Oleh: Rizal Sunandar
Mahasiswa KPI UIN Bandung semester 3
Di Sabtu siang itu mentari tak terlalu terik seperti biasanya. Langit biru berselimutkan awan putih menjadikan hari begitu sejuk untuk dinikmati. Dengan langkah perlahan saya bersamai lelaki muda berjalan menuju selasar masjid Darussalam Panyileukan. Kala itu pria yang mengenakan kemeja hitam dengan lengan sedikit dilipat duduk lesehan seraya memperkenalkan diri.
“Nama saya Ridwan Rustandi, saya lahir tahun 1991, saya berasal dari Kabupaten Bandung tepatnya di Pangalengan. Sebuah daerah yang secara geografis merupakan dataran tinggi,” bukanya.
Ia pun menceritakan bagaimana latar belakang keluarganya yang amat sederhana namun memiliki visi hidup yang jelas. Dengan pola asuh permisif menjadikan sosok pria yang akrab disapa Ridwan ini dibolehkan untuk terjun kedunia apapun selagi positif.
“Saya dilahirkan dari orang tua sederhana, namun memiliki visi ke depan. Secara garis besar, ibu dan bapak saya memberikan pola asuh yang bersifat permisif, yang menjadikan saya terlibat aktif dalam organisasi sejak SD hingga Perguruan Tinggi,” tambahnya.
Sejak SD orang tua memberikan tanggung jawab lebih kepada Ridwan. Hingga dengan kesadarannya, Ridwan ketika mengenyam pendidikan selalu menjadi bintang kelas.
Terlahir di sebuah daerah yang terkenal dengan hasil perkebunannya melimpah, mengantarkan Ridwan menuju tengah kota untuk melanjutkan jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Komunikasi dan Penyiaran Islam (KPI) UIN Sunan Gunung Djati Bandung menjadi pilihan studinya. Bukan hanya menjadi penggenap di ruang kelas, Ridwan pun aktif di beberapa organisasi intra dan ekstra kampus. Di organisasi intra aktif di himpunan jurusan dan juga UKM Lembaga Pengkajian Ilmu Keislaman (LPIK).
Dalam kiprahnya di, Ia sempat melanglang buana di Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) sebelum akhirnya pilihan hati Ridwan bermuara di Himpunan Mahasiswa Persatuan Islam (HIMA PERSIS).
Bagi Ridwan menjadi aktivis atau bukan aktivis adalah bagian dari jiwa. Karena sejak dulu selalu aktif dalam organisasi maka membawanya kepada kecintaan terhadap organisasi.
“Menjadi aktivis atau bukan aktivis bukanlah pilihan yang saklek, itu mah jiwa yang didorong dari motivasi. Karena kecintaan saya kepada organisasi terus memotivasi untuk menggali pengalaman di organisasi,” terangnya.
Sebagai seorang lulusan Fakultas Dakwah, Ridwan menyadari bahwa kegiatan dakwah harus dilakukan secara komunal agar efektif. Agar gagasan yang berasal dari personal menjadi gerakan yang komunal.
“Saya berpikir sebagai mahasiswa dakwah bahwa melakukan dakwah itu tidak bisa secara personal saja. Gagasan yang bergumul dalam pikiran kita perlu disampaikan juga secara komunal. Sehingga kesadaran itu tidak hanya milik kita pribadi, tetapi juga menjadi milik kita bersama,” jelasnya.
Dakwah Komunitas
Perbincangan makin hangat. Terlebih kehangatan perbincangan kami mulai masuk pada ranah-ranah yang sifatnya dakwah kekinian. Sebagai salah satu juru dakwah, dosen jurusan Manajemen Dakwah dan KPI ini pun tercatat aktif dalam menggagas komunitas dakwah di kampung halamannya.
“Saya sadar karena saya berasal dari kampung akan kembali lagi ke kampung. Maka harus ada usaha untuk membesarkan kampung sendiri. Maka dari itu dakwah komunitaslah yang menjadi pilihan untuk memberdayakan kampung halaman saya. Prinsip saya sederhana ingin mengalihkan kegiatan yang tidak bermanfaat menjadi dimanfaatkan” tegasnya.
Ia mengatakan kenapa begitu gigih membentuk komunitas dakwah karena melihat kondisi objek dakwahnya yang lebih cenderung tidak mau terikat oleh aturan. Maka dari itu di era digital ini komunitas menjadi problem solving untuk menjalankan hobi namun memiliki substansi dakwah.
“Segmentasi dakwah komunitas ini ia sasar kepada pemuda dan pelajar. Maka segmentasi yang akrab dengan internet itu anak muda, maka saya memilih dakwah komunitas untuk segmentasi pemuda. Dalam (kurun) waktu tiga tahun ini saya mencoba untuk menerapkan dakwah komunitas yang ada di kota tapi diterapkan di kampung,” labjut pria berjambang tipis ini.
Sebagai contoh, ia membentuk Majelis Remaja dan Pelajar Pangalengan atau disingkat MERAPI. Kegiatannya yakni belajar keislaman setiap hari Minggu. Kemudian komunitas Malam Minggu Ngaji atau disingkat MMN. Komunitas ini diperuntukan bagi mereka yang dianggap nakal oleh sebagian guru.
“Malam Minggu Ngaji diperuntukan bagi mereka yang dianggap “nakal” oleh sebagian guru. Maka saya kumpulkan dengan pendekatan tertentu. Frame malam minggu kan biasanya diidentikan dengan bobogohan, dari pada seperti itu maka saya ajak mereka untuk ngaji,” sambungnya.
Selain itu ada juga bagi mereka yang suka Persib atau sering disebut Bobotoh membentuklah Bobotoh Taqwa Pangalengan. Bagi para pecinta alam agar tetap naik gunung namun tetap bernilai dakwah dibentuklah Hammock Tafakur.
Hingga saat ini dakwah komunitas yang telah dibentuk Ridwan telah mencapai 12 komunitas. Seluruh komunitas dengan genrenya masing-masing disatukan melalui Komunitas Dakwah Pangalengan (KOMDAPA).
“Ieu kasadaran diri saya masih ngora, dekat dengan mereka, akrab dengan internet objek dakwah juga sama dekat dengan internet. Secara psikologis remaja hanya cukup diarahkan karena itu menjadi poin penting maka dari itu saya berani mengolah dan membina remaja,” Pungkasnya. []