk mengatasi fitnah yang kedua ini maka mencegahnya dengan ” menikah”.
Kemudian aku merenung kembali, mungkin saat ini adalah zaman yang telah disabdakan oleh Rasulullah pada 14 abad yang lalu bahwa banyak dikalangan remaja akan terkena fitnah yang kedua di atas.
Maka aku pun bertanya pada diri sendiri, jika memang masalah di atas banyak menimpa remaja muslim di negeri ini, lalu bagaimana dengan saudara-saudra kita yang berada di Suriah, Palestina, serta negeri islam yang sedang dilanda peperangan?
Ternyata mereka masih sempat-sempatnya menghafal lembaran al-quran dan menginginkan diri mereka menjadi seorang hafidz dan hafidzoh yang haqiqi serta menempatkan diri mereka menjadi mujahid dan mujahidah yang mulia di sisi Rabbnya. Allahu Akbar.
Sungguh mulianya mereka ini, mereka jauh dari ungkapan-ungkapan maksiat kepada lawan jenis seperti kata-kata, ” sudah makan belum?, sudah shalat belum?, sudah murojaah belum?, atau sudah mandi belum?”.
Sungguh aku sangat lah iri pada mereka yang hidup dengan penuh cobaan, derita, jeritan serta tangisan. Selain itu, tak jarang mereka sering mendengar dentuman bom, tembakan serta suara bising pesawat tempur yang melintas wilayah mereka, tapi apa yang mereka lakukan? Ternyata mereka tetap semangat menjalani kehidupan dengan terus menghafal mushaf al qur’an setiap ada kesempatan.
Sedangkan remaja muslim di negeriku, mereka penuh banyak luka pada hati mereka. Tapi bukan terluka karena keluarga mereka terkena bom atau ledakan, namun karena mereka tidak diperhatikan atau diputuskan oleh si doi atau pacarnya. Duh, mirisnya sampai-sampai tak jarang di antara mereka yang berani memanggil atau menulis pasangannya dengan sebutan umi atau abi walau belum menikah. Naudzubillah.
Aneh tapi nyata, ini realita yang aku temui di kehidupan negeri ini. Terhadap lingkungan yang aku diami. Sehingga kita sebagai umat islam yang hidup di akhir zaman harus berusaha sekuat mungkin untuk tetap berada dalam kolidor syar’i yang telah Allah dan Rasulnya tetapkan.
Sehingga yang harus dan terus ada pada setiap diri muslim ialah dengan mulut yang senantiasa banyak berdoa, kaki yang senantiasa melangkah lebih jauh untuk thalabul ilmi, pundak yang senantiasa memikul amanah lebih berat dari biasanya, dan hati yang akan senantiasa mengingat Allah Swt. []