DALAM beberapa tahun terakhir, istilah bank emok sering terdengar di masyarakat, terutama di daerah pedesaan. Bank emok sebenarnya bukanlah bank resmi, melainkan istilah yang digunakan untuk menyebut praktik kredit mikro yang dilakukan oleh lembaga keuangan non-bank atau koperasi simpan pinjam dengan sistem menyalurkan dana langsung kepada nasabah di desa-desa.
Disebut bank emok karena petugasnya sering datang ke rumah-rumah warga atau mengumpulkan ibu-ibu di satu tempat untuk menawarkan pinjaman dengan syarat mudah, tanpa agunan, serta pencairan cepat. Kata emok sendiri dalam bahasa Sunda berarti “duduk berkerumun,” sesuai dengan cara mereka mengumpulkan para calon nasabah.
BACA JUGA: Mengapa Aku Malas Sekali Beribadah?
Mengapa Bank Emok Diminati?
Bank emok diminati karena menawarkan solusi cepat untuk kebutuhan mendesak. Misalnya, untuk biaya sekolah anak, modal usaha kecil, atau kebutuhan konsumtif lainnya. Berbeda dengan bank konvensional yang proses pengajuan kreditnya lebih panjang dan membutuhkan jaminan, bank emok hanya perlu KTP dan mengisi formulir. Dalam waktu singkat, uang sudah diterima.
Selain itu, bagi sebagian ibu rumah tangga yang tidak memiliki penghasilan tetap, bank emok menjadi pilihan karena mereka bisa meminjam tanpa sepengetahuan suami. Hal ini menimbulkan kepraktisan bagi yang butuh dana darurat, namun juga memunculkan masalah baru.
Dampak Positif Bank Emok
-
Mempermudah akses modal usaha kecil
Banyak pedagang kecil yang kesulitan meminjam ke bank karena tidak punya jaminan. Bank emok hadir memberikan pinjaman cepat sehingga mereka bisa memutar modal usahanya. -
Meningkatkan aktivitas ekonomi desa
Dengan adanya pinjaman, aktivitas ekonomi di tingkat desa menjadi lebih hidup karena uang berputar lebih cepat, meskipun pada akhirnya tetap tergantung pada manajemen keuangan peminjam.
Dampak Negatif Bank Emok
-
Bunga yang tinggi
Bank emok biasanya mengenakan bunga harian atau mingguan yang jumlahnya sangat besar jika diakumulasikan. Tidak jarang total cicilan menjadi hampir dua kali lipat dari dana pinjaman awal. -
Jeratan utang tak berkesudahan
Karena kemudahan pinjamannya, banyak warga yang meminjam untuk kebutuhan konsumtif, bukan untuk produktif. Saat jatuh tempo, mereka belum memiliki uang untuk membayar, akhirnya meminjam lagi di tempat lain. Terjadilah gali lubang tutup lubang, hingga utang menumpuk dan membebani keluarga. -
Menghancurkan keharmonisan rumah tangga
Tidak sedikit kasus di mana suami marah besar karena baru mengetahui istri memiliki utang di bank emok, sedangkan denda keterlambatan sudah menumpuk. Konflik rumah tangga pun muncul karena masalah finansial yang terus menekan. -
Penagihan yang menakutkan
Petugas bank emok kerap datang bersama-sama untuk menagih utang ke rumah peminjam dengan nada tinggi atau memalukan peminjam di depan tetangga. Hal ini membuat mental dan harga diri peminjam jatuh. Ada yang sampai sakit karena stres, bahkan berujung pada perceraian atau tindakan nekat. -
Mengganggu ekonomi desa
Alih-alih menyejahterakan, bank emok justru membuat sebagian warga terjebak utang dalam jangka panjang. Pendapatan yang semestinya digunakan untuk kebutuhan pokok habis untuk membayar cicilan bunga tinggi.
BACA JUGA: Leasing, Benarkah Mengandung Praktik Riba?
Bagaimana Menyikapi Fenomena Bank Emok?
-
Pemerintah dan tokoh masyarakat perlu mengedukasi warga tentang literasi keuangan
Banyak warga meminjam hanya karena ikut-ikutan, tanpa menghitung kemampuan bayar dan risiko bunga tinggi. -
Menguatkan koperasi desa atau BMT syariah
Jika desa memiliki koperasi atau BMT dengan sistem syariah tanpa bunga, maka warga akan memiliki alternatif pinjaman yang lebih aman dan menenangkan hati tanpa riba. -
Memprioritaskan pinjaman untuk kebutuhan produktif
Jika memang terpaksa meminjam, maka gunakan untuk modal usaha agar ada pemasukan untuk membayar cicilan, bukan untuk membeli kebutuhan konsumtif.
Penutup
Fenomena bank emok adalah potret nyata lemahnya literasi keuangan di masyarakat. Kemudahan pinjaman bukan berarti bebas risiko. Sebagai muslim, kita diajarkan untuk menjauhi utang yang membebani dan menghindari riba karena membawa kesempitan hidup, baik di dunia maupun di akhirat. Semoga masyarakat semakin bijak dalam mengelola keuangan dan terhindar dari jeratan utang yang menyesakkan. []











