ZAKAT fitrah merupakan kewajiban yang harus dibayarkan oleh seorang muslim di bulan Ramadhan. Waktu, besaran dan takarannya sudah ditentukan dalam syariat. “Dari Ibnu Umar, sesungguhnya Rasulullah saw. telah mewajibkan zakat fitrah pada bulan Ramadhan atas orang-orang sebesar 1 sha’ kurma, atau 1 sha’ gandum, wajib atas orang merdeka, hamba sahaya, laki-laki dan perempuan, dari kaum muslimin.” (HR. Muslim)
Dalam dalil di atas disebutkan bahwa zakat fitrah itu dibayarkan berupa makanan pokok. Namun, pada kenyataannya, pada masa sekarang, zakat juga dibayarkan dalam bentuk uang dengan besaran tertentu. Apakah hal ini dibolehkan?
Jumhur (mayoritas) ulama berbeda pendapat. Ada yang mengatakan tidak boleh, ada juga yang membolehkan. Berikut ini penjelasannya:
1. Tidak boleh
Mazhab Al-Malikiyah, Asy-Syafi’iyah dan Al-Hanabilah yang merupakan tiga mazhab besar dan bisa kita sebut sebagai jumhur (mayoritas) ulama, telah sepakat mengatakan bahwa zakat fitrah itu harus dikeluarkan sebagaimana aslinya, yaitu dalam bantuk makanan pokok yang masih mentah.
Apabila hanya diberikan dalam bentuk uang yang senilai, maka dalam pandangan mereka, zakat itu belum sah ditunaikan. Istilah yang digunakan adalah lam yujzi’uhu (لم يجزئه).
Al-Imam Ahmad rahimahullah memandang bahwa membayar zakat fitrah dengan uang itu menyalahi sunnah Rasulullah SAW. Suatu ketika pernah ditanyakan kepada beliau tentang masalah ini, maka beliau pun menjawab,”Aku khawatir zakatnya belum ditunaikan, lantaran menyalahi sunnah Rasulullah SAW”.
Orang yang bertanya itu penasaran dan balik bertanya,”Orang-orang bilang bahwa Umar bin Abdul Aziz membolehkan bayar zakat fitrahdengan uang yang senilai”. Al-Imam Ahmad pun menjawab,”Apakah mereka meninggalkan perkataan Rasulullah SAW dan mengambil perkataan si fulan?” Beliau pun membacakan hadits Ibnu Umar tentang zakat Fitrah.
Dari Abdullah bin Umar radhiyallahuanhu bahwa Rasulullah SAW memfardhukan zakat fitrah bulan Ramadhan kepada manusia sebesar satu shaa’ kurma atau sya’ir, yaitu kepada setiap orang merdeka, budak, laki-laki dan perempuan dari orang-orang muslim. (HR. Jamaah kecuali Ibnu Majah dari hadits Ibnu Umar)
Setelah itu beliau pun membacakan ayat Al-Quran :
“Taatilah Allah dan taatilah rasul-Nya.” (QS. An-Nisa’ : 59)
Di antara mereka yang menolak kebolehan zakat fitrah dengan uang adalah Ibnu Hazm. Beliau ini termasuk rujukan di kalangan ahli Dzhahir. Beliau berhujjah bahwa memberikan zakat fitrah dengan uang tidak sebagaimana yang diperintah oleh Rasulullah SAW. Lagi pula dalam urusan mengganti nilai uang atas suatu harta itu tidak boleh ditentukan secara sepihak, melainkan harus dengan keridhaan kedua belah pihak, yaitu muzakki dan mustahiq.
2. Boleh
Mazhab Al-Hanafiyah memperbolehkan membayar zakat fitrah dengan uang senilai bahan makanan pokok yang wajib dibayarkan.
Selain mazhab Al-Hanafiyah secara resmi, di antara para ulama yang sering disebut-sebut membolehkan penggunaan uang antara lain Abu Tsaur, Umar bin Abdul Aziz dan Al-Hasan Al-Bashri, Abu Ishak, Atha’.
Abu Yusuf, salah satu pentolan ulama di kalangan mazhab ini menyatakan,”Saya lebih senang berzakat fitrah dengan uang dari pada dengan bahan makanan, karena yang demikian itu lebih tepat mengenai kebutuhan miskin”.
Selain dua pendapat yang tegas membolehkan, ada pula pendapat ulama Hanafiyah yang sifatnya pertengahan. Mahmud Syaltut di dalam kitab Fatawa-nya menyatakan, “Yang saya anggap baik dan saya laksanakan adalah, bila saya berada di desa, saya keluarkan bahan makanan seperti kurma, kismis, gandum, dan sebagainya. Tapi jika saya di kota, maka saya keluarkan uang (harganya).”
Tokoh ini membolehkan zakat fitrah dengan uang, dan di dalam bukunya tersebut memang tidak dijelaskan berapa ukuran sha’ menurutnya. Namun sebagai tokoh Hanafiyyah, mereka kemungkinan kecil untuk memakai ukuran madzhab lain (selain Hanafi). []
SUMBER: RUMAH FIQIH