DALAM pembahasan ini ada lima hadits dari Rasulullah tiga di antaranya shahih, salah satunya berisi pengingkaran Aisyah bahwa Rasulullah pernah kencing sambil berdiri. Hadits kedua tentang kisah Nabi buang air kecil sambil berdiri dan hadits ketiga kisah buang air kecilnya Nabi sambil duduk.
Adapun dua hadits selanjutnya adalah dhaif. Salah satunya larangan buang air kencing dengan berdiri, dan yang kedua teguran bagi orang yang kencing sambil berdiri karena tidak beradab. Berikut ini hadits-haditsnya.
a. Hadits Aisyah, ia menuturkan. “Barang siapa ada yang mengatakan kepada kalian bahwa Nabi pernah buang air kecil sambil berdiri, maka janganlah kalian membenarkannya (mempercayainya). Tidaklah beliau kencing kecuali sambil duduk,” (Shahih Lighainhi. HR. At-Tirmidzi (12), An-Nasa’i (1/26), Ibnu Majah (307), Ahmad (6/136).
b. Hadits Hudzaifah as ia menuturkan, “Nabi tempat sampah milik suatu kaum, lalu beliau berdiri. Kemudian aku menyingkir. Beliau pernah menuju sebuah buang air kecil sambil berkata, “Dekatkanlah (ember airnya). Aku pun mendekat hingga berada di belakang beliau Kemudian beliau berwudhu dan mengusap kedua alas kakinya. (Shahih. HR. Al-Bukhari (226), Muslim (273) dan yang lainnya)
BACA JUGA: Hukum Menahan Kencing saat Shalat
c. Hadits Abdurrahman bin Hasanah, ia menuturkan, “Nabi pernah keluar bersama kami. Di tangannya terdapat sesuatu yang mirip perisai dari kulit. Lalu beliau meletakkannya, kemudian duduk di belakangnya dan kencing ke arahnya.” (Shahih. HR. Abu Dawud (22), An-Nasa’i (1/27), Ibnu Majah (346)
d. Hadits Ibnu Umar, ia menuturkan, Umar berkata “Rasulullah melihatku kencing sambil berdiri, kemudian beliau bersabda:
يَا عُمَرَ لَا تَبُلَ قَائِمًا
“Wahai Umar janganlah engkau kencing sambil berdiri. “Umar pun berkata, “Setelah itu aku tidak pernah kencing lagi sambil berdiri.” (Ahmad (4/196) 103. Dhaif. HR. Ibnu Majah (308), Al-Baihaqi (1/202), Al-Hakim (1/185). Hadits ini didhaifkan oleh At-Tirmidzi (1/67)
e. Hadits Buraidah, la menuturkan bahwa Nabi bersabda Tiga perkara yang menunjukkan perangai yang buruk, kencing sambil berdiri, mengusap dahi (dari debu) sebelum selesai shalat, atau meniup (debu) di (tempat) sujud.” (Munkar. HR. Al-Bukhari dalam kitab At-Tarikh (496), Al-Bazar (1/547) Imam Al-Bukhari dan At-Tirmidzi mengingkan hadits ini, dan hadits ini adalah perkataan Ibnu Mas’ud)
Saya katakan, “Berkenaan dengan hadits-hadits di atas, para ulama berselisih pendapat mengenai hukum kencing sambil berdiri menjadi tiga pendapat. (Al-Majmu’ (2/98), Al-Ausath (1/333).
Pertama, makruh bila tanpa udzur. Ini adalah pendapat yang dipilih oleh Aisyah, Ibnu Mas’ud. Umar dalam salah satu riwayat, Abu Musa, Asy-Sya’bi, Ibnu Uyainah, ulama Hanafiyah dan ulama Syafi’iyah.
Kedua, boleh secara mutlak. Ini adalah pendapat yang dipilih oleh Umar dalam riwayat yang lain, Zaid bin Tsabit. Ibnu Umar, Sahl bin Sa’ad, Anas, Abu Hurairah, Hudzaifah, dan pendapat ulama Hanabilah.
Ketiga, jika di tempat yang lunak, aman dari percikan maka dibolehkan. Sedangkan jika tidak aman dari percikan, maka tidak boleh. Ini adalah mazhab Imam Malik dan pendapat yang dipilih oleh Ibnu Mundzir.
BACA JUGA: 9 Cara Membersihkan Najis, Mulai dari Bejana yang Dijilat Anjing, sampai dari Air Kencing
Saya berpendapat, pendapat yang rajih adalah buang air kecil sambil berdiri tidaklah terlarang selama dirinya aman dari percikan kencing. Hal ini berdasarkan beberapa alasan:
a. Tidak ada hadits yang menyebutkan bahwa Nabi melarang kencing sambil berdiri.
b. Riwayat yang menyebutkan Nabi kencing sambil duduk tidaklah bertentangan dengan hadits yang menyebutkan beliau kencing sambil berdiri, bahkan kedua-duanya diperbolehkan.
c. Terdapat riwayat yang shahih bahwa Nabi pernah kencing sambil berdiri.
d. Perkataan Aisyah yang mengingkari bahwa Nabi pernah kencing sambil berdiri dan ini hanyalah sepengetahuan Aisyah saja ketika beliau berada di rumahnya. Belum tentu di luar rumah, beliau tidak kencing sambil berdiri.
Padahal jika seseorang tidak tahu belum tentu hal tersebut tidak ada. Orang yang mengetahui hal ini seperti Hudzaifah dan lainnya-menjadi hujjah bagi orang yang tidak mengetahuinya. Jadi, apa yang sudah menjadi ketetapan lebih didahulukan atas sesuatu yang ditiadakan. Wallahu a’lam. []
SUMBER: HUMAYRO