TUNIS — Muncul tuntutan dari sekelompok perempuan di Tunisia agar pemerintah melegalkan poligami. aksi ini marak di media sosial.
Ketua Forum Kebebasan dan Kewarganegaraan, Fathi Al-Zghal, mengkonfirmasi bahwa demonstrasi dadakan menuntut poligami itu dipicu meningkatnya jumlah perempuan lajang yang masih menjomlo di negara tersebut.
Menurut laporan terbaru yang diterbitkan oleh Kantor Nasional untuk Keluarga dan Penduduk pada Desember 2017, Tunisia adalah salah satu negara dengan tingkat keengganan tertinggi untuk menikah, dengan tingkat 60 persen, jauh lebih tinggi daripada rasio negara Arab lain.
BACA JUGA:Â Apa Kabar, Muslim Tunisia?
Laporan tersebut mengungkapkan bahwa jumlah perempuan lajang telah meningkat menjadi lebih dari 2,25 juta, dari total 4,9 juta perempuan di negara ini. Ini telah meningkat dari hanya 990.000 pada tahun 1994, dengan usia kehamilan tertinggi di antara perempuan usia 25-34.
Dalam pernyataannya di Al-Khaleej Online, Al-Zghal mengatakan dia tidak menyerukan demonstrasi, namun dia mendukung ide tersebut karena ada kebutuhan mengentaskan masalah maraknya lajang di Tunisia.
Seperti diketahui, Tunisia adalah satu-satunya negara di dunia yang secara resmi melarang warga negaranya berpoligami. Aturan itu tertuang dalam UU Status Pribadi Pasal 18, sebuah UU yang dibuat untuk melindungi hak dan kebebasan perempuan di Tunisia
Oleh karena itu, Al-Zghal juga meminta judicial review UU Status Personal. Bukan hanya soal pasal polgami, tapi juga soal prosedur perceraian yang dianggap tidak adil dan abolisi prinsip adopsi karena bertentangan dengan hukum syariah.
BACA JUGA:Â Tunisia dan Mesir Bahas Rencana Undang Bashar Assad ke KTT Liga Arab 2019
Sementara itu Kepala Persatuan Nasional Perempuan Tunisia, Radhia Djerbi, mengatakan kepada Alkhaleej Online bahwa pasal-pasal dari UU Status Pribadi disetujui oleh Konstitusi Tunisia dan tidak dapat diamandemen melalui protes.
Djerbi menganggap seruan untuk protes yang menuntut poligami atas alasan banyaknya perempuan yang jomblo sebagai “bentuk kegilaan, sebuah fenomena patologis dan juga “menunjukkan kurangnya kesadaran orang-orang yang menuntutnya.”
Dia mengklaim, tuntutan tersebut tidak akan mempengaruhi gaya hidup masyarakat Tunisia atau prestasi perempuan Tunisia. []
SUMBER: MIDDLE EAST EYE | AL KHALEEJ