DALAM diri manusia terkandung perasaan bahwa dirinya yang paling baik dan benar (truth claim). Seorang anak kecil yang merebut mainan milik temannya akan merasa bahwa cara-caranya itu benar, sampai ayahnya menegurnya bahwa perbuatan itu salah dan dosa.
Anak yang kritis akan menampik pendapat ayahnya dengan dalih, “Soalnya kemarin dia mencubit saya, Ayah, sekarang saya harus membalasnya.”
Ayah yang bijak akan senantiasa meluruskan dan mengingatkannya dengan baik, bahwa bersikap kasar kepada temannya adalah cara yang salah.
Kemudian, kesalahan yang pernah dilakukan temannya tidak boleh dibalas dengan kesalahan serupa.
Pada umumnya orang berpendapat secara abstrak, bahwa standar kebaikan dan kebenaran itu adalah ajaran agama. Katanya, kita yang sudah terlahir dengan menyandang agama Islam merupakan hidayah Allah. Dan setiap perbuatan seorang muslim adalah baik di mata Allah.
Hal ini tak perlu disangkal lagi. Kebenaran ini sudah final, sedangkan bagi mereka yang menentang pendapat ini telah keluar dari barisan muslim alias kafir, alias murtad, alias sesat dan seterusnya.
Konsep yang oleh kebanyakan orang dianggap final ini, dipersoalkan oleh seorang ilmuwan, ulama, dan filosof muslim, Ibnu Taimiyah. Dengan pola pikirnya yang dikenal progresif, Ibnu Taimiyah justru berpendapat bahwa, mereka yang terlahir sebagai muslim, dan tidak pernah berbuat kufur sama sekali, bisa saja derajatnya lebih rendah daripada seorang kafir yang kemudian memperoleh petunjuk dan hidayah Allah.
Bagi Ibnu Taimiyah, pada prinsipnya standar kemuliaan seseorang terletak pada endingnya, atau di akhir hayatnya. Ibarat dalam pertandingan atletik, seorang pelari yang berdiri di belakang lawannya dalam posisi lapangan yang melingkar, bisa saja akan mengalahkan lawan-lawannya yang diposisikan di barisan depan.
Jadi, siapakah yang lebih mahir dalam strategi, dan siapakah yang lebih cepat mencapai garis finish, itulah yang berhak menjadi pemenang utama.
Jadi, para juri memposisikan para atelit yang berdiri di belakang, bukan bermaksud untuk membeda-bedakan posisi, tapi justru karena harus berbuat adil. Artinya, agar jarak tempuh yang dilalui para atelit sepadan antara mereka yang berposisi di depan, tengah maupun belakang.
Karenanya, tidak identik yang berdiri di garis depan akan memenangkan pertandingan. Bisa saja dia tersungkur di tengah jalan, hingga tidak mencapai garis finish sama sekali. Atau, bisa saja dia mencapai garis finish, meskipun tidak mesti menjadi pemenang yang paling utama.
Menurut Ibnu Taimiyah, adalah tidak benar anggapan bahwa orang yang terlahir sebagai muslim itu lebih mulia ketimbang mereka yang dulunya kafir kemudian memperoleh hidayah. Karena standarnya adalah kualitas ketakwaan yang merupakan hak seluruh umat manusia.
Tidak menutup kemungkinan, seorang warga Baduy dari pedalaman Banten, atau warga Dayak dari pedalaman Kalimantan, lebih tinggi derajat ketakwaannya ketimbang kita yang terlahir muslim, dan merasa tak pernah melakukan kekufuran.
Tidak menutup kemungkinan juga, seorang yang tadinya bejat dan zalim, lalu dia menyadari kekhilafannya, bertobat, kemudian meninggal dengan penuh kepasrahan total kepada Sang Khalik.
“Orang yang pernah berbuat salah dan dosa, kemudian merasakan dampaknya, setelah itu mengenal kebaikan dan merasakan nikmatnya, tentu saja ia akan lebih mencintai kebaikan dan membenci keburukan. Ketimbang orang yang tak pernah mengenal keburukan sama sekali, hingga tak pernah memahami nikmatnya kebaikan,” demikian tegas Ibnu Taimiyah.
Ada lagi tastemen Ibnu Taimiyah yang cukup menghebohkan bahwa orang yang hanya tahu kebaikan, tidak mengenal keburukan, bisa saja ia terjerumus kepada perbuatan buruk hingga akhir hayatnya, lantaran ia tidak tahu bahwa itu perbuatan buruk.
Ia bisa terjerumus kepada keburukan itu dengan tidak mengingkarinya sama sekali. Berbeda dengan orang yang telah merasakan dampak dari keburukan, hingga ia bangkit untuk mengingkari keburukan itu, bertobat dan konsisten di jalan kebaikan.
Oleh karena itu, kita tidak berhak merasa tahu segalanya. Kadang secara sepihak kita merasa tahu urusan penempatan sorga dan neraka, mengklaim hitam-putih dari nasib hidup manusia, baik di dunia maupun di akhirat. Padahal, soal penempatan sorga dan neraka adalah mutlak menjadi hak prerogatif Allah. Tipikal seperti itulah yang sering disebut sebagai orang Indonesia yang memiliki perpektif tunggal.
Dalam novel saya, Perasaan Orang Banten, cukup banyak karakteristik tokoh yang memiliki perspektif tunggal seperti itu. Di antaranya Haji Mahmud yang merasa bangga dengan sebutan ‘haji’. Ia berurusan orang-orang di gardu ronda, berurusan pula dengan kepala sekolah tempatnya mengajar, terlebih dengan istri dan keluarganya sendiri.
Orang dengan perspektif tunggal seperti itu, pikirannya serba dangkal, statis, beku dan jalan di tempat. Tetapi, selalu ingin menang sendiri, bahkan merasa suci sendiri. Ia merasa telah menunaikan ibadah haji yang mabrur, meskipun ibadahnbya itu tak berefek positif terhadap perubahan tingkah laku. Bahkan suatu ketika, ia mengkultuskan diri selaku waliullah, dan berteriak-teriak merasa dirinya telah menerima petunjuk dan hidayah.
Padahal, Rasulullah sendiri tidak berhak memberi hidayah, termasuk kepada saudara dan kerabatnya sendiri. Itu artinya, Rasulullah sendiri tidak punya kewenangan untuk memutuskan perkara penempatan seorang makhluk, apakah dia akan menjadi ahli sorga ataukah neraka (kecuali dengan izin Allah).
Baiklah, akan saya analogikan dengan mengambil hikmah dari kisah sufistik mengenai seorang adik yang ingin menengok kakaknya Fulan, di dalam neraka. Beberapa minggu yang lalu Fulan telah meninggal dunia karena kecelakaan. Setelah hari ke-40 kematiannya, sang adik meminta izin kepada Malaikat Malik, kemudian dipersilakan masuk dengan syarat ia harus melepaskan sandalnya di luar pintu gerbang neraka. Dikarenakan Fulan sering mabuk-mabukan, sang adik meyakini betul, bahwa setelah kematiannya itu pasti Malaikat Maut melemparkan Fulan langsung ke dalam neraka.
Rupanya dugaan dan keyakinan sang adik melesat. Ia menemukan banyak kejanggalan di dalam neraka. Orang-orang yang dia kenal baik dan saleh semasa hidupnya, ternyata banyak yang mendekam di dalamnya.
Sedangkan, sebagian orang yang dia kenal gendeng dan zalim, tukang mabuk, maksiat, tidak berhasil dia temukan di sana. Yang membuatnya tak habis pikir, guru ngajinya yang selama ini dianggap suci, rajin ibadah dan tak pernah berbuat maksiat, ternyata dia temukan juga di dalam neraka. Lalu, di manakah kakaknya Fulan?
Setelah perdebatan panjang dengan para malaikat (diselingi beberapa interupsi), barulah sang adik memahami bahwa ilmu pengetahuan manusia sangat terbatas. Hanya setetes air di lautan samudera yang maha luas. Terlalu kecil di hadapan Allah. Oleh karena keterbatasan manusia, kadangkala manusia merasa ujub dan takabur dengan sedikit ilmu yang disandangnya. Dia merasa tahu segalanya, seakan-akan berhak mengklaim dirinya yang paling benar dan suci, sementara orang lain dianggap najis dan sesat.
Di akhir cerita, sang adik kemudian memahami mengapa ia tidak boleh mengenakan sandalnya ke dalam neraka. Ternyata, sandal yang dipakainya itu adalah milik Fulan kakaknya. Berhubung pemiliknya berada di sorga, sandal itu tidak layak baginya untuk berada di dalam neraka.
Kemudian, mengapa kakaknya yang pemabuk itu bisa masuk sorga? Rupanya sang kakak Fulan, mempunyai kebiasaan langka yang tidak dimiliki orang-orang sezamannya. Fulan tidak suka bergunjing atau menjelek-jelekkan aib dan keburukan orang lain. Ia tidak suka mencari-cari celah untuk menyudutkan atau membesar-besarkan kesalahan orang. Termasuk kesalahan adiknya sendiri yang selalu memakai sandalnya.
Bahkan apa saja yang dia miliki, telah dia ikhlaskan menjadi milik orang lain sebelum wafatnya, dan telah dia pasrahkan kepada Allah Sang Pemilik segalanya. []
Kirim OPINI Anda lewat imel ke: islampos@gmail.com, paling banyak dua (2) halaman MS Word. Sertakan biodata singkat dan foto diri. Isi di luar tanggung jawab redaksi.