1. Takhashshush saya di bidang kajian ilmu syar’i, lebih khusus lagi di bidang fiqih dan ushul fiqih (meski pada takhashshush saya ini sendiri, saya masih sangat mentah dan pemula). Jadi tidak tepat ditanya soal efektivitas vaksin untuk mengatasi pandemi covid-19 dan semisalnya.
Orang-orang semisal saya, yang sok tahu soal ilmu kesehatan, dan anti vaksin, harus berhati-hati, karena jatuh pada bicara tanpa ilmu. Dhararnya memang tidak sebesar bicara agama tanpa ilmu. Tapi tetap bahaya dan buruk, karena berkaitan dengan nyawa manusia.
2. Lalu siapa yang layak ditanya tentang efektivitas vaksin? Ya, para ahlinya. Hal ini sangat mudah dipahami, kecuali oleh orang yang tak mau berpikir.
BACA JUGA:Â Apakah Vaksinasi Dianggap Mendahului Takdir?
3. Seorang faqih atau mufti, atau lembaga fatwa, bisa memfatwakan vaksin wajib, mandub, dll., mempertimbangkan penjelasan para ahli.
Fatwa hukum dari ahli fiqih, penjelasan tentang waqi’ (fakta) yang akan dihukumi dari ahli kesehatan. Ini konsep dasar hubungan ahli fatwa dan ahli khibrah (pakar atau profesional di satu bidang).
4. Ada juga yang bertanya semisal, “Siapa yang punya otoritas menentukan mana pendapat dokter yang layak diikuti dan mana yang tidak?”
Jawabannya lagi-lagi, adalah kalangan mereka sendiri. Mereka punya kode etik sendiri, standar keilmuan sendiri, bahkan punya organisasi profesi sendiri, dan seterusnya.
Kalau orang awam seperti kita ingin tahu, tinggal rajin-rajin membaca berita atau informasi dari sumber-sumber yang bisa dipertanggungjawabkan, dan jangan mudah termakan hoax dari sumber anonim atau yang tidak otoritatif di bidangnya.
BACA JUGA:Â MUI Menyikapi Istihalah: Kasus Vaksin AstraZeneca
Dan yang penting juga, jangan sok tahu dan sok kritis terhadap para ahli. Kritis perlu, jika punya dasar argumentasi yang kuat dan diakui oleh para pakar di bidang yang dikritisi.
5. Siapa yang mengajari antum untuk anti terhadap kedokteran modern? Apakah ini ajaran Islam? Jelas bukan. Islam tidak pernah anti perkembangan zaman, selama tidak bertentangan dengan tsawabit Islam. Bahkan dulu di era keemasannya, umat Islam adalah umat yang terdepan dalam sains dan teknologi, termasuk kedokteran.
Kita tidak masalah dengan pengobatan tradisional, atau secara khusus hal-hal semisal madu, jintan hitam, bekam dan semisalnya, yang disebut oleh sebagian orang dengan ath-thibb an-nabawi.
Tapi jika kecenderungan itu mengarahkan pada permusuhan terhadap kedokteran modern, maka perlu ada yang direparasi dari cara antum memahami agama ini. []
Facebook: Muhammad Abduh Negara