Oleh: Muhammad Ishom, dosen Fakultas Agama Islam Universitas Nahdlatul Ulama (UNU) Surakarta
Salah satu kenangan pahitku terkait dengan sekolah adalah ketika kertas sampul Buku Raporku dilepas, dirobek, diremas-remas, lalu dibantingkan ke lantai di depan kelas. Kepala sekolahku marah besar saat dilihatnya sampul Buku Raporku lain dari pada yang lain.
Aku adalah seorang bocah siswa SD swasta Islam di Solo yang hanya bermodal semangat belajar tinggi. Aku memang tidak seperti teman-teman sekolahku yang memiliki sarana belajar cukup dan pantas. Tas sekolahku jelek. Baju-bajuku lusuh. Buku-buku pelajaran aku tak punya. Sepatu aku juga tak punya. Tanggal 10 setiap bulan adalah hari yang penuh hantu bagiku karena tanggal itu merupakan hari terakhir pembayaran SPP. Tidak hanya sekali orang tuaku belum bisa membayar SPP-ku meski sudah tanggal 10.
Waktu itu aku masih duduk di bangku kelas 2 sebelum kepindahanku ke Madiun lalu kembali lagi ke Solo dan pindah ke SD negeri. Aku menerima Buku Rapor untuk Catur Wulan II. Rata-rata nilaiku cukup bagus meski tidak di peringkat I. Aku merasa cukup bangga dengan prestasi seperti itu mengingat keadaanku yang tidak memiliki sarana belajar cukup. Peristiwa luar biasa terjadi ketika aku mengumpulkan kembali Buku Rapor di sekolah yang sudah ditandatangani bapakku di rumah.
“Ini rapor siapa?!” Tanya Kepala Sekolah kepada seluruh siswa di kelasku sambil mengangkat keatas dan menunjukkan buku rapor yang diambilnya dari tumpukan paling atas. Suaranya lantang. Matanya berkaca-kaca. Beliau marah besar melihat kertas sampul Buku Raporku. Dilepasnya kertas sampul itu dengan kasar. Direbok. Diremas-remas. Lalu dibantingkan ke lantai.
Saat itu, aku tak sanggup melihat kertas sampul Buku Raporku telah menjadi sampah di depan kelas. Aku ingin menangis. Aku ingin menjerit memanggil ibuku.
“Ini rapormu kan!?” Kata Kepala Sekolah menunjuk ke aku. “Ayo maju kamu!”
Aku pun maju ke depan mengahadap beliau.
“Ganti sampulnya! Itu tak pantas. Tahu?!”
Tanganku gemetaran menerima kembali Buku Raporku yang sudah telanjang. Wajahku terasa panas. Tenggorakanku terasa kering. Lidahku kaku. Aku tak mampu berkata apa-apa. Dadaku sesak menahan tangis. Aku takut dan sedih sekali. Aku tidak menduga sama sekali niatku membantu meringankan beban ibuku dengan memanfaatkan kertas minyak warna hijau yang telah lama dipakai untuk menutup kaca almari, ternyata bermasalah dalam pandangan orang dewasa.
“Bu… daripada Buku Raporku tanpa sampul sama sekali, dan itu sudah pasti akan dimarahi Kepala Sekolah, bagaimana kalau kertas di kaca almari itu saya lepas saja dan kemudian dipakai untuk menyampuli rapor?” Tanyaku pada ibuku meminta izin pada hari sebelumnya.