Oleh: Hanif Kristianto
Analis Politik dan Media
Ramai pejabat dan alat-alat negara mewanti-wanti. Jangan sampai khutbah idul fitri disisipi politik. Rakyat biasa yang mayoritas umat Islam pun berpesan pada dai dan penceramah untuk tidak bicara urusan negara. Ada semacam pembodohan politik secara sistemis. Sungguh ini bencana yang kerap di alami rakyat Indonesia. Entah apa alasan utama pelarangan rakyat cerdas politik? Di sisi lain, klaim Indonesia sebagai negara demokrasi sekadar jargon.
Sesungguhnya setiap peristiwa memiliki makna politik. Jika saja semua mengetahui. Dilihat dari sudut pandang politik Islam, idul fitri menjadi momentum politik. Pun idul fitri menjadi tonggak pembuktian ketaatan hakiki kepada Allah Swt. Betapa pun manusia mencegah dan menjauhkan politik dari kehidupan umat Islam. Niscaya yang terjadi sebuah kemustahilan. Harus dipahami bahwa politik Islam bermakna mengurusi urusan rakyat dengan syariah. Bukan politik yang dimaknai penguasa saat ini, sekadar urusan kursi kekuasaan dan pendapatan.
Ada beberapa makna politik idul fitri:
Pertama, penentuan awal dan akhir Ramadhan merupakan tugas negara. Tidak boleh diserahkan kepada individu atau kelompok. Tujuannya umat Islam di belahan negara manapun bisa merayakan dan mensyiarkan Islam serentak.
Kedua, ketaqwaan adalah buah dari puasa Ramadhan. Seruannya jelas kepada umat manusia, tanpa memandang jabatannya. Pemimpin di dalam Islam mendapatkan amanah sebagai pelayan rakyat. Jika seorang muslim, maka mengambil dan menerapkan hukum Islam menjadi konsekuensi mutlak. Bukankah setiap pemimpin disumpah dengan al-quran? Adapun al-quran kitab yang perlu direalisasikan dalam kehidupan melalui peran negara.
Ketiga, seorang pemimpin selayaknya menyadari betul untuk mampu merubah sikapnya. Berbaik hati pada rakyatnya. Menerbitkan aturan yang pro rakyat dan melepaskan diri dari segala tekanan pihak asing yang berniat menjajah dan mengeruk kekayaan alam. Pemimpin lebih berdikari karena di belakangnya ada rakyat yang siap membela, tanpa takut kursi kekuasaanya digoyang.
Keempat, momen idul fitri sebagai cara mengoreksi penguasa. Dalam artian memberikan solusi dan mengembalikan pemerintahan yang keluar dari rel sebenarnya. Seruan itu bisa disampaikan dalam mimbar khutbah. Ajangsana dan open house bersama penguasa. Inilah saatnya, rakyat bisa bertatap dua mata bersama pemimpin dan penguasanya. Jangan marah jika pemimpin dikritik rakyatnya.
Kelima, ukhuwah Islamiyah yang menjadi perekat umat manusia harus tetap dirawat dan dijaga. Komitmen untuk bersatu dalam naungan Islam harus terus digelorakan. Jangan sampai umat Islam berpecah belah dan masuk dalam jebakan adu domba. Pada acara silaturahim dan reuni bisa menjadi ajang untuk mengingatkan saling berjuang, selain saling memaafkan. Ada tanggung jawab yang dipikul sebagai hamba yakni pengabdiannya semata-mata kepada Allah. Karenanya, dalam menjaga ukhuwah dibutuhkan negara yang mampu mengayomi seluruh umat manusia.
Makna dan pesan politik inilah membutuhkan kerja keras dari segala elemen umat. Sehingga idul fitri betul-betul menjadi momentum untuk terus melanjutkan perjuangan, demi kemuliaan Islam. Jadilah bagian orang-orang yang melek dan cerdas politik. []
OPINI ini adalah kiriman pembaca Islampos. Kirim OPINI Anda lewat imel ke: [email protected], paling banyak dua (2) halaman MS Word. Sertakan biodata singkat dan foto diri. Isi dari OPINI di luar tanggung jawab redaksi Islampos.Â