DI negeri yang kaya sumber daya alam ini, masih saja kita melihat ironi yang menyesakkan dada: anak-anak yang kelaparan di pelosok negeri, sementara sebagian pejabat hidup dalam kemewahan yang mencolok. Kenapa hal ini bisa terjadi? Apa penyebab sebenarnya dari ketimpangan sosial yang mengakar di negara kita?
1. Distribusi Kekayaan yang Tidak Merata
Indonesia termasuk negara dengan ketimpangan distribusi kekayaan yang tinggi. Menurut berbagai laporan, sebagian besar kekayaan nasional hanya dimiliki oleh segelintir elit. Sementara jutaan warga lain hidup dalam keterbatasan, bahkan kesengsaraan.
BACA JUGA:Â Hukum Ghibah terhadap Pejabat Publik dalam Pandangan Islam
Kesenjangan ini terlihat jelas dalam perbandingan antara:
-
Kawasan elit perkotaan dengan gedung pencakar langit dan mobil mewah
-
Daerah terpencil yang masih kekurangan akses listrik, air bersih, dan makanan bergizi
Ketika akses ekonomi dan peluang hanya bisa dinikmati oleh segelintir orang, maka ketimpangan akan terus bertambah lebar.
2. Korupsi dan Penyalahgunaan Kekuasaan
Salah satu akar utama dari ketimpangan sosial adalah korupsi. Banyak pejabat publik yang semestinya bekerja untuk rakyat, malah menyalahgunakan wewenangnya untuk memperkaya diri sendiri.
Dana bantuan sosial, anggaran pendidikan, hingga proyek infrastruktur sering kali bocor di tengah jalan, tak sampai ke rakyat yang membutuhkan. Hasilnya? Anak-anak miskin tetap lapar, sekolah-sekolah rusak tak kunjung diperbaiki, dan layanan kesehatan tak memadai.
Sementara itu, para pelaku korupsi bisa liburan ke luar negeri, pamer mobil mewah, atau mengadakan pesta megah, seolah hidup di dunia yang berbeda.
3. Pendidikan yang Tidak Merata
Pendidikan adalah jalan utama keluar dari kemiskinan. Tapi nyatanya, akses terhadap pendidikan berkualitas masih sangat timpang.
Anak-anak di kota besar punya akses ke sekolah unggulan, guru berkualitas, bahkan kursus tambahan. Sebaliknya, anak-anak di pelosok harus berjalan jauh ke sekolah dengan fasilitas minim, buku yang tak lengkap, dan guru yang jarang hadir.
Ketika generasi muda tidak mendapat pendidikan yang layak, maka rantai kemiskinan akan terus berulang, dari satu generasi ke generasi berikutnya.
4. Kebijakan Ekonomi yang Tidak Berpihak pada Rakyat Kecil
Banyak kebijakan pemerintah justru menguntungkan kelompok kaya dan korporasi besar, bukan rakyat kecil. Misalnya:
-
Izin pengelolaan sumber daya alam sering diberikan ke perusahaan besar, bukan ke masyarakat adat atau petani lokal.
-
Subsidi dicabut, harga kebutuhan pokok naik, tapi bantuan sosial tak cukup menutup kebutuhan hidup rakyat miskin.
-
Pembangunan kota besar terus dikebut, sementara desa-desa tertinggal nyaris tak tersentuh.
Jika kebijakan ekonomi tidak berpihak pada pemerataan kesejahteraan, maka wajar bila ketimpangan sosial semakin parah.
5. Minimnya Kesadaran dan Empati Sosial
Sebagian masyarakat yang sudah hidup nyaman cenderung acuh terhadap nasib sesama. Padahal, bangsa yang besar bukan hanya dilihat dari angka GDP, tapi dari bagaimana ia memperlakukan yang paling lemah dan paling miskin.
Ketika empati mati, maka kemiskinan dibiarkan, bahkan dianggap biasa. Padahal, anak yang kelaparan hari ini bisa jadi bom waktu sosial di masa depan.
BACA JUGA:Â Ganjar Sebut Ada Pejabat Ditekan Dukung Paslon Tertentu Karena Masalah Hukum
Saatnya Bangkit dan Peduli
Ketimpangan sosial bukan sekadar angka statistik—ia adalah kisah nyata tentang ketidakadilan yang diderita jutaan rakyat. Anak-anak yang tak makan bukan karena negara ini miskin, tapi karena sistem yang timpang dan penuh ketidakadilan.
Kita membutuhkan:
-
Pemimpin yang jujur dan berintegritas
-
Kebijakan yang berpihak pada rakyat bawah
-
Pendidikan yang merata dan berkualitas
-
Masyarakat yang peduli, bukan apatis
Karena kemakmuran sejati bukan ketika segelintir orang hidup mewah, tapi ketika tak ada lagi anak Indonesia yang tidur dalam keadaan lapar. []