Oleh: Imam Nawawi
Sekretaris Jenderal Syabab [Pemuda] Hidayatullah
BUKAN hal yang istimewa jika kemudian seluruh elemen bangsa ini harus melihat masalah-masalah fundamental kebangsaan dan kenegaraan kita sebagai landasan dalam berkiprah di dalam segala sisi kehidupan, terutama politik praktis.
Dalam buku Pandangan Strategis Prabowo Subianto Paradoks Indonesia Negara Kaya Raya, Tetapi Masih Banyak Rakyat Hidup Miskin disebutkan bahwa di bidang ekonomi, satu persen menguasai 49 persen kekayaan di Indonesia.
Dijabarkan lebih lanjut, “Angka rasio gini Indonesia menurut Creit Suisse adalah 0,49. Artinya 1% orang terkaya (hanya 2,5 juta orang) menguasai 49% kekayaan Indonesia” (halaman 7).
Sementara itu, Badan Pusat Statistik 2015 memaparkan data bahwa 29 juta warga Indonesia hidup miskin.
BACA JUGA: Ibunda Orang Miskin
“29 juta orang Indonesia hidup di bawah garis kemiskinan yang ditetapkan pemerintah. Ini mencakup 8,3% penduduk kota dan 14,2% penduduk desa” (halaman 7).
Data “klasik” soal ini semakin diperparah dengan tren melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar. Sebagaimana jamak dipahami, Indonesia diterjang krisis moneter pada 1998 diawali dengan nilai tukar rupiah yang anjolk terhadap dolar setahun sebelumnya. Belakangan, nilai tukar rupiah sudah semakin rendah terhadap dolar.
Dengan kata lain, krisis moneter bisa saja kembali menerjang Indonesia setelah 20 tahun masa reformasi, yang berarti kemiskinan akan semakin meluas.
Anehnya, sekalipun masalah ekonomi, kemiskinan sebagian besar rakyat Indonesia menjadi fakta tak terbantahkan, isu politik, para politisi, bahkan media cenderung meninggalkan sisi paling fundamental ini.
Setiap kali kontestasi pemilu akan digelar, semua sibuk berbicara calon, elektabilitas, dan beragam perang tanding hasil survey yang sejatinya sama sekali tidak dibutuhkan oleh rakyat Indonesia.
Saat ini situasinya semakin buruk, ketika muncul aspirasi dari sebagian rakyat Indonesia yang langsung terjun ke dalam isu politik praktis dengan membuat gerakan deklrasi 2019 ganti presiden, penguasa melalui alat negara, dalam hal ini BIN dan kepolisian, justru merespon dengan tindakan yang dalam bahasa pengamat politik Rocky Gerung menciderai nalar sehat publik.
Nalar publik yang diciderai itu tak mungkin diam. Publik menjawab dengan narasi rasional melalui beragam media, terutama media sosial. Mereka tidak menghadirkan teori yang normatif, tetapi memberikan ilustrasi sederhana.
BACA JUGA: Bapak Si Miskin, Sang Pelopor Ternama Islam
“Jika ada orang melakukan aksi yang tak melanggar konstitusi, lantas ada kelompok lain menghadang, melempari pelaku aksi dengan batu, apakah tepat jika polisi membubarkan aksi dan membiarkan para penghalang dan pelaku kekerasan itu berlangsung?”
Karena masalah ini memang mengusik nalar sehat, publik, media, dan politisi pun berjibaku mengangkat persoalan ini. Ironisnya, itu dilakukan bukan untuk segera menyelesaikan isu ini secara tepat dengan memposisikannya dalam pandangan hukum, tetapi malah menyuburkannya dalam ruang publik yang menyebabkan energi dan fokus isu politik sekali lagi, lepas dari masalah substansial negeri ini.
Isu politik akan terus menggelinding, dan media akan selalu berirama dengan kepentingan-kepentingan kelompok berpengaruh untuk membentuk opini publik. Selama publik tidak memiliki kapasitas pemahaman (intelektual) yang memadai, maka selama itu pula bangsa ini akan terus berada dalam atmosfer yang paradoks.
Satu-satunya jalan yang dapat ditempuh oleh publik sendiri, agar bangsa ini mampu menjawab paradoks dengan segera adalah dengan meningkatkan pemahaman (kapasitas intelektual) dalam memandang politik praktis itu sendiri.
Sudah saatnya publik meningkatkan daya tawarnya, yang sebelumnya bisa dibeli dengan uang, kini tidak lagi. Memilih buan karena dirayu apalagi dibayar, tetapi memilih karena kesadaran penuh bangsa ini harus lebih baik dan mampu menjawab paradoks yang hingga saat ini belum teratasi.
Dari sisi teori, publik melakukan hal ini tentu mudah. Tetapi, tidak mudah jika kemudian publik terus-menerus terombang-ambing oleh isu politik yang tidak substansial.
Tetapi, di sinilah ujian paling jelas bagi rakyat Indonesia, mau menjadi rakyat yang kuat dengan negara yang berjaya, atau terus nyaman menikmati lagu Indonesia kaya raya, meski kenyataannya, masyarakatnya tak berdaya.
Publik bahkan harus punya raport yang dibuat sendiri untuk mendata mana calon-calon yang layak dipilih mana yang tidak. Janji sudah 1000 janji diberikan. Tetapi, pembuktian jauh dari kenyataan. Alih-alih minta maaf dan menyadari kesalahan, alasan justru dikedepankan dengan wajah tanpa malu kembali menghadirkan janji-janji baru.
Dengan kata lain, kita tidak bisa titipkan kedaulatan bangsa dan negara ini sepenuhnya kepada wakil rakyat dan pejabat, bahkan partai politik. Jika kita sendiri sebagai rakyat tidak cerdas, kemudian berhenti berjuang, maka kedaulatan yang telah kita raih pada 17 Agustus 1945 hanyalah kemerdekaan semu.
Dan, dalam masalah ini, penting kita mengingat apa yang disampaikan oeh Mohammad Hatta bahwa dengan tercapainya penyerahan kedaulatan, perjuangan belum selesai.
Sekarang saatnya, rakyat Indonesia harus cerdas, harus berani, harus sadar, bahwa untuk keluar dari paradoks selama ini, semua kembali pada kesadaran rakyat itu sendiri, yang akan dibuktikan dengan gerakan jari telunjuk nanti, siapa pemimpin yang akan dipilih untuk membawa kita semua menjadi Indonesia yang sesungguhnya. []
OPINI ini adalah kiriman pembaca Islampos. Kirim OPINI Anda lewat imel ke: islampos@gmail.com, paling banyak dua (2) halaman MS Word. Sertakan biodata singkat dan foto diri. Isi dari OPINI di luar tanggung jawab redaksi Islampos.