RASULULLAH shalallahu alaihi wasallam membangun semangat kebersamaan dengan beberapa hal. Di antaranya, menanamkan dalam diri para sahabat bahwa kebersamaan merupakan bagian dari nilai keimanan.
Sabda Rasul saw., “Janganlah kalian saling membenci, menghasud, membelakangi, dan saling memutuskan tali persahabatan. Akan tetapi, jadilah kalian itu hamba Allah yang bersaudara. Seorang muslim tidak diperbolehkan mendiamkan saudaranya lebih dari tiga hari.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Selain itu, beliau saw. mempersaudarakan secara nyata antara sahabat Muhajirin dan Anshar. Dan mereka pun menerima dengan lapang dada. Ada yang siap berbagi apa pun dengan saudara barunya: tanah, rumah, bahkan isteri yang akan diceraikan.
BACA JUGA: Rahasia Sukses Dakwah Nabi
Dan terakhir, Rasulullah saw. membingkai nasihatnya dalam keteladanan diri yang kuat. Beliaulah yang paling siap hidup bersama sebelum yang lain. Sabdanya, “Seorang mukmin terhadap mukmin lainnya seumpama bangunan saling mengokohkan satu dengan yang lain. (Kemudian Rasulullah saw. merapatkan jari-jari tangan beliau).” (Mutafaq ‘alaih)
Dari segi teori, kebersamaan memang terlihat mudah. Tapi dalam kenyataannya, sejumlah kendala kerap menghadang langgengnya sebuah kebersamaan. Di antara kendala itu boleh jadi sudah dianggap sebagai sesuatu yang biasa. Bukan lagi sebuah kendala.
Pertama, kebersamaan sulit bertemu dengan sifat kikir. Dasar pemikiran kenapa orang butuh menjalin kebersamaan adalah keinginan untuk bersinergi: menggabungkan potensi yang dimiliki untuk diolah menjadi kekuatan bersama yang jauh lebih dahsyat daripada sendiri. Awal munculnya sinergi adalah kerelaan untuk memberi.
Inilah hal yang paling sulit buat mereka yang punya penyakit pelit. Penyakit ini merupakan cerminan dari ego yang sulit dikendalikan. Tak ada kesuksesan buat mereka yang ada pelit dalam dirinya. “Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (QS. Al-Hasyr: 9)
Kedua, adanya kebanggaan terhadap diri yang berlebihan. Inilah awal munculnya penyakit sombong. Ada dua efek yang ditimbulkan dari sombong: menolak kebenaran tanpa nalar yang jelas, dan merendahkan manusia.
BACA JUGA: Rahasia Sukses Dakwah Nabi
Orang yang terhinggapi penyakit ini punya keyakinan kalau dirinya bisa melakukan apa pun tanpa bantuan orang lain. Sikap inilah yang terus menjadi dinding. Kalau pun ada interaksi, pola hubungannya cuma searah: apa yang bisa saya ambil dari orang lain. Bukan, apa yang bisa saya berikan buat orang lain. Dialah subjek, dan yang lain cuma objek.
Dalam skala besar, orang-orang seperti ini bisa memunculkan fanatisme golongan yang sempit. Inilah yang akhirnya memunculkan sekat-sekat kebersamaan sebuah umat. “Sesungguhnya (agama tauhid) ini, adalah agama kamu semua, agama yang satu dan Aku adalah Tuhanmu, maka bertakwalah kepada-Ku.
“Kemudian mereka (pengikut-pengikut rasul itu) menjadikan agama mereka terpecah belah menjadi beberapa kelompok. Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada sisi mereka (masing-masing).” (QS. 23: 52-53). []