Oleh: Zedda Sucitra Asyaroh
NAMAKU Asyima. Aku sangat menyukai hujan. Aku merasa sangat kesepian. Dalam satu rumah yang besar hanya tinggal tiga orang; aku, ayah, dan ibu. Saat ayah dan ibu bekerja, aku hanya sendirian di rumah sebesar ini tanpa seorang pun menemani.
Saat itu hujan menumpahkan rasa resahnya, aku hanya bisa memandangi hujan dari balik jendela saja. Ayah melarangku keras keluar ketika hujan turun. Ketika aku sekolah, dan saat itu hujan, walaupun hanya gerimis, ayah langsung menelpon pak supir untuk menjemputku.
Aku tak tahu alasan ayah melarangku keluar saat hujan. Apa mungkin karena kejadian 15 tahun yang lalu? Entahlah.
BACA JUGA:Â Pulau Cuki yang Bertuhankan Hujan
Pukul 15.00 WIB
Kulangkahkan kakiku ke arah jendela dan kubuka gorden jendela. Ketika pandanganku lurus ke depan, kudapati seorang wanita di tengah hujan yang deras.
“Sepertinya, aku mengenal nya? Naila!”
Kataku dalam benakku. Aku ingin sekali keluar, ingin sekali! Tapi aku takut ayah pulang.
Langkahku cepat menuju pintu utama,aku ingin menemuinya, harus!
Saat aku keluar, kudapati tubuhku sudah berada di luar rumah dengan pakaian basah. Basah? Hujan? Aku berhasil! Yah, aku berhasil bisa bertemu langsung dengan hujan!
“Huaah…” teriakku yang amat bahagia. Seketika hatiku tersontak. Astagfirullah, Naila! Aku sangat lupa dengan Naila, karena rasa bahagiaku.
Dalam satu tatapan lurus, aku dapati dia berada di depan gerbang rumahku. Aku menghampirinya, kudapati dia hanya memberiku sapaan dengan senyumannya.
“Naila, apa yang kau lakukan di tengah hujan yang deras ini?” Tanyaku menatap lurus kearahnya.
“Aku sedang menunggu seseorang.” Jawabnya dengan senyumannya lagi.
“Siapa yang kamu tunggu?” Tanyaku yang ke dua kalinya.
“Kamu!”
“Aku?” Jawabku dengan nada terkejut.
“Ya, kamu. Aku menunggu sahabat datang kepadaku. Sebelum ajalku dipertemukan Yang Maha Kuasa. Terima kasih atas semua waktu yang kau berikan padaku.” Katanya dengan lirih nada sedih.
Aku hanya terdiam kaku tanpa gerak dan suara. “Sahabatku, ada apa dengannya?” Hatiku bertanya-tanya. Aku terdiam dalam benakku, aku hanya bisa meneteskan air mata bersama hujan.
Dia memelukku, dan aku hanya terdiam dan membisu, tak bisaku berkata apa-apa lagi untuknya, hatiku sudah cukup merasa tenang dengan pelukannya.
“Terima kasih, kau sudah menjadi duri dalam mawar, yang selalu melindungi. Dan ku harap kau bisa bahagia dengan sahabat yang lain!” Lirihnya.
“Maksudmu?” Tanyaku singkat.
“Aku mencari sahabat sebelum aku di panggil Yang Maha Kuasa, aku ingin merasakan kebahagiaan bersama seorang sahabat,” jawab Naila dengan air mata mengalir.
“Ada apa denganmu?”
Selama 5 tahun kebelakang, aku sudah mengidap kanket selaput otak stadium lanjut. Mungkin ini saatnya!” Jelasnya sesaat.
BACA JUGA:Â Bantal Guling
Dalam sekejap wajahnya menjadi pucat, bibirnya memutih, tubuhnya menjadi lemas. Sekejap tubuhnya tumbang ke bawah, aku sangat terkejut.
“Naila, ada apa denganmu?” Tanyaku cemas, namun dia hanya berkata,
“Ketika laut dan langit saling melengkapi, maka hujan dan air kan tetap abadi,” aku hanya bisa menangis bersama hujan.
“Karena hujan dan air tidak akan pernah berpisah walau waktu yang menentang,” Jelasnya.
“Kamu bagaikan air karena selalu ada buat hujan.
Air tidak pernah meninggalkan hujan.
Walaupun hujan menolak, tapi air kan selalu setia.
Dimana pun hujan berada air kan selalu mendampinginya dan menemaninya.
Sampai masa yang memisahkan.”
Sekejap terdiam tak bernyawa. []