Oleh: Savitry ‘Icha’ Khairunnisa
Kontributor Islampos, Tinggal di Norwegia
INI cerita kemarin. Seperti biasa Rabu adalah hari belanja mingguan untuk keperluan dapur. Dan seperti biasa, di negeri orang, saya nge-bus aja. Praktis dan murah meriah.
Selesai belanja susu, sayur, dan buah, saya harus kembali ke rumah dulu untuk meletakkan barang, dan kemudian berangkat lagi untuk beli bahan makanan halal yang hanya ada di pusat kota. Selain itu bawaannya berat kalau harus belanja sekaligus.
Ketika duduk di bus menuju pulang, saya merasa celana saya agak dingin dan basah (?). Saya memang meletakkan tas di pangkuan.Tapi saya cuekin aja. Begitu akan turun dari bus, supir bus memanggil. “Neng, itu genangan susu dari tasmu, ya?”
Saya kaget dan baru sadar bahwa salah satu susu yang saya beli tadi pasti bocor. Supir bus sempat ngomel, karena dia harus melapor ke pangkalan bus, dan bus harus dibersihkan. Saya spontan minta maaf. “Ada yang bisa saya bantu?”, tanya saya. Yah, paling tidak sebagai rasa tanggung jawab juga, meski sepertinya tas saya sudah banjir, dan kebocoran susu itu memberi rasa tak nyaman di pakaian.
“Ya sudah, nggak apa. Cek aja isi tasmu, ya. Lain kali hati-hati,” dan bus berlalu.
Buru-buru saya buka tas. Dan memang ada genangan putih di dalamnya. Jadi ingat “Kolam Susu”-nya Koes Plus.
Barang saya keluarkan semua di atas tanah yang bersalju. Ternyata banyak sekali bocornya. Hampir satu liter! Rupanya salah satu kotak susu itu ada yang “berjendela” plastik sebagai indikator volume. Dan sepertinya itu yang tertusuk oleh kotak lain yang ada di tas saya.
Pokoknya saya harus cepat sampai ke rumah, untuk kemudian berangkat lagi.
Di rumah, entah berapa gulung tisu saya habiskan untuk membersihkan tumpahan susu. Parfum pun terpaksa saya semprotkan untuk menyamarkam baunya. Barang belanjaan yang “tertular” air susu cepat saya cuci. Untung isi dompet aman terkendali.
Setelah barang saya letakkan di dapur, waktunya berangkat lagi.
Belanja jilid dua alhamdulillah aman. Semua barang yang saya inginkan ada, kecuali petai.
Tak lama, bus yang akan membawa saya pulang pun muncul.
Dan tahukah teman? Supir busnya adalah yang ketiban apes saya tadi pagi! Waduh! Ketemu bapak ini lagi. Dan tak ada tempat untuk sembunyi. Hadapi kenyataan dengan berani dan sabar.
“Halo, ketemu lagi kita,” saya duluan menyapa.
“Oh, kamu yang tadi, ya? Tadi saya terpaksa kembali ke pangkalan untuk ganti bus. Dan saya jadi terlambat 10 menit.”
“Wah, maaf, ya. Barangku juga banyak yang kena tadi,” kata saya untuk menandingi penderitaan si bapak supir.
“Nggak apa, koq. Semua baik-baik aja.” Dan saya memilih tempat duduk agak belakang.
***
Untunglah keapesan berhenti sampai di situ. Perjalanan saya aman di tengah derasnya salju bercampur hujan air.
Saya pulang tepat waktu dengan selamat.
Dan ketika Fatih sampai di rumah, dia bercerita bahwa dia dan empat teman sekelasnya sekarang selalu diberi soal khusus untuk mata pelajaran Matematika dan Bahasa Inggris, karena level mereka dianggap lebih tinggi dibandingkan seluruh kelas. Untuk hal ini, walikelasnya sudah cerita juga ke saya.
Kabar yang melegakan dan membuat sumringah setelah tadi sempat berjibaku dengan banjir susu dan omelan bapak supir.
Kalau hidup cuma lurus-lurus aja, ya nggak akan ada cerita, kan? Prinsip saya tetap satu, seapes-apesnya saya, masih slamet, masih untung.
Itu saja. []