SABTU sore, 17 April 2004. Jalan Jala Gifafi, Utara Jalur Ghaza, Palestina.
Dr. Abdul Aziz Rantisi mengenakan pakaian paling bagus. Apik, rapi, dan serasi.
Ada rasa yang merona, ada citra yang membongkah, dan ada seri riang dalam wajah. Sebait syair nasyid ringan mengalun dari bibirnya.
“Agar Allah memasukkanku ke dalam surga
Itulah keinginanku yang paling tinggi…,”
BACA JUGA:Â Tubuhnya Lumpuh, Tapi Ditakuti Israel
“Benar,” kenang Asma putri kesayangannya, “ayah sepanjang hari itu berulang kali bersenandung dengan syair itu. Ayah seperti menyenandungkan nasyid itu dari hati terdalam. Saat keluar rumah, ayah mengenakan pakaian yang paling bagus dan keluar dengan perasaan gembira.”
Dengan riang Rantisi berkendara. Di saat bersamaan di atas mobil yang ditumpanginya, Helikopter Apache milik Israel mengintai.
Tiba-tiba Apache itu memuntahkan amunisi. Duar! Dua buah rudal menghantam mobil tersebut.
Seketika dua orang pengawal dan seorang putra Rantisi meninggal.
Rantisi menyelamatkan diri. Berlari dari kejaran tentara Israel yang hendak membunuhnya. Ah, ternyata hanya mampu melangkah 200 meter. Rantisi terluka parah, jatuh dan pingsan.
Dengan luka di sekujur tubuh, Rantisi dilarikan ke rumah sakit Syifa yang berada di Jalur Gaza. Upaya maksimal dilakukan demi menyelamatkan nyawanya.
Dan hasilnya?
Innalillahi wa Inna ilaihi rajiun.
Rantisi mengembuskan nafas terakhir.
Kaum Muslimin kehilangan satu mutiara yang selalu mengisi malam dengan qiyamullail. Mutiara yang halus bahasanya, indah perangainya, dan teduh air mukanya.
Derai air mata sanak keluarga, kerabat dan kaum Muslimin tumpah ruah. Sedu sedan mengiringi kepergiannya ke alam keabadian.
Kini pahlawan itu telah tiada. Oh, tidak. Sesungguhnya ia tidak mati, “Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati; bahkan mereka itu hidup disisi Tuhannya dengan mendapat rezeki.” (QS Ali ‘Imran [3]: 169)
Saat orang-orang berkerumun di rumahnya untuk menyampaikan duka cita.
Lalu sang istri, Sayyidah Rasya Rantisi atau biasa dipanggil Ummu Muhammad, dengan indah bertutur:
“Demi Allah, ini adalah kesempatan yang membanggakan, saya bisa berdiri di sini pada hari ini. Di saat pemakaman suami saya dan di saat sambutan 72 bidadari hurun iin. Saya mohon kepada Allah semoga Dia memberikan para bidadari itu untuknya.”
MasyaAllah, inilah sosok istri sang mujahid. Wanita shalehah yang tangguh, tegar, dan ikhlas melepas kepergian suami tercinta di jalan dakwah. Demi kemuliaan Islam, demi tegaknya Izzatul Islam wal Muslimin.
BACA JUGA:Â Khairuddin Barbarossa, Bajak Laut atau Mujahid?
Semoga kelak lahir manusia-manusia super seperti Ar-Rantisi, Syaikh Ahmad Yasin yang menggetarkan Zionis Israel, atau Syaikh Abdullah Azzam Sang Reviver Jihad abad 20.
Mari sampaikanlah pada musuh-musuh Allah sebagaimana yang dikatakan oleh Syaikh Mujahid Abdullah Azzam:
“Bagaimanakah keadaan mereka, jika mereka tahu bahwa tindakkan intimidasi yang mereka lancarkan hanya akan menambah kekuatan, keikhlasan dan keteguhan bagi kita? Setiap kali mereka menambah intensitas siksaan dan azab kepada kepada ahlulhaq (pembela kebenaran), setiap kali itu pula lahir generasi yang lebih kuat, lebih kokoh, lebih bijak dan lebih berakal.”
Gugur satu tumbuh seribu. Wallahu’alam. []