• Home
  • Disclaimer
  • Iklan
  • Redaksi
  • Donasi
  • Copyright
Selasa, 24 Juni 2025
Islampos
  • Home
  • Beginner
  • Tahukah
  • Sirah
  • Renungan
  • Muslimbiz
    • Muslimtrip
  • Berita
  • Cari
Tidak ada Hasil
View All Result
  • Home
  • Beginner
  • Tahukah
  • Sirah
  • Renungan
  • Muslimbiz
    • Muslimtrip
  • Berita
  • Cari
Tidak ada Hasil
View All Result
Tidak ada Hasil
View All Result
Islampos
Home Kolom

Tajsim dalam Madzhab Hanbali

Oleh Yudi
3 tahun lalu
in Kolom
Waktu Baca: 4 menit baca
A A
0
Keutamaan Bismillah, kehidupan di luar angkasa, masuk surga tanpa hisab, Bukti Kebesaran Allah, hukum Allah, kasih sayang Allah, tajsim, Pertolongan Allah, surga

Foto ilustrasi: Unsplash

0
BAGIKAN

TAJSIM dalam akidah maknanya adalah meyakini bahwa Allah itu jisim/fisik. Tentang penggunaan istilah tajsim, di kalangan ulama Hanabilah terdapat dua maslak (cara yang ditempuh), sebagaimana dikatakan oleh Syekh Abdullah bin Muhammad Abdullah dalam kitabnya At-Taqrirat Al-Hanbaliyyah. Ia mengakatan:

Pertama, tawakuf secara mutlak terhadap istilah-istilah tersebut, karena tidak datang dari generasi Salaf. Cara ini ditempuh oleh kebanyakan mutaqaddimin (generasi awal), sebagian mutawassithin (generasi pertengahan) dan muta’akhirin (generasi akhir).

tajsim
Foto: Islampos

Kedua, tidak tawakuf, tetapi wajib menafikannya, karena melazimkan huduts (kebaharuaan makhuk) dan kekurangan pada hak Allah ta’ala. Cara ini ditempuh oleh sebagian mutaqaddimin dan kebanyakan mutawassithin dan mutaakhirin. Cara ini inilah yang lebih kuat (arjah).

Berdasarkan maslak inilah kitab-kitab akidah yang menjadi pegangan (mu’tamad) di sisi kalangan mutaakhirin dari ashab kami. Dan memasukkan istilah-istilah ini dalam kitab-kitab Hanabilah dan selain mereka adalah untuk membantah para penentang yang menisbatkan kepada Allah sifat-sifat kekurangan ini. Allah Maha Tinggi dari perkataan mereka dengan ketinggian yang besar. (Ad-Durrah Al-Mudhiyyah wa ma’ahu At-Taqrirat Al-Hanbaliyyah, hal.220).

ArtikelTerkait

Amerika dan Penjajah Israel: Kemesraannya Seperti Abu Lahab dan Istrinya

Kala Bani Israil Mendominasi Pemberitaan

Sikap terhadap Bani Israil, dari Era Nabi Ya‘qub hingga Rasulullah ﷺ

Mendukung Iran? Belajar dari Era Shalahuddin Al-Ayyubi

BACA JUGA: Memahami Makna Tafwid dan Takwil

Syekh Abdullah bin Abdullah menyebutkan bahwa perbedaan ulama Hanabilah dalam dua cara ini adalah disebabkan perbedaan mereka dalam hukum mempelajari ilmu Kalam.

Ulama mutaqaddimin memandang bahwa tidak disyariatkan mempelajari ilmu Kalam, bahkan dilarang. Sedangkan para ulama lainnya, yaitu Al-Qadhi Abu Ya’la (380-458 H) dan syekhnya Ibnu Hamid (w.403 H), At-Tamimi (w.410 H), Al-Qadhi Abu Ya’la Ash-Shagir (494-560 H) memandang bahwa ilmu Kalam itu disyariatkan dan diperintahkan.

Boleh melakukan debat dengan ahli bid’ah dan menulis kitab-kitab untuk membantah mereka. Al-Qadhi Abu Ya’la Ash-Shagir mengatakan: itulah yang benar dari madzhab. Dan imam Ahmad telah menyatakan dalam nashnya dalam riwayat Al-Marudzi dan Hanbal, dan selain mereka.” (Ad-Durrah Al-Mudhiyyah wa ma’ahu At-Taqrirat Al-Hanbaliyyah, hal.222-223).

Oleh karena itu, berdasarkan pendapat yang mu’tamad dalam madzhab Hanbali, istilah jisim digunakan dan dipahami hakikatnya sebagaimana yang dipahami oleh para ahli ilmu Kalam.

Sehingga mereka sepakat untuk menafikan jisim pada Allah, sama halnya dengan menafikan jauhar dan ‘aradh, karena ia merupakan kekhususan bagi makhluk. Syekh As-Safarini (1114-1188 H) berkata dalam syarah terhadap nazham akidah yang beliau tulis, Ad-Durrah Al-Mudhiyyah : “Ia menafikan Allah Azza wa Jalla adalah jauhar, ‘aradh dan jisim, karena yang pertama (jauhar) itu disifati dengan kemungkinan (mungkin ada-mungkin tidak) dan kecil/hina, yang kedua (‘aradh) karena butuh kepada tempat yang ia berdiam padanya, dan yang ketiga (jisim) karena tersusun sehingga membutuhkan kepada bagian.

Sehingga kalau seperti itu, menjadi tidak wajib bagi zatnya, dan membutuhkan kepada yang lain. Dalam penafian tersebut terdapat bantahan bagi sebagian firqoh sesat dari kalangan mujassimah sebagaimana telah terdahulu isyarat terhadap hal itu pada awal kitab.” (Lawami’ul Anwaril Bahiyyah, 1/189).

Untuk itu kita akan menjumpai di berbagai kitab akidah para ulama Hanabilah dari sejak Al-Qadhi Abu Ya’la hingga mutaakhirin, penafian jauhar, ‘aradh dan jisim dari Allah ta’ala, karena Allah Maha Suci dari itu semua.

Tajsim dalam Madzhab Hanbali

Keutamaan Bismillah, kehidupan di luar angkasa, masuk surga tanpa hisab, Bukti Kebesaran Allah, hukum Allah, kasih sayang Allah, tajsim
Foto ilustrasi: Unsplash

Berikut ini adalah diantara contohnya.

Abdul Baqi Al-Mawahibi (1005-1071 H) :

وَيَجِبُ الْجَزْمُ بِأَنَّ اللهَ تَعَالَى لَيْسَ بِجَوْهَرٍ وَلَا جِسْمٍ وَلَا عَرَضٍ، لَا تَحُلُّهُ الْحَوَادِثُ، وَلَا يَحِلُّ فِي حَادِثٍ وَلَا يَنْحَصِرُ فِيْهِ، فَمَنِ اعْتَقَدَ أَوْ قَالَ : إِنَّ اللهَ بِذَاتِهِ فِي كُلِّ مَكَانٍ أَوْ فِي مَكَانٍ فَهُوَ كَافِرٌ، بَلْ يَجِبُ الْجَزْمُ بِأَنَّهُ سُبْحَانَهُ بَائِنٌ مِنْ خَلْقِهِ. فَاللهُ تَعَالَى كَانَ وَلَا مَكَانَ، ثُمَّ خَلَقَ الْمَكَانَ، وَهُوَ مَا عَلَيْهِ كَانَ قَبْلَ خَلْقِ الْمَكَانِ. وَلَا يُعْرَفُ بْالْحَوَاسِ، وَلَا يُقَاسُ بِالنَّاسِ، وَهُوَ الْغَنِيُّ عَنْ كُلِّ شَيْءٍ، وَلَا يَسْتَغْنِي عَنْهُ شَيْءٌ، وَلَا يُشْبِهُ شَيْئًا وَلَا يُشْبِهُهُ شَيْءٌ. وَعَلَى كُلِّ حَالٍ، مَهْمَا خَطَرَ بِالْبَالِ، أَوْ تَوَهَّمَهُ الْخَيَالُ، فَهُوَ بِخِلَافِ ذِي الْكِرَامِ وَالْجَلَالِ.

“Dan wajib meyakini bahwa Allah ta’ala bukanlah jauhar, bukan jisim, dan bukan pula ‘aradh. Tidak tercampuri oleh hal-hal yang hadits (baharu), dan tidak bercampur pada yang hadits, dan tidak terbatas padanya.

Maka siapa yang berkeyakinan atau berkata: sesungguhnya Allah dengan Zatnya ada pada setiap tempat atau di tempat, maka ia kafir. Tetapi wajib meyakini bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala berbeda/terpisah dari makhluknya.

Allah Ta’ala itu ada tanpa bertempat, kemudian menciptakan tempat, dan Dia tetap pada keberadaan-Nya seperti sebelum menciptakan tempat. Dia tidak dikenal dengan panca indra/fisik, tidak dapat dibandingkan dengan manusia. Dia Maha Kaya/tidak butuh dari segala sesuatu, dan tidak ada sesuatu pun yang tidak butuh kepadanya.

Dia tidak menyerupai sesuatu pun, dan tidak ada sesuatu pun yang menyerupai-Nya. Bagaimana pun, sejauh apapun terlintas dalam pikiran dan terduga dalam khayalan, maka Dia berbeda dengan Allah Pemilik Kemuliaan.” (Al-‘Ainu wal Atsar fi I’tiqadi Ahlil Atsar, hal. 34-35).

Juga Utsman bin Ahmad An-Najdi (w.1097 H) berkata :

وَبِأَنَّهُ سُبْحَانَهُ لَيْسَ بِجَوْهَرٍ وَلَا جِسْمٍ وَلَا عَرَضٍ، لَا تَحُلُّهُ الْحَوَادِثُ، وَلَا يَحِلُّ فِي حَادِثٍ وَلَا يَنْحَصِرُ فِيْهِ، فَمَنِ اعْتَقَدَ أَوْ قَالَ : إِنَّ اللهَ بِذَاتِهِ فِي كُلِّ مَكَانٍ أَوْ فِي مَكَانٍ فَهُوَ كَافِرٌ، بَلْ يَجِبُ الْجَزْمُ بِأَنَّهُ سُبْحَانَهُ بَائِنٌ مِنْ خَلْقِهِ. فَاللهُ تَعَالَى كَانَ وَلَا مَكَانَ، ثُمَّ خَلَقَ الْمَكَانَ، وَهُوَ مَا عَلَيْهِ كَانَ قَبْلَ خَلْقِ الْمَكَانِ.

“Dan bahwa Allah Subhanahu wa ta’ala bukanlah jauhar, bukan jisim, dan bukan pula ‘aradh. Tidak tercampuri oleh hal-hal yang hadits (baharu), dan tidak bercampur pada yang hadits, dan tidak terbatas padanya.

Maka siapa yang berkeyakinan atau berkata: sesungguhnya Allah dengan Zatnya ada pada setiap tempat atau di tempat, maka ia kafir. Tetapi wajib meyakini bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala berbeda/terpisah dari makhluknya. Allah Ta’ala itu ada tanpa bertempat, kemudian menciptakan tempat, dan Dia tetap pada keberadaan-Nya seperti sebelum menciptakan tempat. (Najatul Khalaf fi I’tiqadis Salaf, hal.14)

BACA JUGA: Keistimewaan Tafaqquh Mengikuti Salah Satu Madzhab Fiqih

Hukum orang yang meyakini tajsim ini jelas dalam madzhab Hanbali adalah kafir. Sebagaimana dinyatakan oleh Al-Qadhi Abu Ya’la Al-Farro,

فَمَنْ يَعْتَقِدُ أَنَّ اللهَ تَعَالَى جِسْمٌ مِنَ الْأَجْسَامِ وَيُعْطِيْهِ حَقِيْقَةَ الْجِسْمِ مِنَ التَّأْلِيْفِ وَالْإِنْتِقَالِ مِنْ مَكَانٍ إِلَى مَكَانٍ فَهُوَ كَافِرٌ، لِأَنَّهُ غَيْرُ عَارِفٍ بِاللهِ.

“Maka barangsiapa yang meyakini bahwa Allah adalah salah satu jisim dari jisim-jisim, dan memberinya hakikat jisim berupa ketersusunan dan berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain, maka ia KAFIR, karena ia tidak mengenal Allah. (Al-Mu’tamad fi Ushuliddin, hal. 271).

Adapun cara Ibnu Taimiyyah (661-728 H) rahimahullah yang tidak memperjelas makna jisim kepada satu makna yang disepakati, tetapi memberikan perincian, cara ini tidak masyhur di kalangan ulama Hanbali, meskipun beliau tetap sebagai bagian dari ulama Hanbali.

Itu hanya sebagai ikhtiyarot (pilihan pendapat) beliau saja, tidak dapat disebut sebagai pendapat mu’tamad dalam madzhab Hanbali. Maka, jika kita memperhatikan, para ulama setelah Ibnu Taimiyyah itu, yang berjalan di atas metodologi madzhab Hanbali, tidak ada yang menempuh cara Ibnu Taimiyyah tersebut.

Karena cara tersebut menjadi bias bagi pemahaman terhadap jisim, dan rawan bagi para pengikutnya yang awam. Sehingga mereka bisa terjerumus kepada keyakinan tajsim.

Wallahu A’lam. []

Oleh: Ustadz Muhammad Atim

Tags: madzhab hanbalitajsim
ShareSendShareTweetShareScan
Advertisements
ADVERTISEMENT
Previous Post

Ini Percaya pada Qada dan Qadar

Next Post

Muslim Harus Tahu, Ini 10 Adab Buang Hajat

Yudi

Yudi

Terkait Posts

Israel, Hamas

Amerika dan Penjajah Israel: Kemesraannya Seperti Abu Lahab dan Istrinya

24 Juni 2025
Antisemit, Yahudi, Israel, Israel, Bani Israil

Kala Bani Israil Mendominasi Pemberitaan

22 Juni 2025
Ibnu Abbas, Bani Israil

Sikap terhadap Bani Israil, dari Era Nabi Ya‘qub hingga Rasulullah ﷺ

21 Juni 2025
Shalahuddin Al-Ayyubi,

Mendukung Iran? Belajar dari Era Shalahuddin Al-Ayyubi

19 Juni 2025
Please login to join discussion

Tulisan Terbaru

Syirik, Bahaya Vape untuk Kesehatan, Rokok, Kentut

Suami Suka Kentut Depan Istri, Istri Ga Suka, Bagaimana Hukumnya?

Oleh Saad Saefullah
24 Juni 2025
0

JISc

Banyak Diterima di UI, JISc Ungguli SMA Negeri Meski Terapkan 3 Kurikulum

Oleh Saad Saefullah
24 Juni 2025
0

fakta menarik tentang indonesia, fakta kopi indonesia, kopi

Inilah Negara yang Pertama Kali Temukan Kopi Sebelum Menyebar ke Seluruh Dunia

Oleh Yudi
24 Juni 2025
0

Waktu Shalat, Manfaat Shalawat bagi Hati,, Jumlah Rakaat Shalat Witir, Hukum Pura-pura Menangis dalam Shalat, Sholat, Keutamaan Shalat Qobliyah Shubuh, Cara Ruqyah Diri Sendiri, Shalat Dhuha, Hal yang Dilarang ketika Shalat, Shalat Witir, Pura-pura Menangis ketika Shalat, Shalat Dhuha

Apa Hukum Shalat tapi Tidak Paham Arti Bacaannya?

Oleh Haura Nurbani
24 Juni 2025
0

dajjal, pengikut dajjal

Mengenal Dajjal dari Perspektif Sains: dari Simbol hingga Fakta

Oleh Yudi
24 Juni 2025
0

Terpopuler

Jangan Dianggap Sepele, Ini 10 Dampak Perang Dunia Ketiga Jika Pecah

Oleh Yudi
23 Juni 2025
0
perang dunia, perang, kiamat

Seperti yang terjadi setelah Perang Dunia I dengan flu Spanyol, perang besar sering diikuti oleh pandemi mematikan.

Lihat LebihDetails

5 Negara Paling Aman, Jika Terjadi Perang Dunia, Ternyata Ada Indonesia!

Oleh Haura Nurbani
23 Juni 2025
0
Alasan kenapa Hidup di Indonesia Itu Enak Banget

Berikut ini lima  negara yang dianggap paling aman jika terjadi perang dunia — dan ya, Indonesia termasuk di dalamnya!

Lihat LebihDetails

8 Ciri Orang Suka Berbohong dari Fisiknya

Oleh Yudi
20 Juni 2025
0
berbohong

Orang yang berbohong sering butuh waktu lebih lama untuk merespons, karena mereka “menyusun” cerita.

Lihat LebihDetails

11 Adab Jima yang Harus Diketahui Pasangan Suami Istri

Oleh Saad Saefullah
18 Juni 2023
0
Adab Jima

ISLAM telah mengajarkan kita segala sesuatu, bagaimana kita makan, memakai pakaian. Apakah disana ada sunah yang menjelaskan bagi orang Islam...

Lihat LebihDetails

Apa Ciri-Ciri Ginjal yang “Kotor” atau Tidak Sehat?

Oleh Saad Saefullah
23 Juni 2025
0
Bahaya Jantung ketika Sudah Kotor Lebaran, Ginjal, ginjal

Dalam istilah medis, ini bisa merujuk pada gangguan fungsi ginjal atau penyakit ginjal kronis.

Lihat LebihDetails
Facebook Twitter Youtube Pinterest Telegram

© 2022 islampos - Membuka, Menginspirasi, Free to Share.

Tidak ada Hasil
View All Result
  • Home
  • Beginner
  • Tahukah
  • Sirah
  • Renungan
  • Muslimbiz
    • Muslimtrip
  • Berita
  • Cari

© 2022 islampos - Membuka, Menginspirasi, Free to Share.