SEORANG suami menulis sebuah puisi untuk istrinya:
Aku mencintaimu
dalam diam yang panjang,
dalam detak jam yang malas
di pagi-pagi sibuk,
saat kau berselimut lesu
dan aku menyeduh tehmu
tanpa sepatah pun kata cinta.
Tak ada pujian yang kusematkan
pada rambutmu yang kusut,
atau senyum pagimu yang tak sempat,
tapi aku hafal arah langkahmu
bahkan sebelum kau membuka mata.
Aku mencintaimu
dalam lirih doa yang lirih,
dalam hela napas sesak
saat kulipat lelahku
dan menukar letihmu
dengan bahuku yang pura-pura kuat.
BACA JUGA: Hidup Itu Seperti UAP… Puisi Terakhir WS Rendra
Aku mencintaimu
bukan dalam rayuan,
tapi dalam diam yang menjahit
kancing bajumu yang lepas,
dalam diam yang menghapus
capekmu dari wajahmu
saat kau tidur di tengah malam
dan dunia tak peduli.
Tak ada bunga yang kubawa pulang,
tak ada kejutan di hari-hari ulang tahun,
tapi aku mengingat tanggalnya,
dan menyelipkan doa
setiap kali kau meniup lilin
yang tak pernah aku belikan.
Aku mencintaimu
dalam tumpukan cucian yang kupindahkan,
dalam kompor yang kututup
karena kau lupa,
dalam langkah-langkah kecil
menghindari ribut
agar hatimu tenang.
Aku tak pandai berkata manis,
mulutku kelu
bahkan untuk bilang: “terima kasih”,
tapi aku melihatmu,
menatapmu dalam sepi
yang penuh haru,
dan berkata dalam hati
yang tak kau dengar:
“Terima kasih telah bertahan.”
Kau pikir aku tak peduli,
karena tak banyak bicara,
karena sibuk dengan layar,
karena sering menghela napas
saat kamu bercerita
tentang hal-hal yang bagiku asing.
Padahal aku hanya tak tahu
bagaimana caranya hadir
selain dengan duduk di situ
menjadi dinding diam
yang menampung letihmu.
Aku mencintaimu
dalam sisa-sisa logika
yang kadang meredam perasaan,
dalam doa-doa yang tak pernah selesai
saat kau sakit,
saat kau diam,
saat kau tampak kecewa
karena aku tak seperti
pria-pria romantis di layar kaca.
Aku mencintaimu
dalam cara yang tak bersuara:
mengganti lampu yang mati,
memastikan pintu terkunci,
mengisi dompetmu saat kau tidur,
dan menuliskan nama kita
dalam catatan pengeluaran
dengan rasa syukur
karena kau tetap di sini.
Bukan karena aku tak mau mengungkapkan,
tapi karena cintaku memilih bentuk lain,
yang mungkin tak puitis,
tak berkilau,
tapi nyata:
seperti air di gelasmu,
seperti charger yang kuganti,
seperti baju yang kutaruh
di sisi ranjang
agar kau tak kedinginan.
Aku mencintaimu
dengan seluruh rasa yang kusembunyikan,
karena tak semua cinta
harus jadi suara.
Ada cinta
yang memilih jadi bayangan,
agar kau leluasa berjalan
tanpa takut kehilangan.
BACA JUGA: Terlena, Puisi oleh: Buya Hamka
Dan jika suatu hari
kau meragukan tempatmu di hatiku,
ingatlah sore-sore panjang
saat aku tetap di sampingmu,
meski tubuhku lelah,
meski pikiranku penuh,
meski dunia tak ramah.
Itulah cintaku—
cinta yang kau rasakan
dari hal-hal kecil
yang tak pernah kau minta,
tapi selalu kau dapatkan.
Cinta yang tak perlu saksi,
karena Allah pun tahu
aku mencintaimu,
meski jarang kuucapkan. []