Orang Myanmar itu tahan lapar. Mereka tidak mempan gertakan. Sudah biasa hidup miskin dan susah, terbiasa tertekan dan tahan banting. Sekira diembargo sekalipun, orang Myanmar tak kan takut. Isolasi juga tidak akan melunakkan mereka.
Keras kepala. Mungkin batoknya terbuat dari batu koral. Dunia internasional mengecam, mencerca, mencaci maki, mereka bergeming. Tetap pada keputusannya: Rohingya bukan bagian dari suku-suku di Myanmar. Ada 131 suku, dan 14 di antaranya terbesar, Rohingya dikeluarkan dari daftar suku yang boleh hidup di negara Myanmar sejak 1982.
Junta militer penguasa Myanmar. Tidak percaya dengan semua orang, bahkan PBB mereka usir beserta anak-anak organisasinya. Apalagi lembaga kemanusiaan lainnya. Ternyata hanya satu yang mereka percaya: pemerintah Indonesia. Sebab apa? Militer Myanmar dulu belajar cara menembak kepada ABRI di masa Orba. Pantas jenderalnya hormat dengan tentara Indonesia.
Selain itu, faktor pentingnya, Indonesia pakai cara sopan, santun, dan membantu semua, bukan hanya satu suku saja. Berbeda dengan Malaysia yang jargon Islamnya terlalu kuat, mereka tolak Malaysia. Akhirnya Rohingya tak jadi makan. Bantuan gagal sampai. Hanya bisa disusup-susupkan tidak banyak.
Itu sekelumit cerita para relawan yang terjun ke sana, sejak 2012. Kisah Bang Muhammad Kaimuddin dari PKPU, sosok yang wajahnya saja dikira orang Rohingya. Aslinya, dia dari Maluku Indonesia.
Siang tadi bakda Jumatan diskusi kecil di kantor Baitul Maal Muamalat (BMM), yang akan menitipkan satu miliar dalam beberapa tahap. Utamanya untuk logistik dan kesehatan. Semacam klinik sederhana di Sitwee negara bagian Rakhine.
Cerita lainnya tentang salat yang tersembunyi. Para relawan pengantar logistik harus banyak akal. Salat di atas speedboat tidak perlu kentara dan demonstratif. Bukan apa-apa, hal itu sensitif di negeri yang bangsanya terpolarisasi sangat akut oleh agama: Islam dan Buddhis.
Maka, pembawa beras untuk Rohingya perlu pandai siasat. Fikih salat perlu diambil kedaruratannya. Tak perlu terlihat demonstratif, cukup khauf atau isyarat menggerakkan kepala, tangan dan jejari.
Oh ya, relawan Indonesia jangan lupa bawa miniatur Candi Borobudur. Itu oleh-oleh sangat berharga. Berikan kepada pemerintah lokal Myanmar atau lembaga lokal. Sampaikan bahwa itu tempat ibadah Budhha terbesar di dunia, ada di tengah masyarakat muslim Magelang Indonesia, aman damai dan tak dirusak sama sekali. Bahkan, pembuat patung Buddha di Muntilan, usai menatah patung Gautama, dia dendangkan salawat Nabi. Tak masalah. Toleransi wujud di Magelang.
Banyak kisah suka duka relawan Myanmar. Rohingya bukan sekadar urusan solidaritas Islam. Dia urusan kemanusiaan. Maka selesaikan dengan cara manusia: muamalah dalam perdamaian. []