DI TAHUN yang sama saat Khadija dan Abu Thalib meninggal dunia, yang juga disebut “tahun kesedihan”, Nabi melakukan perjalanan ke kota Taif dengan harapan bisa mengundang orang-orang kota tersebut masuk Islam.
Ini terjadi pada saat penduduk Mekah berada pada puncak kesombongannya terhadap panggilan Nabi. Sebagian besar orang di Mekah bersikeras dalam politeisme mereka, terutama karena alasan politik dan kapitalis. Sebagian orang beriman telah berhijrah ke Ethiopia untuk melarikan diri dari tirani para konglomerat Mekah.
Perjalanan ke Taif adalah dua hari berjalan kaki dari Mekah. Angkat angkat Umar, Zaid menemani Nabi pada hari itu. Mereka harus berjalan, karena para konglomerat Mekah memberlakukan sanksi kepada kaum Muslimin untuk tidak boleh memiliki hewan tunggangan saat itu.
BACA JUGA: Perencanaan dan Persiapan Nabi saat akan Hijrah ke Madinah
Pemimpin suku Taif keberatan pada seruan Nabi. Mereka bahkan sama sekali tidak mendengarkan Nabi. Alasannya, mereka takut berselisih dengan suku Quraisy, suku penguasa Mekah.
Sikap mereka terhadap Rasulullah (saw) disebutkan dalam Quran:
Dan tatkala kebenaran (Al Quran) itu datang kepada mereka, mereka berkata: “Ini adalah sihir dan sesungguhnya kami adalah orang-orang yang mengingkarinya”.
Dan mereka berkata: “Mengapa Al Quran ini tidak diturunkan kepada seorang besar dari salah satu dua negeri (Mekah dan Thaif) ini?” (Az-Zukhuruf 30-31)
Selain kesombongan itu, mereka juga mengorganisir sekelompok orang yang terdiri dari anak-anak dan remaja yang melempari batu kepada Nabi dan Zaid. Zaid melindungi Nabi, namun kaki keduanya terluka akibat lemparan yang tak henti itu. Mereka mengusir Nabi dan Zaid dari kota Taif.
Dalam perjalanan pulang, mereka berlindung di kebun anggur. Di sana mereka bertemu dengan seorang buruh Nasrani, yang memberikan beberapa anggur kepada mereka.
Sebelum menggigit, Nabi bersabda, “Bismillah” yang membuat orang Nasrani itu terkejut. Nabi kemudian bertanya dari mana asalnya, dia menjawab “Saya dari Niniwe.”
Rasulullah mengatakan kepadanya, “Jadi kau berasal dari kota yang sama dengan Nabi Yunus (as).”
Buruh Nasrani itu lebih bingung lagi. “Bagaimana engkau tahu tentang Nabi Yunus (as)?”
“Allah yang mengisahkannya di dalam kitabNya,” jawab Rasulullah.
BACA JUGA: Tiga Mukjizat Nabi Muhammad di Gua Tsur
Percakapan ini membangkitkan minat buruh Nasrani tersebut dan dia ingin belajar lebih banyak tentang Quran. Setelah beberapa saat dimana Rasulullah (saw) menceritakan kepadanya bagaimana Al-Quran menyebutkan Nabi Yunus (as), sang buruh Nasrani itu segera masuk Islam.
Kejadian terakhir ini mungkin merupakan sekilas harapan yang diberikan oleh Allah kepada Nabi di hari yang ia gambarkan sebagai “hari paling menyedihkan dalam hidupku”, mengacu pada sikap yang ditunjukkan oleh orang-orang Taif. []