ISRA MI’RAJ merupakan peristiwa penting yang terjadi dalam Islam. Isra dan mi’raj merujuk pada dua peristiwa besar. Pertama, perjalanan Rasulullah SAW dari masjidil Haram ke Masjidil aqsha. Kedua, perjalanan naiknya Rasulullah SAW dari Masjidil Aqsha ke sidratul muntaha.
Isra bermakna perjalanan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam bersama Jibril dari Mekah ke Baitul Maqdis (Palestina) pada malam hari dengan mengendarai Buraq. Sementara mi’raj merujuk pada perjalanan Rasulullah SAW dari Masjidil Aqsha ke sidratul muntaha.
Bagaimana seorang Nabi yang merupakan manusia biasa bisa melakukan perjalanan ke langit, bahkan bertemu langsung dengan Allah SWT. Dan, yang paling mencengangkan adalah perjalanan ‘jauh’ nan luar biasa itu dilakukan dalam waktu semalam. Bagaimana bisa?
Begini penjelasannya:
Mi’raj secara bahasa berasal dari kata ‘aroja’ (عرج). Secara bahasa maknanya adalah suatu alat yang dipakai untuk naik, baik berupa tangga maupun yang lainnya. Sehingga secara istilah, mi’raj bermakna tangga khusus yang digunakan Nabi shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam untuk naik pada malam hari dari Baitul Maqdis ke langit (sidratul muntaha).
Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Maka saya mendapati 2 tangga, salah satunya dari emas dan yang lainnya dari perak”. Wallahu a’lam
Jadi, mi’raj itu merujuk pada alat yang berperan sebagaimana tangga, namun tidak diketahui bagaimana bentuknya. Hukumnya sama seperti perkara gaib lainnya, wajib kita imani tanpa sibuk membicarakan dan mengkhayalkan bentuknya. (Mu’jam Alfazhil Qur`an, karya Ar-Raghib Al-Ashfahany, Syarh Lum’atil I’tiqod, hal. 102 karya Syaikh Ibnu ‘Utsaimin, dan Syarh Al-‘Aqidah Ath-Thohawiyah, hal. 223 karya Ibnu Abil ‘Izz)
Pada peristiwa mi’raj itu Rasulullah melakukan perjalanan (naik) dari bumi (masjidil Aqsha) ke atas langit sampai tujuh petala langit hingga ke Sidratul Muntaha. Beliau naik dari masjidil Aqsha di Palestina, melalui berlapis-lapis langit, naik ke Baitul Makmur, Sidratul Muntaha, sampai ke Arsy dan Kursy dimana beliau menerima wahyu dari allah berupa perintah shalat 5 waktu.
Salah satu hal yang sering kali diperbincangkan adalah tentang bagaimana Rasulullah ber-isra dan ber-mi’raj? Apakah secara jasmaniah atau hanya secara ruhiyah saja?
Mayoritas ulama berpendapat bahwa isra’ mi’raj yang dialami Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam terjadi dengan jasad dan ruh beliau, serta dalam kondisi terjaga (tidak tidur).
Inilah pendapat yang paling kuat di kalangan para ulama.
Allah Ta’ala berfirman:
“Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al Masjidil Haram ke Al Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS. Al-Isra: 1)
Kata ‘hamba’ menunjukkan bahwa itu terjadi dengan ruh dan jasad secara bersamaan. Inilah yang shahih, sebagaima disebutkan dalam hadis-hadis Bukhari dan Muslim dengan riwayat yang beraneka ragam, yang menegaskan bahwa beliau shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam melakukan isra dan mi’raj dengan jasad beliau.
Imam Ibnu Qudamah rahimahullah berkata, “… Contohnya hadis isra’ dan mi’raj, beliau dalam keadaan terjaga, bukan dalam keadaan tidur, karena (kafir) Quraisy mengingkari dan bersombong terhadap peristiwa itu, padahal mereka tidak mengingkari mimpi”. (Lum’atul I’tiqod)
Hal yang sama juga disampaikan Imam Ath-Thohawy rahimahullah, dalam bukunya tentang Aqidah, beliau menyatakan, “Mi’raj adalah benar. Nabi shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam telah melakukan isra dan mi’raj dengan jasad beliau, dan dalam keadaan tidak tidur, ke atas langit …” (Syarh Ath-Thohawiyah karya Ibnu Abil ‘Izz rahimahullah atau syarah Syaikh ‘Abdul ‘Aziz Ar-Rojihy dan Syaikh Sholih bin ‘Abdil ‘Aziz Alu Asy-Syaikh hafizhahumallah). []
SUMBER:
KONSULTASI SYARIAH
KELENGKAPAN TARIKH NABI MUHAMMAD VOL 1 | MOENAWAR CHOLIL | GEMA INSANI