OLEH: AR RASYID FAJAR NASRULLAH
Mahasiswa Ilmu Hadis/Ushuluddin
rasyidfajarn@gmail.com
SEPERTI yang telah dikemukakan M. Quraisy Shihab dalam bukunya yang berjudul “Jilbab,” bahwa ulama berbeda pendapat tentang arti hijab ini sendiri—apalagi cadar—. Khususnya perbedaan ini terdapat pada pemaknaan batas aurat wanita. Secara garis besar penulis akan memaparkan setidaknya ada 3 pendapat ulama mengenai batasan-batasan aurat wanita muslimah ini.
Pendapat pertama, adalah pendapat yang menyatakan bahwa seluruh tubuh wanita—termasuk wajah dan telapak tangan— adalah aurat sehingga dapat disimpulkan bahwa cadar merupakan hal yang paling tepat untuk digunakan muslimah untuk kalangan ini. Pendapat ini cukup masyhur di kalangan ulama klasik dan masih banyak diikuti oleh ulama-ulama hingga saat ini.
Beberapa ulama yang berpendapat demikian sebagian diantaranya adalah imam Syafi’i sekaligus sebagian ulama mazhab syafi’I dan juga syekh bin Baz, dan masih banyak lagi. Salah satu dalil yang digunakan kelompok ini adalah hadis yang diriwayatkan oleh Imam At-Turmudzi dari Ibnu Mas’ud bahwa Nabi SAW bersabda, “Wanita adalah aurat, maka apabila dia keluar (rumah), maka setan tampil membelalakkan matanya dan bermaksud buruk terhadapnya.” (HR. turmudzi dan dia menilainya hasan gharib).
Pendapat yang kedua adalah pendapat yang menyatakan bahwa seluruh tubuh wanita adalah aurat kecuali wajah dan telapak tangan—pendapat inilah yang diikuti mayoritas ulama saat ini—. Adapun salah satu tokoh yang cukup masyhur berpendapat demikian adalah syekh Muhammad Nashiruddin al-Albani. Salah satu dalil hadis yang beliau pakai adalah hadis dari Qatadah.
Nabi SAW bersabda, “Tidak halal bagi seorang perempuan yang percaya kepada Allah dan Hari Kemudian dan telah haid untuk menampakkan kecuali wajah dan tangannya sampai disini (lalu beliau memegang setengah tangan beliau).”.
selanjutnya adalah pendapat ketiga, yakni pendapat cendikiawan kontemporer. Dalam hal ini penulis hanya memberikan gambaran cendekiawan yang menganggap bahwa cadar maupun jilbab “tidak wajib.”
Salah satu cendekiawan yang masyhur adalah Qasim Amin (1803-1908). Ia mendapat julukan muharir al-mar’ah(pembebas perempuan). Seorang cendikiawan Mesir lulusan universitas di Prancis ini juga telah menulis sebuah buku yang berjudul Tahrir al-Mar’ah (pembebasan perempuan). Dalam bukunya itu salah satu fokus bahasannya adalah tentang pakaian wanita (hijab atau jilbab).
Dalam konteks agama beliau menegaskan bahwa tidak ada satupun nash yang mewajibkan pakaian khusus (seperti jilbab apalagi cadar) sebagaimana yang dikenal masyarakat islam saat ini. Qasim berpendapat bahwa pakaian-pakaian tersebut merupakan adat kebiasaan, dan ia juga berpendapat bahwa al-Qur’an pun sebenarnya membolehkan wanita menampakkan sebagian tubuhnya kepada yang bukan mahramnya, akan tetapi al-Qur’an tidak menentukan bagian mana yang boleh terbuka.
Ditambah pendapat Quraisy Shihab, bahwa batasan aurat wanita adalah kepantasan atau kebiasaan di masing-masing daerah tertentu(norma). Jadi, menurutnya batas aurat wanita adalah yang biasa tampak darinya. Demikianlah beberapa sekilas pandangan tentang hukum bercadar dan berjilbab. Tentu pemaparan ini masih terlalu ringkas, dan saya harap pembaca untuk mengkaji lebih dalam lagi jika ingin tahu lebih banyak lagi tentang jilbab maupun cadar.
Seperti yang telah dikemukakan di atas, bahwasanya kewajiban penggunaan cadar merupakan akibat dari salah satu pendapat mengenai batasan aurat, khususnya yang berpendapat bahwa seluruh tubuh wanita adalah aurat. Maka dari itu tidak jarang para muslimah Indonesia hari ini banyak yang mulai mengikuti pendapat yang demikian.
Apalagi setelah munculnya fenomena “hijrah” di kalangan masyarakat. “Syari’at” bercadar sepertinya telah menjadi “tren baru” yang terus berkembang di masyarakat kita. Penggunaan cadar telah mewabah di mana-mana, mulai dari anak muda hingga orang tua, mulai dari yang baru mulai belajar agama sampai para ustadzahnya. Meskipun erkembangan ini disinyalir memiliki kepentingan tertentu.
Namun, menurut hemat penulis perubahan individu bukan hanya didasari oleh kepentingan tertentu, akan tetapi perubahan itu berasal dari keadaan bathin yang mengatakan bahwa ia akan nyaman saat seperti itu. Dengan demikian apakah kita bisa mengatakan bahwa fenomena “cadaris niqabis” saat ini adalah murni sebuah trend, penulis rasa tidak. Menurut penulis fenomena cadar ini merupakan sebuah trend dalam rangka untuk peningkatan upaya syari’at. Wallahualam. []
SELESAI
OPINI ini adalah kiriman pembaca Islampos. Kirim OPINI Anda lewat imel ke: islampos@gmail.com, paling banyak dua (2) halaman MS Word. Sertakan biodata singkat dan foto diri. Isi dari OPINI di luar tanggung jawab redaksi Islampos.