• Home
  • Disclaimer
  • Iklan
  • Redaksi
  • Donasi
  • Copyright
Sabtu, 2 Juli 2022
Islampos
  • Home
  • Beginner
  • Tahukah
  • Sirah
  • Renungan
  • Muslimbiz
    • Muslimtrip
  • Cari
Tidak ada Hasil
View All Result
  • Home
  • Beginner
  • Tahukah
  • Sirah
  • Renungan
  • Muslimbiz
    • Muslimtrip
  • Cari
Tidak ada Hasil
View All Result
Islampos
Tidak ada Hasil
View All Result
Home Ibrah

Serambi-serambi Akhlak (1)

Oleh Dini Koswarini
2 tahun lalu
in Ibrah
Waktu Baca: 2 menit baca
A A
0
Berbohong Demi Kebaikan

Foto: Pinterest

0
BAGIKAN
Share on FacebookShare on Twitter

SETIAP orang ingin merasakan kebahagiaan. Ada yang menyangka dengan datangnya uang maka ia akan menjadi bahagia sehingga iapun mencari uang mati-matian. Ada juga yang menyangka bahwa kedudukan bisa membuatnya bahagia, maka ia pun mencoba merebut kedudukan. 

Ada yang menyangka penampilanlah yang akan membuatnya bahagia, maka mati-matian ia mengikuti mode. Ada yang menyangka banyaknya pengikut membuatnya bahagia, begitu seterusnya.

Setiap kali kita membutuhkan sesuatu dari selain kita, kita menyangka bahwa itulah yang akan membuat kita bahagia. Kita menggantungkan harapan pada selain kita, selain Allah. 

BACA JUGA: Mengapa Akhlak Sangat Penting dalam Islam?

ArtikelTerkait

Masyitoh, Tukang Sisir Keluarga Fir’aun

Cinta Buya kepada Istrinya

Ibu Imam Syafi’i yang Luar Biasa

Ibrahim bin Adham dan Seorang Lelaki yang Dirampok

Padahal semakin kita berarap orang lain berbuat sesuatu untuk kita maka sebenarnya peluang bahagia itu malah akan terus menurun. Kenapa? Ibarat cahaya matahari yang memancar tanpa membutuhkan input dari luar, kebahagiaan yang hakiki itu justru datng bukan dari seseorang atau dari sesuatu.

Salah satu bentuk kebahagiaan yang sejati adalah ketika kita hanya menggantungkan segala urusan kepada Allah. Bagi orang yang  mengenal Allah dengan baik, dan ia tidak berharap banyak dari selain Allah, itulah salah satu kebahagiaan. 

Maka bagi kita yang selama ini masih sangat ingin dihargai, masih sangat ingin dihormati, masih sangat ingin dibedakan oleh orang lain, masih sangat ingin diberi ucapan terima kasih ketika melakukan sesuatu untuk orang lain, atau masih sangat ingin dipuji, maka sebenarnya makin tinggi kebutuhan kita akan penghargaan dari orang lain, itulah yang akan menyempitkan hidup kita. 

Barang siapa yang berhasil lepas dari kebutuhan-kebutuhan semacam itu, dan kita sudah mulai bisa menikmati indahnya memberikan senyuman kepada orang lain dan bukannya diberi senyuman; atau merasakan nikmatnya bisa menyapa orang lain dan bukan disapa, nikmatnya menyalami dan bukan menunggu disalami, semakin kita tidak berharap orang berbuat sesuatu untuk kita, maka inilah fondasi kita dalam menikmati hidup ini. 

Kenyataan yang ada di masyarakat kita dengan terjadinya beraneka kemunkaran, kezhaliman dan kejahatan, itu disebabkan karena kita terlalu banyak berharap kepada makhluk dan tidak kepada Allah.

Saudara-saudaraku yang dimuliakan Allah, suatu ketika Rasulullah SAW ditanya, “Ya Rasulullah, mengapa engkau diutus ke bumi?”

Maka jawaban Rasulullah sangat singkat sekali, “Sesungguhnya aku diutus ke bumi hanyalah untuk menyempurnakan kemuliaan akhlak.”

Menurut Imam Al Ghazali, berdasarkan apa yangbisa saya fahami, akhlak itu adalah respon spontan terhadap suatu kejadian. Pada saat kita diam, tidak akan kelihatan bagaimana akhlak kita. Akan tetapi ketika kita ditimpa sesuatu baik yang menyenangkan ataupun sebaliknya, respon terhadap kejadian itulah yang menjadi alat ukur akhlak kita. Kalau respon spontan kita itu yang keluar adalah kata-kata yang baik, mulia, berarti memang sudah dari dalamlah kemuliaan kita itu.

BACA JUGA: Belajar Taqwa dari Ummi Nurdjani Djaja

Tanpa harus dipikir banyak, tanpa harus direkayasa, sudah muncul kemuliaan itu. Sebaliknya kalau kita memang sedang dikalem-kalem, tiba-tiba terjadi sesuatu pada diri kita, misalnya sandal kita hilang, atau ada orang yang menyenggol, mendengar bunyi klakson yang nyaring lalu tiba-tiba sumpah serapah yang keluar dari mulut kita, maka lemparan yang keluar sebagai respon spontan kita itulah yang akan menunjukkan bagaimana akhlak kita. 

Maka jika bertemu dengan orang yang meminta sumbangan lalu kita berfikir keras diberi atau jangan. Kita berpikir, kalau dikasih seribu, malu karena nama kita ditulis, kalau diberi lima ribu nanti uang kita habis. 

Advertisements

Terus, berfikir keras hingga akhirnya kita pun memberi akan tetapi niatnya sudah bukan lagi dari hati kita karena sudah banyak pertimbangan.Padahal keinginan kita semula adalah untuk menolong. Kalau sudah demikian, sebetulnya bukan akhlak dermawan yang muncul. []

BERSAMBUNG

Tags: akhlaq
ShareSendShareTweet
Advertisements



ADVERTISEMENT
Previous Post

Silahkan Engkau Tulis

Next Post

Serambi-serambi Akhlak (2-Habis)

Dini Koswarini

Dini Koswarini

Terkait Posts

Perjuangan Salman Al-Farisi mencari Islam sangat berat, Fakta Nabi Musa, firaun, Nabi Musa, Tongkat Nabi Musa, Masyitoh

Masyitoh, Tukang Sisir Keluarga Fir’aun

23 Juni 2022
Cinta Buya kepada Istrinya 1

Cinta Buya kepada Istrinya

6 Juni 2022
Imam Malik Quran Membersihkan Jiwa Imam Syafii Kewajiban Menuntut Ilmu Adab Mengajar Amal Ibadah, Keutamaan Menuntut Ilmu, Imam Ibnu Rajab, Nasihat Imam al-Ghazali

Ibu Imam Syafi’i yang Luar Biasa

4 Juni 2022
Imam Hasan Al-Bashri Pekerjaan adalah Ibadah, Nabi Isa AS. Nabi Ilyas

Ibrahim bin Adham dan Seorang Lelaki yang Dirampok

4 Juni 2022
Please login to join discussion
Facebook Twitter Youtube Pinterest

© 2022 islampos - Membuka, Menginspirasi, Free to Share.

Tidak ada Hasil
View All Result
  • Home
  • Beginner
  • Tahukah
  • Sirah
  • Renungan
  • Muslimbiz
    • Muslimtrip
  • Cari

© 2022 islampos - Membuka, Menginspirasi, Free to Share.

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist