DARI atas kasur, seorang perempuan Syiah Suriah tampak resah. Wajahnya memerah, keringat mulai membanjiri keningnya. Berkali-kali, perempuan ini mengurut gundukan di perutnya yang kian membesar dalam kurun sembilan bulan.
Hari itu adalah hari di mana Ariyah harus melahirkan. Sudah tak terhitung berapa kali ia mengalami kontraksi. Tekanan itu berlangsung selama 40-60 detik, terjadi di setiap 10 sampai 20 menit atau satu jam.
Namun, problem yang dialami wanita Suriah pada umumnya adalah, kondisi yang tidak memungkinkan untuk melahirkan. Termasuk pada wanita yang tinggal di Lattakia, Suriah ini.
Perang yang dikomandani oleh Bashar Assad telah membunuh ribuan dokter. Sisanya, lebih memilih mengungsi ke luar negeri. Hanya sehitung jari dari mereka yang memilih tetap bertahan.
Di tengah instalasi kesehatan yang dibangun kembali a la kadarnya, para dokter ini harus bertarung dengan ancaman pembunuhan.
Berkali-kali roket dan birmil mendarat saat mereka menangani para korban perang di pihak pejuang maupun warga. Bahkan, tidak sedikit dari mereka yang meninggalkan pasiennya karena harus terlebih dulu menghadap Sang Pencipta.
“Lebih dari relawan medis terbunuh di Suriah, 97 % dibunuh rezim,” dalam sebuah laporan Dokter untuk Hak Asasi Manusia, yang dirilis di Al Jazeera, pada hari Rabu (11/3/2015).
Hingga Maret 2015, kelompok dokter mengaku telah mendokumentasikan 233 serangan pada 183 fasilitas medis di Suriah, sejak pemberontakan di negara itu dimulai pada Maret 2011.
“Setiap dokter yang dibunuh atau rumah sakit yang dihancurkan meninggalkan ratusan atau bahkan ribuan warga Suriah kehilangan tempat dan tenaga medis perawatan kesehatan,” kata Direktur kelompok investigasi, Erin Gallagher.
Meratapi kondisi ini, maka melahirkan bagi Ariyah, meski “warga rezim”, bukanlah pilihan mudah. Untuk itu, ia harus menghadapi dua tantangan sekaligus: menahan rasa sakit dan memastikan dirinya selamat.
Kabar tersiar, masih ada satu rumah sakit lapangan yang masih beroperasi. Namanya Rumah Sakit Lapangan Salma. Sesuai namanya, rumah sakit ini bukanlah rumah sakit permanen.
Ia didirikan di tengah medan pertempuran oleh seorang dokter bernama Habib. Problemnya adalah, dokter tersebut seorang Ahlussunah. Dan Ariyah tahu betul bagaimana pandangan Syiah terhadap mereka.
“Mereka adalah nawashib, teroris, halal darah dan hartanya! Maka biarkan Hizbullah dan Bashar menghancurkan mereka!” itulah slogan tokoh-tokoh Syiah di Iran.
Gambaran buruk itu setia mengendap di pikirannya, dan kini, menyeruak bersama rasa sakitnya. Bagaimana mungkin seorang wanita Syiah bisa melahirkan di tangan teroris? Namun, Ariyah tidak punya pilihan. Jalan itu terpaksa diambil demi buah hati yang dikandungnya.
Bersama keluarganya, Ariyah pergi ke tempat tujuan. Tiba di rumah sakit lapangan, Ariyah diliputi ketakutan dan kecemasan. Pernyataan tokoh-tokoh Syiah itu belum lepas dari pikirannya.
Hingga, “teroris” yang ditakuti Ariyah itu datang dan menghampirinya dengan senyuman. Itulah sosok dr. Habib. Dokter aseli Suriah yang rela meninggalkan jabatan bergengsinya di Inggris untuk menjadi dokter lapangan di Suriah.
Berbeda dari gambaran rezim, ternyata dokter-dokter Ahlussunah adalah pribadi yang lembut, tak terkecuali dr. Habib. Pria berjanggut khas warga Suriah ini orang yang ramah dan santun. Tutur katanya lembut, wajahnya teduh, sinar kemuliaan terpancar dalam hatinya.
Ariyah sadar, bagaimana nasib ribuan wanita Ahlussunah yang ditawan oleh tentara Syiah Suriah. Mereka disiksa, diperkosa, dan dibiarkan tergeletak di tengah jalan setelah puas disakiti. “Lantas bagaimanakah dengan nasibku,” tanyanya dalam hati.
Tak lama kemudian, dokter dengan senyum lebar ini memulai proses persalinan dirinya. Dengan penuh kesabaran, dr. Habib membantu mengeluarkan si buah hati.
“Kau tidak perlu takut. Kami akan melayanimu semaksimal mungkin,” kata dr. Habib menenangkan.
Seluruh perawat dikerahkan. Segala fasilitas persalinan dikeluarkan. Dengan mengenakan jubah berwarna biru dan masker, dr. Habib dan para perawat membantu Arya mengeluarkan si kecil.
Perlu diketahui, Rumah Sakit Lapangan menampung semua korban perang, baik di pihak rezim, pejuang, maupun sipil.
Karena berada di wilayah Syariah, maka pihak rezim yang terbukti membunuhi rakyat, akan diserahkan ke Mahkahmah Syariah. Tapi jika mereka yang berperang karena dipaksa oleh Bashar, maka akan dibebaskan. Rakyat yang lemah dalam bidang agama akan dibimbing oleh para ulama untuk mendalami ajaran Islam. Itulah gambaran keadilan Mahkamah.
Hebatnya, tindakan medis dr. Habib bersama relawan medis hampir selalu dilakukan di tengah perang yang berkecamuk. Demikian pula ketika melakukan proses persalinan Ariyah. Semua itu dilakukan di tengah upaya rezim Assad menghancurkan rumah sakitnya.
Untuk mengantisipasi serangan, dr. Habib meminta para pejuang berjaga-jaga di depan rumah sakit. Semuanya dilakukan seorang dokter Ahlussunah demi menyelamatkan nyawa seorang wanita Syiah bersama janin bayinya.
Dan benar saja, rentetan bom dilepaskan dari helikopter yang mengaung-ngaung di langit. Perang di luar berkecamuk. Jual beli tembakan berlangsung antara pihak pejuang dan rezim Bashar yang didukung oleh Iran, Hizbullah, dan Rusia.
“Konsentrasi dokter,” pinta sejumlah perawat.
“Takbir, Allahuakbar,” teriak mujahidin.
Dr. Habib benar-benar harus bertarung dengan waktu. Lisannya tak lepas dari doa memohon perlindungan kepada Allah. Ia tidak ingin pasien dan bayinya mati di tangan roket Bashar. Bahkan meskipun syahid telah menunggunya, “Maka demi Allah, aku siap menjemputnya,” imbuhnya.
Hingga tiba-tiba suasana hening, diam, tanpa suara, dan suara jeritan bayi itu memecah ketegangan. Sang buah hati keluar dalam kondisi normal dan sehat.
Hanya rasa haru dan bahagia yang terpancar dalam diri Ariyah melihat bayi sehat yang kini digendongnya. Beribu-ribu ucapan terimakasih dikatakan Ariyah. Masih diliputi rasa heran, Ariyah terdiam sejenak. Ia lalu bertanya ke dr. Habib.
“Kenapa kau tidak membunuhku sebagai wanita Syiah sebagaimana rezim Bashar melakukannya kepada wanita-wanita Ahlussunah?”
Dokter Habib tertahan, dan menjawab, “Karena dalam Islam, Rasulullah melarang kami membunuh wanita dan anak-anak.”
Buliran air mata langsung menetes dari wajah Ariyah. “Tapi kata orang-orang Syiah, kalian teroris…”, dan mulutnya terkatup.
Melihat kebaikan dr. Habib, Ariyah sepakat menamakan buah hatinya Umar, yang diambil dari nama sahabat nabi Umar Bin Khaththab. []
Ditulis oleh Muhammad Pizaro, Jurnalis Kemanusiaan untuk Konflik Suriah. Cerita pendek ini diangkat dari kisah nyata proses persalinan seorang wanita Syiah di Rumah Sakit Lapangan Salma, Latakkia. Kisah ini diangkat untuk mengetengahkan perjuangan dokter dan sisi lain pejuang Ahlussunah di Suriah yang luput dari pemberitaan media.