SETIAP tanggal 1 Januari, gemerlap pesta kembang api dan suara terompet menggema hampir di seluruh penjuru dunia, termasuk Indonesia. Namun ketika kalender Islam memasuki 1 Muharram—awal tahun baru Hijriyah—suasana justru terasa berbeda. Sepi. Sunyi. Bahkan banyak yang tidak sadar bahwa hari itu adalah tahun baru bagi umat Islam.
Mengapa bisa demikian? Berikut beberapa alasan utama mengapa 1 Muharram tidak semeriah tahun baru masehi:
1. Bukan Hari Raya, Tapi Hari Renungan
Dalam tradisi Islam, 1 Muharram bukanlah hari raya yang dirayakan dengan euforia atau pesta. Justru, ini adalah momen kontemplasi. Tahun baru Hijriyah bukan sekadar pergantian tahun, tapi mengenang peristiwa besar hijrahnya Nabi Muhammad SAW dari Makkah ke Madinah. Hijrah ini bukan hanya fisik, tapi juga spiritual—simbol perubahan menuju kondisi yang lebih baik.
BACA JUGA: Apa Hukum Menikah di Bulan Muharram? Benarkah Tidak Boleh?
Karenanya, umat Islam diajak untuk merenung, bukan berpesta. Inilah yang membuat suasananya terasa lebih tenang dan khusyuk dibanding tahun baru masehi.
2. Minim Sorotan Media dan Komersialisasi
Tahun baru masehi didorong oleh kekuatan media dan industri hiburan yang masif. Iklan diskon akhir tahun, konser, acara TV spesial, dan wisata akhir tahun membuat 1 Januari begitu meriah. Sebaliknya, 1 Muharram jarang dijadikan momen komersial. Minim promosi dan pemberitaan membuat banyak orang tidak terlalu menantikan atau bahkan lupa dengan kedatangannya.
3. Kurangnya Edukasi dan Kesadaran Umat
Banyak umat Islam yang tumbuh tanpa pengetahuan yang cukup tentang makna dan keistimewaan bulan Muharram. Bahkan sebagian besar hanya mengenal Ramadan dan Idul Fitri sebagai momen penting dalam Islam. Ini menjadi tugas penting lembaga pendidikan, masjid, dan para dai untuk terus menghidupkan kembali semangat Muharram di tengah masyarakat.
4. Masih Tersisih oleh Kalender Masehi
Hampir semua aktivitas di dunia modern—sekolah, kerja, administrasi negara—menggunakan kalender masehi. Kalender Hijriyah hanya digunakan dalam konteks ibadah. Akibatnya, peristiwa seperti 1 Muharram tidak mendapat tempat utama dalam kesadaran kolektif masyarakat modern, termasuk umat Islam sendiri.
5. Budaya Perayaan Islam yang Sederhana
Islam mengajarkan kesederhanaan dalam merayakan sesuatu. Tidak ada pesta pora atau foya-foya dalam menyambut 1 Muharram. Bahkan Nabi SAW sendiri tidak menganjurkan perayaan besar di awal tahun Hijriyah. Justru, beliau lebih menekankan amal, doa, dan introspeksi.
Misalnya, salah satu amalan di bulan Muharram adalah puasa Asyura (10 Muharram) yang memiliki keutamaan besar, jauh dari kesan hingar-bingar.
6. Dipandang Sebagai Hari Biasa
Karena tidak libur nasional, 1 Muharram seringkali berlalu begitu saja. Banyak orang tetap bekerja, sekolah, dan menjalani aktivitas seperti biasa. Tidak ada “countdown” atau acara besar. Kecuali di beberapa daerah yang masih menjaga tradisi Islam lokal, suasana tahun baru Hijriyah kerap dianggap sama seperti hari biasa.
BACA JUGA: Hukum Puasa Sunah Sebulan Penuh di Bulan Muharram
Penutup: Saatnya Menghidupkan Semangat Hijrah
Kesunyian 1 Muharram bukanlah tanda kelemahan, melainkan cerminan ketenangan dan spiritualitas Islam. Tapi bukan berarti kita harus membiarkannya terlupakan. Sebagai umat Islam, sudah seharusnya kita mulai membangun kesadaran tentang makna besar di balik tahun baru Hijriyah.
Kita bisa memulainya dengan hal-hal sederhana:
-
Mengikuti pengajian tentang hijrah
-
Mengajarkan anak-anak arti penting 1 Muharram
-
Berdoa dan membuat resolusi hijrah diri ke arah yang lebih baik
-
Menyebarkan konten edukatif di media sosial
Tahun baru Hijriyah adalah milik kita—umat Islam. Dan tugas kita lah untuk menjadikannya hidup, bermakna, dan penuh cahaya hijrah. []











