WUDHU merupakan salah satu amalan yang memiliki kedudukan istimewa dalam Islam. Ia bukan sekadar syarat sahnya shalat, tetapi juga sarana penyucian diri secara lahir dan batin. Dengan berwudhu, seorang Muslim membersihkan anggota tubuhnya dari kotoran fisik sekaligus menyucikan jiwa dari dosa-dosa kecil. Rasulullah ﷺ bersabda, “Apabila seorang Muslim atau mukmin berwudhu, lalu membasuh wajahnya, keluarlah dari wajahnya setiap dosa yang dilihat oleh matanya bersama air wudhu…” (HR. Muslim). Ini menunjukkan bahwa wudhu adalah ibadah yang membawa banyak keutamaan, bahkan sebelum kita berdiri untuk menunaikan shalat.
Selain menjadi bentuk ketaatan dan kesiapan spiritual, wudhu juga merupakan jalan menuju kecintaan Allah. Dalam banyak hadits, disebutkan bahwa Allah mencintai hamba-Nya yang menjaga kesucian, dan orang yang senantiasa dalam keadaan berwudhu termasuk golongan tersebut. Bahkan, pada hari kiamat nanti, umat Nabi Muhammad ﷺ akan dikenali dari bekas wudhunya, yang bersinar terang sebagai tanda kemuliaan. Maka, menjaga wudhu bukan hanya berdampak pada ibadah sehari-hari, tetapi juga menjadi bagian dari identitas keimanan yang membedakan seorang Muslim di dunia dan akhirat.
BACA JUGA: Hukum Menyentuh Al-Quran dari Sampulnya tanpa Wudhu
Saat wudhu, ada beberapa sunnah. Apa saja?
1- Bersiwak. Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam pembahasan sebelumnya pada bab Sunan Al-Fitrah.
2- Mengucapkan basmalah ketika hendak melakukan wudhu. Membaca tasmiyah merupakan suatu perkara yang baik dan disyariatkan secara umum. Ada beberapa hadits dhaif-yang dishahihkan oleh sebagian ulama-yang menerangkan memulai wudhu hendaknya membaca tasmiyah. Di dalam hadits disebutkan:
وَلَا وُضُوءَ لِمَنْ لَمْ يَذْكُرِ اسْمَ اللَّهِ عَلَيْهِ
“Tidak sah wudhu orang yang tidak menyebut nama Allah ketika berwudhu.”
Masih banyak hadits-hadits dhaif lainnya yang tidak dapat dijadikan sebagai dasar landasan hukum. Oleh karena itu, Imam Ahmad a berkata, “Aku tidak mengetahui dalam pembahasan ini sebuah hadits yang memiliki sanad yang baik.”
Saya katakan, “Alasan yang menguatkan tidak wajibnya membaca basmalah sebelum berwudhu, bahwa para shahabat yang meriwayatkan sifat wudhu Nabi tidak menyebutkan adanya tasmiyah ketika hendak berwudhu. Inilah pendapat mazhab Ats-Tsauri, Malik, Asy-Syafi’i. Ashabu Ar-Ra’yi dan sebuah riwayat dari Imam Ahmad.
3- Mencuci kedua telapak tangan sebelum berwudhu. Sebagaimana disebutkan dalam riwayat Ustman yang menerangkan sifat wudhu Nabi: “… Lalu beliau menuangkan di atas telapak tangannya tiga kali kemudian membasuhnya.
4- Berkumur-kumur dan memasukkan air ke dalam hidung (istinsyaq) dengan satu tangan sebanyak tiga kali. Berdasarkan hadits Abdullah bin Zaid ketika dirinya sedang mengajarkan sifat wudhu Nabi, “Beliau berkumur-kumur dan istinsyaq dari satu telapak tangan. Beliau melakukan itu sebanyak tiga kali.”
5- Menyempurnakan kumur-kumur dan istinsyaq ketika tidak berpuasa. Sebagaimana hadits Luqaith bin Shabrah yang diriwayatkan secara marfu:
وَبَالِغُ فِي الْإِسْتِنْشَاقِ إِلَّا أَنْ تَكُوْنَ صَائِمًا
“Sempurnakanlah dalam memasukkan air ke dalam hidung, kecuali engkau dalam keadaan berpuasa.”
6- Mendahulukan bagian kanan dari yang kiri. Di dalam hadits Ibnu Abbas yang menerangkan sifat wudhu Nabi disebutkan, “Kemudian beliau mengambil segayung air dan mencuci tangan kanannya. Lalu mengambil segayung air dan mencuci tangan kirinya. Kemudian beliau mengusap kepalanya. Lalu mengambil segayung air dan menyiramkannya pada kaki kanannya hingga membasuhnya. Selanjutnya beliau mengambil segayung air lagi lalu membasuh kaki kirinya.”
Dari Aisyah, menuturkan bahwa Nabi suka mendahulukan bagian yang kanan dari pada bagian yang kiri ketika mengenakan sandal, bersisir, bersuci dan dalam setiap urusannya.
7- Membasuh anggota wudhu sebanyak tiga kali. Ada riwayat yang shahih dari Nabi bahwa beliau berwudhu sekali, sekali. Dalam riwayat yang lain, beliau berwudhu dua kali, dua kali.
Wudhu yang lengkap dan paling sempurna adalah membasuh anggota wudhu sebanyak tiga kali. Hal ini selaras dengan apa yang dikerjakan oleh Nabi dan telah dijelaskan dalam riwayat Ustman dan Abdullah bin Zaid.
Catatan penting:
a. Membasuh kepala cukup dilakukan sekali saja. Adapun dua kali dan tiga kali yang diketengahkan dalam hadits-hadits tentang sifat wudhu Nabi dilihat secara umum, tidak berlaku untuk kepala. Riwayat-riwayat yang menerangkan tiga kali dalam membasuh kepala tidak shahih. Sementara, riwayat-riwayat yang menerangkan bahwa beliau mengusap kepala sebanyak dua kali, hal itu adalah takwil atas hadits yang menyebutkan, “Beliau mengusap dengan kedua tangannya ke depan dan ke belakang (kepalanya).” Ini sebagaimana pendapat Ibnu Abdil Bar. Tidak dapat dikatakan sebagai pengulangan ketika mengembalikan tangan (ke belakang) saat mengusap kepala. Sebab yang disebut pengulangan adalah dengan mengambil air yang baru. Kemudian adanya anjuran mengulang untuk anggota tubuh yang dibasuh bukan yang diusap.
Dalil paling kuat mengenai tidak adanya pengulangan dalam mengusap kepala adalah hadits tentang seorang badui yang datang kepada Nabi dan bertanya tentang wudhu. Beliau pun memperlihatkan cara wudhu kepadanya tiga kali tiga kali, kemudian bersabda:
هَذَا الْوُضُوءُ، فَمَنْ زَادَ عَلَى ذَلِكَ فَقَدْ أَسَاءَ وَتَعَدَّى وَظَلَمَ
“Inilah cara berwudhu. Barang siapa menambahinya, maka ia telah berbuat buruk, melampaui batas dan dzalim.”
“Adapun mengenai riwayat Sa’id bin Manshur di dalamnya terdapat penegasan bahwa beliau mengusap kepalanya sekali saja. Riwayat ini menunjukkan bahwa mengusap kepala lebih dari sekali tidaklah dianjurkan. Hadits-hadits yang menerangkan mengusap kepala sebanyak tiga kali-jika shahih-mungkin dapat dipahami bahwa yang dimaksud adalah mengusap kepala sedikit demi sedikit, bukan tiga usapan yang berdiri sendiri untuk seluruh kepala. Hal ini didapat dari menggabungkan dalil-dalil tersebut.”
Saya berpendapat, mengusap kepala sekali saja adalah mazhab Abu Hanifah, Malik dan Ahmad-riwayat yang shahih darinya- berbeda dengan Asy-Syafi’i.
b. Dimakruhkan membasuh lebih dari tiga kali dalam menyerpurnakan wudhu. Setiap anggota wudhu yang dibasuh sebanyak tiga kali adalah wudhu yang paling lengkap dan sempurna dan dimakruhkan lebih dari itu. Hal ini didasarkan pada hadits:
فَمَنْ زَادَ عَلَى ذَلِكَ فَقَدْ أَسَاءَ وَتَعَدَّى وَظَلَمَ
“Barang siapa menambahi lebih dari itu, maka ia telah berbuat buruk. melampaui batas dan dzalim.”
Penambahan ini dilakukan bukan untuk menyempurnakan kekurangan wudhu. Adapun jika wudhunya telah sempurna dengan tiga kali basuhan atau kurang dari itu, maka dimakruhkan menambah lebih dari tiga kali. Mengenai hal ini tidak ada perselisihan didalamnya.
8- Menyela-nyela jenggot yang lebat. Sebagaimana penjelasan sebelumnya. menyela-nyela jenggot lebat dan menutupi kulit, boleh dengan membasuh bagian luarnya saja. Kita tambahkan di sini, bahwa dianjurkan untuk menyela-nyelanya dengan air. Hal ini disandarkan pada hadits Anas. yang menceritakan bahwa ketika Rasulullah berwudhu, maka beliau mengambil setelapak air lalu membasuhkannya di bawah dagunya. dan menyela-nyela jenggotnya dengan air tersebut. Kemudian beliau bersabda:
هَكَذَا أَمَرَنِي رَبِّي عَزَّ وَجَلَّ
“Demikianlah Rabb-ku memerintahkan kepadaku.”
Perintah dalam hadits ini adalah sebagai bentuk istihbab tanjuran Hal ini juga selaras dengan hadits Rifa’ah bin Rafi telah disebutkan sebelumnya-tentang kisah orang yang buruk shalatnya.
9- Menggosok anggota wudhu. Sebagai pijakannya adalah hadits Abdullah bin Zaid, ia menuturkan, “Aku melihat Nabi berwudhu, lalu beliau menggosok lengannya.”
10- Menyela-nyela jari tangan dan kaki. Sebagaimana sabda Nabi
أَسْعَ الْوُضُوءَ، وَخَلَّلِ الْأَصَابِعَ، وَبَالِغُ فِي الْإِسْتِنْشَاقِ إِلَّا أَنْ تَكُونَ صَائِمًا
“Sempurnakanlah wudhu, dan sela-selalah jari-jari, serta bersungguh sungguhlah dalam beristinsyaq kecuali jika engkau sedang berpuasa.”
Jika jari-jemari dan apa yang ada di antaranya tidak dapat dicuci kecuali dengan menyela-nyalanya, maka hal ini menjadi wajib seperti yang telah dijelaskan.
11- Menambah (memanjangkan) basuhan pada bagian yang wajib dibasuh. Disunnahkan menyempurnakan wudhu dan menambah basuhan pada wajah hingga bagian depan kepala atau dinamakan ithalatul ghurah dan membasuh melebihi kedua siku dan mata kaki atau disebut juga dengan ithalatul tahjil. Ini disandarkan pada hadits Abu Hurairah, bahwa Nabi bersabda:
إِنَّ أُمَّتِي يَأْتُوْنَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ غُرَّا مُحَجَلِينَ مِنْ أَثَارِ الْوُضُوءِ
“Sesungguhnya umatku akan datang pada hari kiamat dengan cahaya putih pada kepala dan kaki karena bekas air wudhu mereka. “Abu Hurairah berkata, “Barang siapa di antara kalian yang mampu memanjangkan cahaya putih pada wajahnya, maka lakukanlah.”
Dari Abu Hurairah, “Beliau berwudhu, dan membasuh kedua tangannya hingga lengan, dan membasuh kedua kakinya hingga betisnya.” Kemudian ia berkata, “Seperti inilah aku melihat Nabi berwudhu.”
Diriwayatkan juga dari Abu Hurairah ia menuturkan bahwa, “Aku mendengar kekasihku bersabda:
تَبْلُعُ الحِلْيَةُ مِنَ الْمُؤْمِنِ حَيْثُ يَبْلُغُ الْوُضُوءُ
“Banyaknya perhiasan seorang mukmin (pada hari kiamat) sebatas air wudhu yang mengenai tubuhnya.”
12- Hemat dalam menggunakan air. Sebagaimana hadits Anas, ia menuturkan bahwa Rasulullah mandi dengan satu sha sampai lima mud (air), dan beliau berwudhu juga dengan satu mud.” 2% Satu sha adalah empat mud dan satu mud kira-kira setengah liter seperti yang sudah diketahui.
13- Berdoa setelah berwudhu. Dari Umar, ia menuturkan bahwa Rasulullah bersabda:
مَا مِنْكُمْ مِنْ أَحَدٍ يَتَوَضَّأُ فَيَسْبِغُ الْوُضُوءُ ثُمَّ يَقُوْلُ: ( أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا لِلَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ وَ أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ ، إِلَّا فُتِحَتْ لَهُ أَبْوَابُ الْجَنَّةِ الثَّمَانِيَةِ يَدْخُلُ مِنْ أَيُّهَا شَاءَ
“Tidaklah salah seorang dari kalian berwudhu dengan sempurna kemudian mengucapkan, Aku bersaksi bahwa tiada Ilah yang berhak diibadahi selain Allah yang tiada sekutu bagi-Nya, dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya. Kecuali dibukakan baginya delapan pintu surga dan ia boleh masuk dari pintu mana saja yang ia kehendaki.”23
Abu Sa’id menuturkan bahwa Nabi bersabda, “Barang siapa berwudhu kemudian mengucapkan:
سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ ، أَشْهَدُ أَنْ لا إِلَهَ إِلا أَنْتَ ، أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوبُ إِلَيْكَ
‘Mahasuci Engkau, ya Allah dan segala puji bagi-Mu. Aku bersaksi bahwa tiada llah yang berhak diibadahi kecuali Engkau. Aku memohon ampunan-Mu dan aku bertaubat kepada-Mu. Maka akan dituliskan pada lembaran dan dicetak pada suatu cetakan yang tidak akan patah sampai hari kiamat.”
14- Disunnahkan mengerjakan shalat setelah wudhu. Berdasarkan hadits Utsman, ia menuturkan, “Aku melihat Rasulullah berwudhu sebagaimana wudhuku ini, kemudian beliau bersabda:
مَنْ تَوَضَّأَ نَحْوَ وُضُونِي هَذَا، ثُمَّ قَامَ فَرَكَعَ رَكْعَتَيْنِ لَا يَحْدُثُ فِيهِمَا نَفْسَهُ، غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
“Barang siapa berwudhu sebagaimana wudhuku ini, kemudian shalat dua rakaat, tidak memikirkan urusan dunia yang terkait dengan shalat, maka diampuni dosanya yang telah lalu.”
Diriwayatkan dari Abu Hurairah ase, ia menuturkan bahwa pada waktu shalat shubuh. Nabi berkata kepada Bilal:
يَا بِلالُ، أَخْبِرْنِي بِأَرْجَى عَمَلٍ عَمِلْتَهُ فِي الْإِسْلَامِ، فَإِنِّي سَمِعْتُ دُفَ نَعْلَيْكَ بَيْنَ يَدَيَّ فِي الْجَنَّةِ
“Wahai Bilal, kabarkan kepadaku, perbuatan apakah yang engkau lakukan dalam Islam yang paling engkau harapkan? Sungguh aku mendengar suara terompahmu di hadapanku di dalam surga.” Bilal menjawab, “Aku tidak melakukan suatu perbuatan yang paling aku harapkan. Melainkan, setiap aku bersuci, baik pada waktu malam dan siang hari, aku selalu mengerjakan shalat setelah berwudhu sebanyak kemampuanku. ”
15- Diperbolehkan menyeka anggota badan setelah berwudhu. Hal ini karena tidak adanya larangan mengenai hal ini. Asal dari segala sesuatu hukumnya boleh. Adapun jika ada yang beralasan dengan riwayat Maimunah yang datang kepada Nabi-setelah beliau mandi-dengan membawa handuk. Namun beliau menolak menggunakannya, kemudian pergi dan membersihkan air dengan tangannya.
BACA JUGA: Benarkah Wudhu Menurunkan Stres? Ternyata Begini Hasil Uji Laboratorium
Mengenai masalah di atas maka kami jawab. Apa yang terjadi dalam riwayat di atas memiliki banyak kemungkinan. Bisa jadi beliau menolak lantaran apa yang ada pada handuk tersebut, seperti handuk yang tidak bersih atau beliau khawatir membuatnya basah. Sementara alasan Maimunah membawakan handuk kebada Rasulullah bisa jadi karena merupakan kebiasaan beliau. Pembolehan ini juga dikuatkan dengan riwayat yang menyebutkan bahwa Rasulullah berwudhu, kemudian membalikkan jubah wol beliau dan menyeka dengannya.
Imam At-Tirmidzi menuturkan, “Diperbolehkan memakai handuk setelah wudhu. Ini adalah pendapat sebagian ahli ilmu dari kalangan shahabat Nabi dan orang-orang sesudah mereka. Adapun mereka yang memakruhkannya, beralasan bahwa air wudhu itu akan ditimbang.”
Tidak sah wudhu seseorang jika di kukunya terdapat “Al-Manikir” cat kuku. Sebab dapat menghalangi jatuhnya air pada tempat yang wajib dibasuh. Adapun jika sekadar warna, dari daun inai atau sejenisnya, maka hal ini tidak mengapa. Namun, lebih utama jika menghilangkannya sebelum berwudhu dan shalat. Hal ini berdasarkan pada perkataan Ibnu Abbas, “Wanita-wanita kami biasa mewarnai (kuku-kukunya) dengan warna yang paling baik. Mereka mewarnai setelah shalat Isya dan menghilangkannya sebelum shalat Shubuh.”
Diriwayatkan dari Ibrahim An-Nakha’i a mengenai seorang wanita yang mewarnai tangannya dalam keadaan tidak berwudhu, kemudian tiba waktu shalat, “Hendaknya ia menghilangkan apa yang ada di tangannya, jika hendak mengerjakan shalat.” []
SUMBER: HUMAYRO