DALAM tradisi Islam, kucing adalah hewan yang dipandang mulia dan bersih. Nabi Muhammad SAW pun dikenal memiliki seekor kucing peliharaan bernama Mueeza. Namun, ketika kita membahas masalah fikih, terutama yang berkaitan dengan ibadah seperti salat, muncul pertanyaan penting: bagaimana hukum bulu kucing yang rontok dan menempel pada pakaian atau tempat salat?
Bulu Kucing dan Najis dalam Mazhab Syafi’i
Dalam mazhab Syafi’i, kucing tergolong hewan yang tidak halal dimakan, sehingga bagian tubuhnya yang terlepas ketika masih hidup—seperti bulu, air liur, atau kotorannya—dihukumi najis. Maka dari itu, bulu kucing yang rontok termasuk najis. Namun, ini bukan akhir dari permasalahan, karena ada konsep najis yang disebut “ma’fu” atau dimaafkan.
BACA JUGA: 7 Hal yang Dibenci Kucing
Najis ma’fu adalah najis yang dimaafkan karena sulit untuk dihindari. Dalam hal ini, para ulama mazhab Syafi’i menyatakan bahwa bulu kucing yang rontok dalam jumlah kecil termasuk dalam kategori ini. Jadi, selama bulunya hanya sedikit dan tidak disengaja, maka keberadaannya tidak membatalkan kesucian salat.
Ukuran “Sedikit” dan Ketentuan ‘Urf
Apa yang disebut “sedikit” sangat tergantung pada ‘urf atau kebiasaan masyarakat setempat. Misalnya, dua hingga tiga helai bulu kucing yang menempel pada pakaian atau sajadah biasanya dianggap sedikit dan sulit dihindari, apalagi bagi mereka yang memelihara kucing. Dalam kasus seperti itu, bulu kucing dianggap najis tapi dimaafkan.
Namun, jika bulu kucing menempel dalam jumlah banyak, maka itu tidak lagi dianggap najis ma’fu. Dalam kondisi ini, seseorang dianjurkan untuk membersihkan pakaian atau tempat salat sebelum melaksanakan ibadah.
Bulu Kucing dan Air untuk Bersuci
Dalam hal air wudhu, jika bulu kucing yang rontok jatuh ke dalam air yang kurang dari dua kullah (sekitar 216 liter), maka menurut sebagian ulama, air tersebut tetap suci selama tidak berubah warna, rasa, atau baunya. Hal ini karena najisnya sangat kecil dan sulit dihindari. Namun, jika air berubah karena bulu tersebut, maka air menjadi tidak sah digunakan untuk bersuci.
Hukum untuk Profesi Tertentu
Bagi orang-orang yang memiliki profesi atau kebiasaan yang dekat dengan kucing—seperti dokter hewan, petugas shelter, atau pemelihara kucing—najis bulu kucing dalam jumlah banyak juga dapat masuk dalam kategori najis ma’fu. Hal ini didasarkan pada prinsip masyaqqah (kesulitan) dalam Islam yang membuka ruang keringanan dalam pelaksanaan hukum syariat.
BACA JUGA: 8 Hal yang Harus Dilakukan Jika Kita Menabrak Kucing
Kesimpulan
Dalam Islam, khususnya menurut mazhab Syafi’i:
-
Bulu kucing yang terlepas dari tubuh kucing hidup dihukumi najis.
-
Jika jumlahnya sedikit dan sulit dihindari, maka najis itu dimaafkan (najis ma’fu).
-
Penilaian banyak atau sedikit dikembalikan pada kebiasaan masyarakat (‘urf).
-
Air yang terkena bulu kucing tetap suci selama tidak berubah sifatnya.
-
Untuk orang yang sulit menghindari bulu kucing, keringanan tetap berlaku.
Oleh karena itu, memelihara kucing tetap diperbolehkan dan tidak mengganggu ibadah, selama kita memperhatikan kebersihan dan memahami batasan fikih yang berlaku. []











