• Home
  • Disclaimer
  • Iklan
  • Redaksi
  • Donasi
  • Copyright
Senin, 22 Desember 2025
Islampos
  • Home
  • Beginner
  • Tahukah
  • Sirah
  • Renungan
  • Muslimbiz
    • Muslimtrip
  • Berita
  • Cari
Tidak ada Hasil
View All Result
  • Home
  • Beginner
  • Tahukah
  • Sirah
  • Renungan
  • Muslimbiz
    • Muslimtrip
  • Berita
  • Cari
Tidak ada Hasil
View All Result
Tidak ada Hasil
View All Result
Islampos
Home Kolom

Derajat Mahabbah Ibnu Athaillah

Oleh Saad Saefullah
2 tahun lalu
in Kolom
Waktu Baca: 5 menit baca
A A
0
Imam Ghazali, abu hanifah, Imam Ahmad, Abu Zayd Hunayn, Ibnu Athaillah, Keistimewaan Ibnu Taimiyah, Hasan Al Basri

Foto: Smithsonian Magazine

0
BAGIKAN

Derajat Mahabbah Ibnu Athaillah 1 Ibnu AthaillahKITA mengenal karya monumental Ibnu Athaillah, Al-Hikam yang mengacu langsung dari keagungan Alquran dan sunnah Nabi. Dalam kitab tersebut, Ibnu Athaillah sangat piawai dan terampil sebagai pemandu jalan spiritualitas yang terang dan menerangkan. Ia dapat dikatakan “guru spiritual” yang menyalakan obor untuk menunjukkan segala arah di setiap kelokan jalan berliku, hingga manusia dapat menempuh jalan keselamatan, bahkan menyelamatkan sesamanya.

Corak pemikiran Ibnu Athaillah nampak unik dan berbeda dengan para tokoh sufi lainnya. Ia lebih menekankan nilai tasawuf pada aspek ma’rifat. Di antara tokoh-tokoh sufi lainnya, Ibnu Athaillah tidak mengedepankan aspek-aspek teologis murni, melainkan diimbangi dengan unsure pengamalan ibadah dan suluk, artinya di antara syari’at, tarikat dan hakikat ditempuh dengan cara metodis. Kitab Al-Hikam seakan menjadi poros dan panduan, bahkan perlawanan terhadap realitas dunia yang hiper-modern saat ini.

Di era globalisasi yang gegap-gempita dengan kecenderungan dunia (hedonisme), Ibnu Athaillah bukan semata mengajarkan kita agar menghindari dunia untuk kepentingan akhirat. Akan tetapi, kita pun dituntut agar mampu bersaing dalam kancah pergaulan yang materialistik. Ia menyadari betul ketertinggalan umat Islam secara ekonomi dan kultural, namun ia tidak menganjurkan kezuhudan yang eksklusif dan mengisolasi diri. Baginya, kemakmuran dan kesejahteraan diperlukan, tetapi ia harus menjadi jembatan (washilah) untuk dapat mensyukuri nikmat-nikmat yang dianugerahkan Allah kepada manusia dan makhluk-makhluk lainnya.

Tarekat Ibnu Athaillah

Sekali lagi, Ibnu Athaillah tidak menganjurkan kita agar meninggalkan dunia yang sudah ada ini. Realitas hidup, fisik, materi, sandang-pangan-papan, bahkan profesi yang kita miliki, harus lebih disimpelkan dan disederhanakan. Dalam kesederhanaan itu, akan menumbuhkan jiwa syukur, karena kita dapat menikmati sebuah rasa. Bukan dengan hidup bermewah-mewahan (mubazir), juga bukan dengan meninggalkan dunia sama sekali. Karena dengan membanting stir meninggalkan kenikmatan duniawi, membuat manusia abai dan kehilangan rasa syukurnya. Sebaliknya, hidup serba glamor dan bermewah-mewahan, akan membuat manusia berlaku zalim atas nikmat dan anugerah Allah.

ArtikelTerkait

Jangan Lagi Bilang “Nggak Suka Senin!”

Tentara yang Diperas oleh Negaranya Sendiri

Firaun Tak Kalahkan Musa, Netanyahu Takkan Kalahkan Gaza

Dari Era Pra Hijrah ke Gaza: Warisan Generasi Progresif dalam Menolak Ketidakadilan

Lalu, jalan tengah antara sifat kikir yang dilarang agama, dengan sifat loyal dan boros yang dimurkai Allah, adalah menafkahkan harta sesuai jalur yang semestinya. Di situlah Islam menggarisbawahi konsep sedekah, infaq maupun zakat, yang harus dialokasikan sesuai peruntukannya.

BACA JUGA:  Kebebasan dan Kerancuan Filsafat Barat

Sama halnya dengan ketaatan pada Allah yang harus mutlak, berbeda dengan kepatuhan pada orang tua yang cenderung konservatif. Kepatuhan buta pada orang tua (makhluk) tidak diindahkan oleh agama, di sisi lain manusia harus bersikap hormat dan menghargai kedua orang tuanya, apa pun paham, mazhab maupun agamanya. Jalan tengah yang dianjurkan Ibnu Athaillah sesuai dengan perintah Allah dalam Alquran, bahwa setiap manusia harus menyikapi orang tuanya dengan bijak dalam kehidupan di dunia ini. Kalaupun berbeda pendapat dan pandangan, juga harus dikemukakan dengan santun dan penuh rasa hormat.

Ibnu Athaillah termasuk salah satu tokoh sufi yang menempuh jalur tasawuf hampir searah dengan filosof dan ulama besar Imam Al-Ghazali. Ia lebih cenderung pada asketisme, pelurusan dan penyucian kalbu (tazkiyah an-nafs). Kualitas tasawuf yang moderat ini lebih bertumpu pada manajemen qalbu. Sehaluan dengan pendahulunya Abu al-Hasan As-Syadzili, bahwa dengan hati yang bersih, maka seluruh organ-organ tubuh yang mewakili “nyawa” manusia, akan tersucikan dengan sendirinya.

Bagi Ibnu Athaillah , dunia yang dibenci para sufi adalah dunia yang melengahkan dan memperbudak manusia. Kesenangan dunia adalah tingkah laku syahwat, keinginan yang tak kunjung habis, dan hawa nafsu yang terus-menerus meninabobokan. “Sesungguhnya, dunia yang hanya berfungsi sebagai permainan dan senda gurau (alla’bu wallahwu) itulah yang dibenci kaum sufi,” tegas Ibnu Athaillah . Termasuk di dalamnya dunia entertainment dan bisnis, jika sampai lengah dan melupakan Allah, maka manusia akan dibutakan dari rasa syukur, bahwa semuanya itu adalah titipan dan amanah dari Sang Khaliq.

Penghamba dunia

Kita perlu memperolah harta kekayaan, boleh menjadi pengusaha yang kaya raya, tetapi hati kita tak boleh bergantung pada harta dan kedudukan duniawi. Untuk itu, kita tak perlu sedih dan frustasi ketika pada waktunya Allah mengambil apa-apa yang kita miliki. Di sisi lain, kita pun tak boleh pongah dan bangga diri, saat kenikmatan dan kelapangan berada di tangan kita.

Abu Hanifah, Ibnu Athaillah

Konsep pemikiran Ibnu Athaillah dalam kitab Hikam-nya, seakan menorehkan jalan tengah yang menjembatani sikap apatis pada sebagian sufi yang menjauhi dunia, di sisi lain sikap angkuh dan egois para penguasa dan hartawan yang sibuk mencari kedudukan duniawi. Bagi Ibnu Athaillah , maqam ma’rifat dapat ditempuh dengan dua jalan yang esensial. Pertama, jalan “mawahib” yang dikaruniakan langsung kepada hamba-hamba yang dikasihi-Nya. Kedua, jalan “makasib” yang diperoleh melalui usaha dan perjuangan seorang individu melalui berbagai pelatihan spiritual (riyadlah) seperti zikir, rajin wudlu, salat sunnah, puasa dan amalan-amalan lainnya.

BACA JUGA: Medsos dan DNA Kaum Inlander

Bagi Ibnu Athaillah , untuk mencapai derajat-derajat yang lebih tinggi, seseorang harus mengawali dari maqam “taubat” terlebih dahulu. Sebab, tujuan akhir tak mungkin tersampaikan jika tanpa disertai syarat-syarat prinsipil yang menjadi jembatannya. Cara taubat tersebut adalah dengan merenung dan menyendiri (khalwat) disertai membuka memori masa lalu, perihal kesalahan dan kekhilafan yang pernah diperbuat.

Dengan jalan itu, manusia dapat bermuhasabah dan introspeksi diri, sehingga terampil menjadi ahli sabar dan ahli syukur. Dia akan senantiasa bertobat dan beristighfar jika ia mendapati perbuatannya yang dilarang agama, dan ia pun senantiasa bersyukur jika melakukan kebaikan (ketaatan) pada perintah Allah Swt.

Adapun mengenai konsep “zuhud” dalam pemikiran Ibnu Athaillah adalah kesederhanaan pada sesuatu yang dihalalkan, seperti makanan, pakaian, maupun perabot dan aksesoris yang bersifat duniawi. Meskipun semuanya itu diperbolehkan tapi manusia harus memiliki rasa takut (khauf) untuk tidak menggunakannya secara berlebihan.

Dalam perkara takut ini. Ibnu Athaillah menyebutnya “zuhud batin” yang dapat diperoleh dengan cara merenung (ta’ammul), agar manusia terhindar dari keangkuhan dan egoisme pada penampilan luar, gelar, pangkat, jabatan kedudukan dan seterusnya.

Mengenai konsep “syukur” sangat terkait erat dengan upaya menyampaikan nilai-nilai kebaikan yang dianugerahkan Allah (tahadduts binni’mah). Bahwa segala kebaikan dan amal saleh yang kita lakukan, hakikatnya lantaran Allah memberi kesempatan, ruang dan waktu, bahkan kekuatan untuk dapat melaksanakannya dengan baik.

Imam Bukhari Imam Syafi' Nikmatnya Hidup Sederhana, Imam Muslim, Saya Tidak Tahu, Imam Ibnu Rajab, Hasan Al-Bashri, Syekh, Thufeil Bin Amr Ad-Dausi, Fatwa Harian Modern, Sejarah Penulisan Hadis, Imam Ahmad, Imam asy-Syafi'i, Nasihat Imam Al-Ghazali, Imam Ahmad, Imam Ahmad, Imam Syafi'i, Abu Zayd Hunayn, Ibnu Athaillah
Foto: Pinterest

Memelihara rasa takut

Rasa takut (khauf) yang dimaksudkan Ibnu Athaillah , akan meniscayakan seseorang untuk memanfaatkan amanah dan anugerah Allah dengan seotimal mungkin. Sebab, kasih sayang Allah mudah saja dicabut, sehingga manusia terpuruk dalam kehinaan dan kenistaan. Sungguh mudah bagi Allah untuk mengambil kembali harta-kekayaan maupun kekuasaan yang digenggam mati-matian dalam kehidupan dunia ini. Ketakutan pada hukum kepastian yang ditentukan Allah, jika manusia terlena pada aksesoris yang dibanggakan.

BACA JUGA:  Kiat Menghormati Nasab Rasulullah

Selayaknya manusia berpegang hanya kepada Allah, karena jika Dia berkehendak untuk mengabulkan harapan (roja) dan cita-cita manusia, tak ada kekuatan apapun yang bisa menghalangi dan merintanginya. Juga tak ada kekuatan apapun yang dapat memberi pertolongan, jika Allah berkehendak untuk mencegah dan menghentikannya. Setelah itu, apapun yang dikaruniakan, sedikit maupun banyak, berposisi dalam kedudukan tinggi maupun rendah, hendaknya disertai perasaan ikhlas dan ridho bahwa itulah yang terbaik diberikan Allah bagi kebutuhan hidup manusia.

Untuk itu, puncak dari segala maqam manusia adalah “mahabbah”, bahwa agenda dan rencana terbaik manusia pada akhirnya harus memasrahkan diri pada rencana Allah. Dan manusia harus ikhlas dan sumarah bahwa itulah yang terbaik. Keikhlasan dan keridhoan pada keputusan Allah itulah yang membuat manusia mencapai derajat dicintai oleh-Nya. Rasa cinta itu didasarkan atas ketulusan hati kepada pihak yang dicintainya, tanpa mengharap-harap balas budi maupun balas jasa. Jika pun balas budi itu diberikan oleh Yang dicintai-Nya, ia akan pasrah menerima bentuk apapun balas budi yang dianugerahkan kepadanya.

Biarlah Allah Yang Maha Tahu balasan terbaik dari setiap hamba-hamba yang dicintai-Nya. Allah Maha Adil, dan Maha Membalas setiap kebaikan dari hamba-hamba-Nya. []

Kirim tulisan Anda ke Islampos. Isi di luar tanggung jawab redaksi. Silakan kirim ke: islampos@gmail.com, dengan ketentuan tema Islami, pengetahuan umum, renungan dan gagasan atau ide, Times New Roman, 12 pt, maksimal 650 karakter.

Tags: Hafis AzhariIbnu Athaillah
ShareSendShareTweetShareScan
ADVERTISEMENT
Previous Post

Kata PAN soal Eks Kader PDIP Cinta Mega yang Kena Kasus Judi Slot Nyaleg di Partainya

Next Post

Sesalkan Diskusi Anies di Bandung Dibatalkan Pemprov Jabar, Ini Kata PKS

Saad Saefullah

Saad Saefullah

Lelaki. Tidak terkenal. Menyukai kisah-kisah Nabi dan Para Sahabat.

Terkait Posts

Senin

Jangan Lagi Bilang “Nggak Suka Senin!”

14 Juli 2025
Israel, Yahudi, Gaza, Tentara

Tentara yang Diperas oleh Negaranya Sendiri

10 Juli 2025
Firaun, Benjamin Netanyahu

Firaun Tak Kalahkan Musa, Netanyahu Takkan Kalahkan Gaza

9 Juli 2025
Gaza

Dari Era Pra Hijrah ke Gaza: Warisan Generasi Progresif dalam Menolak Ketidakadilan

8 Juli 2025
Please login to join discussion

Tulisan Terbaru

Melakukan Perubahan, sifat jujur, orang yang meninggalkan shalat, istidraj, FITNAH, SYAHWAT, maksiat, bunuh diri, dosa, maksiat, taubat

5 Alasan Jangan Mengungkit Dosa Masa Lalu Seseorang yang Sudah Bertaubat

Oleh Yudi
14 Juli 2025
0

agar tidak mengulangi dosa, mengganti shalat wajib, dosa jariyah, mandi, dosa, shalat

Jangan Tinggalkan Shalat Meski Badan Kotor saat Kerja, Tidak Semua Kotor Itu Najis

Oleh Yudi
14 Juli 2025
0

Senin

Jangan Lagi Bilang “Nggak Suka Senin!”

Oleh Dini Koswarini
14 Juli 2025
0

Cerai, Sebab Zina Dilarang dalam Islam, zina, Penyebab Lelaki Selingkuh, Talak

Talak: Halal yang Dibenci, Senjata Iblis untuk Memecah Belah

Oleh Saad Saefullah
13 Juli 2025
0

Laporan Donasi Islampos Juli 2025: Alhamdulillah, Sudah Terkumpul Rp2.390.999! 2 Ibnu Athaillah

Laporan Donasi Islampos Juli 2025: Alhamdulillah, Sudah Terkumpul Rp2.390.999!

Oleh Saad Saefullah
13 Juli 2025
0

Terpopuler

MasyaAllah, Inilah 124 Nama Sahabiyat untuk Bayi Perempuan beserta Artinya

Oleh Haura Nurbani
24 Agustus 2023
0
Hukum Mengubur Ari-ari Bayi, Fakta Bayi Baru Lahir, ASI, ciri bayi cerdas, nama, Nama Anak Perempuan, Hukum Bayi Tabung dalam Islam, Doa ketika Melahirkan

Nama Sahabiyat adalah nama wanita-wanita agung yang dikaitkan dengan Nabi Muhammad dalam menyebarkan Islam bersamanya.

Lihat LebihDetails

85 Motto Hidup dari Kutipan Ayat Alquran

Oleh Eneng Susanti
17 Januari 2023
0
motto hidup ayat Alquran, cara menjadikan Al-Qur'an sebagai penyembuh

SAHABAT mulia Islampos, ada banyak pelajaran dan hikmah yang bisa dipetik dari Alquran. Banyak pula kutipan ayat Alquran yang bisa...

Lihat LebihDetails

Berikut 7 Ayat Al-Quran tentang Masjid

Oleh Sufyan Jawas
1 November 2021
0
Ayat Al-quran tentang masjid

Saking pentingnya dalam kehidupan seorang Muslim, ada beberapa ayat Al-Quran tentang masjid. 

Lihat LebihDetails

12 Ayat Al-Quran tentang Istiqamah, Dapat Memotivasi Kita

Oleh Sufyan Jawas
31 Oktober 2021
0
Hadist Nabi Tentang Ikhlas

ayat Al-Quran Tentang Istiqamah

Lihat LebihDetails

Tempat-Tempat Terlarang untuk Shalat, di Mana Saja?

Oleh Haura Nurbani
3 Juli 2025
0
Pembatal Shalat

Tempat yang digunakan untuk shalat harus bersih, suci, dan sesuai dengan adab syariat.

Lihat LebihDetails
Facebook Twitter Youtube Pinterest Telegram

© 2022 islampos - Membuka, Menginspirasi, Free to Share.

Tidak ada Hasil
View All Result
  • Home
  • Beginner
  • Tahukah
  • Sirah
  • Renungan
  • Muslimbiz
    • Muslimtrip
  • Berita
  • Cari

© 2022 islampos - Membuka, Menginspirasi, Free to Share.