Ada sejumlah pelajaran yang bisa kita petik dari petunjuk yang diberikan Nabi kepada Muadz bin Jabal ketika mengutusnya ke Yaman untuk berdakwah.
BACA JUGA: 7 Pelajaran Berharga di Balik Pesan Rasul saat Mengutus Muadz bin Jabal ke Yaman (1)
Berikut pelajaran dan hikmah dari perintah tersebut selengkapnya:
1 Menerapkan prinsip Islam
Nabi memberikan instruksi kepada Mu’adz untuk menerapkan pedoman dan prinsip Islam dengan benar jika tidak ada yang eksplisit dapat ditemukan dalam Alquran dan Sunnah.
Harits bin Amr meriwayatkan, beberapa orang di antara sahabat Mu’adz berkata bahwa Rasulullah SAW mengirimnya ke Yaman.
Nabi berkata, “Bagaimana kamu menilai?”
Mu’adz berkata, “Aku akan menilai sesuai dengan apa yang ada di dalam Kitab Allah.”
Nabi berkata, “Bagaimana jika tidak ada di dalam Kitab Allah?”
Mu’adz berkata, “Kemudian dengan sunnah Rasulullah.”
Nabi berkata, “Bagaimana jika tidak ada dalam sunnah Rasulullah?”
Mu’adz berkata, “Maka saya akan berusaha untuk melakukan ijtihad.”
Nabi berkata, “Segala puji bagi Allah yang telah menjadikan utusan Rasulullah sesuai.” (HR At Tirmizi, Sunan: 1327)
Narasi ini menunjukkan prosedur yang tepat untuk menerapkan tuntunan Islam yang pada akhirnya akan berkembang menjadi disiplin dari prinsip-prinsip hukum Islam (ushul al-fiqh).
Pertama, cendekiawan Muslim harus menilai sesuai dengan teks eksplisit Alquran dan Sunnah dan konsensus para sahabat. Jika tidak ditemukan jawaban yang jelas dalam teks-teks tersebut, maka ulama harus menerapkan prinsip-prinsip rasional seperti analogi (qiyas), keadilan (istihsan), kepentingan umum (maslahah mursalah), dan pertimbangan adat (‘ urf ). Penggunaan prinsip rasional ini disebut praktik penalaran hukum independen (ijtihad).
Para ulama kemudian akan mengekstrak maksud dan tujuan hukum Islam sebagai filosofi penuntun ketika menerapkan prinsip-prinsip rasional ke situasi baru, disiplin yang dikenal sebagai tujuan hukum ( maqasid asy-syariah ). Tujuan tersebut meliputi perlindungan hidup, agama, harta benda, keluarga, dan kecerdasan, serta pengejaran belas kasihan, keadilan, dan kesejahteraan.
Al-Ghazali menulis:
“Tetapi yang kami maksud dengan kepentingan melestarikan maksud syariah, dan maksud dari syariah penciptaan ada lima, yaitu untuk melindungi mereka dari agamanya, diri mereka sendiri, pikiran mereka, keturunan mereka, dan harta mereka, jadi segala sesuatu yang termasuk melestarikan kelima aset ini adalah kepentingan dan segala sesuatu yang meleset dari kelima prinsip ini adalah merusak.
Kesejahteraan yang kami maksud di sini adalah perlindungan terhadap tujuan hukum (syariah). Yakni, tujuan hukum ada lima dalam penciptaan: perlindungan agama, kehidupan, kecerdasan, hubungan keluarga, dan harta benda. Segala sesuatu yang memajukan perlindungan kelima fundamental ini dianggap manfaat, dan segala sesuatu yang gagal melindungi kelima fundamental ini dianggap korupsi.” (Al-Mustasfa min Ilm al-Usul, 287)
BACA JUGA: Arsy pun Bergetar Menerima Sa’ad bin Muadz
Sedangkan Ibnu Qayyim menulis:
“Memang, hukum didasarkan pada kebijaksanaan dan kesejahteraan bagi para hamba di kehidupan ini dan di akhirat. Secara keseluruhan itu adalah keadilan, belas kasihan, manfaat, dan kebijaksanaan. Setiap hal yang meninggalkan keadilan untuk tirani, belas kasihan untuk kekejaman, manfaat untuk korupsi, dan kebijaksanaan untuk kebodohan bukanlah bagian dari hukum bahkan jika itu diperkenalkan di dalamnya melalui interpretasi.” (I’lam Al-Muwaqqi’in ‘an Rabb Al-Alamin, 11)
Ibnu Qayyim juga menulis:
“Allah Ta’ala telah memperjelas dalam hukumnya bahwa tujuannya adalah menegakkan keadilan antara hamba-Nya dan keadilan di antara umat-Nya, sehingga jalan mana pun menuju keadilan dan keadilan adalah bagian dari agama dan tidak pernah bisa menentangnya. (Turuq Al-Hukmiyyah, 13)
2 Berprilaku sesuai akhlak yang baik
Akhirnya, nasehat terakhir yang diberikan Nabi kepada Mu’adz adalah untuk berperilaku dengan karakter yang baik, karena karakter seorang Muslim yang paling kuat dapat memberikan kesan yang baik tentang Islam kepada orang-orang yang didakwahinya.
Mu’adz ibn Jabal meriwayatkan nasihat terakhir Rasulullah SAW yang diberikan kepadanya ketika dia menjejakkan kakinya di sanggurdi.
“Jadikan karaktermu unggul untuk orang-orang, wahai Mu’adz bin Jabal.” (Muwatta, 1671)
Allah telah memerintahkan orang-orang beriman untuk mendakwahkan Islam dengan cara yang indah. Jika kita mendakwahkan Islam dengan cara yang buruk dan kasar, kita akan menjadi penyebab kesesatan bagi orang-orang. Tetapi jika kita mendakwahkan Islam dengan cara yang indah dengan karakter yang baik, orang-orang akan lebih menerima pesannya.
Allah berfirman:
دْعُ إِلَىٰ سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ ۖ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ ۚ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيلِهِ ۖ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ
“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS An Nahl: 125)
Itulah beberapa hikamh yang dapat dipelajari dari perjalanan Mu’adz bin Jabal ke Yaman. []
SUMBER: ABU AMINA ELIAS