JANGAN pernah ganggap bullying hanya terjadi di sekolah umum, atau di lingkungan yang “kurang agama”. Faktanya, bullying bisa terjadi bahkan di sekolah yang katanya menghafal Al-Qur’an dan mengajarkan adab. Jangan ngerasa eksklusif hanya karena label “Islamic School” atau “Tahfidz Boarding”. Pelaku bullying bisa siapa saja—anak dari ustaz, anak pejabat, bahkan anak yang jadi penghafal Qur’an sekalipun.
Ada beberapa faktor yang kerap menjadi pemicu munculnya bullying di sekolah.
Pertama, dominasi anak-anak dari keluarga berada. Anak yang orangtuanya kaya cenderung merasa superior dan, tanpa disadari, membawa sikap merendahkan teman-temannya yang dianggap ga setara.
Kedua, adanya sistem “raja kecil” atau “muid istimewa” yang memberi kekuasaan berlebih pada anak tertentu hingga merasa diri bisa berbuat apa saja pada orang yang ia anggap ga satu sirkel dan ga setujuan sama dia.
Ketiga, rentang usia yang terlalu jauh dalam satu kelas. Anak yang lebih tua bisa saja menekan anak yang lebih muda, baik secara verbal maupun fisik.
Pada anak laki-laki, bullying sering kali tampak jelas karena bersifat fisik: dipukul, didorong, atau dijadikan bahan mainan. Namun pada anak perempuan, bentuk bullying lebih parah: sering kali lebih tersembunyi tapi ga kalah menyakitkan. Mereka dihina secara verbal, diintimidasi secara emosi, dijauhi dalam pergaulan.
Dan yang lebih menyedihkan, tanda-tandanya sering tampak jelas jika kita peka: anak menjadi pendiam, ga percaya diri, menghindari makan, bahkan muntah saat disuruh makan karena tekanan psikis yang begitu berat.
Jika anak atau kita udah melapor kepada guru sebanyak tiga kali namun ga ditanggapi serius, maka jangan ragu untuk bertindak. Jangan tunggu anak kita rusak secara mental atau kehilangan semangat hidup.
Tarik anak dari lingkungan itu. Pindahkan ke tempat yang sehat, yang lebih peduli pada kondisi psikologis anak. Waktu, jiwa, dan masa depan anak terlalu berharga untuk dihabiskan di tempat yang penuh racun bernama bullying.
Ciri sekolah yang gagal menangani bullying juga bisa dikenali.
Misalnya, sekolah yang terlalu banyak menerima donatur, sehingga anak-anak dari orang kaya mendapat perlindungan istimewa meski menjadi pelaku bullying.
Atau karena guru-guru yang ga kompeten, bukan dari perguruan tinggi yang sesuai dengan bidangnya (believe me, it matters!) hingga ga pernah memahami psikologi anak, dan hanya fokus pada nilai akademis atau hafalan Qur’an semata tanpa peduli pada adab dan empati sosial.
Jangan pernah anggap enteng bullying. Luka fisik bisa sembuh, tapi luka jiwa bisa bertahan seumur hidup. Ambil tindakan nyata. Jika ga bisa dihentikan, segera hindari. Anak kita butuh tempat tumbuh, bukan tempat yang menghancurkan. Bully is real—dan kita ga boleh diam.
BACA JUGA: Blok Blok Blok
En, last but not least, jangan ngerasa belajar adab dan Quran cuma bisa di satu tempat, sehingga tempat lain, anak dianggap biasa dan ga ada adabnya. Percayalah, di tempat anak yang menghafal Quran dan adab pun, banyak yang maen TikTok dan joged-joged, dan si anak, di depan gurunya mengatakan, cita-citanya pengen menaklukkan Konstantinopel hingga membuat siapapun yang mendengarnya jadi nangis haru, padahal anak itu tukang risak.
And, accept this: di tempat lain (baca: sekolah lain) yang bahkan negeri sekalipun, banyak anak yang belajar adab dan Quran tak kalah hebatnya, plus, mereka belajar Matematika dan Bahasa Inggris.
Sebagai orangtua, kalau anakmu dibully, jangan diem. Do something. Dan jangan berenti berdoa, anakmu diberi lingkungan dan teman yang bener-bener baik, jiwa dan raga, lahir dan batin.
Say no to perisakan. Save ur child. []













