ALLAH Ta’ala menyebutkan dalam Qur’an surat An-Nisa ayat 59 agar menaati Ulil Amri.
Siapa sebenarnya Ulil Amri dalam Al-Qur’an?
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ *وَأُولِي الْأَمْرِ* مِنْكُمْ ۖ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ۚ ذَٰلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا
Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan taatilah Rasul (Muhammad), dan Ulil Amri (pemegang kekuasaan) di antara kamu. Kemudian, jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (QS. An Nisa: 59)
Dalam tafsir Ibnu Katsir dijelaskan bahwa, Al-Bukhari meriwayatkan dari Ibnu Abbas, ia berkata tentang firman-Nya,
”Taatilah Allah dan taatilah Rasul(Nya) dan ulil Amri di antara kamu. ” Ayat ini turun berkenaan dengan Abdullah bin Hudzafah bin Qais bin Adi, ketika diutus oleh Rasulullah di dalam satu pasukan khusus. Demikianlah yang dikeluarkan oleh seluruh jamaah kecuali Ibnu Majah.
Abu Dawud meriwayatkan dari Abdullah bin Umar bahwa Rasulullah shalallahu alaihi wasallam bersabda:
“Dengar dan taat adalah kewajiban seorang muslim, suka atau tidak suka, selama tidak diperintah berbuat maksiat. Jika diperintahkan berbuat maksiat, maka tidak ada kewajiban mendengar dan taat.” (Di keluarkan pula oleh al-Bukhari dan Muslim dari hadits Yahya al-Qaththan).
Dari Ubadah bin ash-Shamit, ia berkata: “Kami dibai’at oleh Rasulullah untuk mendengar dan taat di waktu suka dan tidak sukanya kami, dan di waktu sulit dan mudahnya kami, serta di waktu diri sendiri harus diutamakan dan agar kami tidak mencabut kekuasaan dari penguasa, beliau bersabda: Kecuali kalian melihat kekafiran yang nyata dan kalian memiliki bukti dari Allah.’” (Dikeluarkan oleh al-Bukhari dan Muslim).
Dalam hadits lain dari Anas radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah Shalallahu alaihi wasallam Bersabda:
“Dengarkanlah dan taatilah oleh kalian! Sekalipun yang dijadikan penguasa untuk kalian adalah seorang budak Habasyah (Ethiopia) yang kepalanya (rambutnya) seakan-akan kismis.” (HR. Al-Bukhari)
Ali bin Abi Thalhah meriwayatkan, dari Ibnu Abbas bahwa makna ulil amri minkum (“Dan Ulil Amri di antara kamu”) adalah ahli fiqih dan ahli agama. Demikian pula Mujahid, Atha’, al-Hasan al-Bashri dan Abut Aliyah berkata: wa ulil amri minkum (“Dan Ulil Amri di antara kamu”) adalah ulama. Yang jelas -wallahu a’lam- bahwa Ulil Amri itu umum mencakup setiap pemegang urusan, baik umara maupun ulama, sebagaimana pada pembahasan yang lalu.
BACA JUGA: 8 Perjalanan Setelah Kematian
Di dalam hadits shahih yang disepakati keshahihannya, yang diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu, bahwa Rasulullah bersabda: “Barangsiapa yang taat kepadaku, maka berarti ia taat kepada Allah. Dan barangsiapa yang bermaksiat kepadaku, maka berarti ia bermaksiat kepada Allah. Barangsiapa yang mentaati amirku, maka berarti ia mentaati aku. Dan barangsiapa yang bermaksiat pada amirku, maka berarti ia bermaksiat padaku.”
Ini semua adalah perintah untuk mentaati para ulama dan umara. Untuk itu Allah berfirman: athii’ullaaHa (“Taatlah kepada Allah”), yaitu ikutilah Kitab-Nya. Wa athii’ur rasuula (“Dan taatlah kepada Rasul”), yaitu peganglah Sunnahnya. Wa ulil amri minkum (“Dan Ulil Amri di antara kamu,”) yaitu pada apa yang mereka perintahkan kepada kalian dalam rangka taat kepada Allah, bukan dalam maksiat kepada-Nya. Karena, tidak berlaku ketaatan kepada makhluk dalam rangka maksiat kepada Allah. Sebagaimana dalam hadits shahih yang lalu: “Ketaatan itu hanya dalam hal yang ma’ruf.” (Tafsir Ibnu Katsir QS. An-Nisa: 59)
Ulil Amri bisa diartikan sebagai ulama atau pemerintah. Ibnu Katsir, setelah mengutip sejumlah hadis mengenai makna ulil amri, menyimpulkan bahwa ulil amri itu adalah, menurut zhahirnya, ulama. Sedangkan secara umum ulil amri itu adalah umara dan ulama. (Tafsir al-Quran al-Azhim, juz 1, h. 518)
Pengertian
Ulil Amri secara bahasa artinya adalah orang yang memegang urusan manusia.
Kemudian ada dua model orang yang mengatur urusan manusia,
pertama adalah orang yang mengatur dalam masalah agama yaitu para ulama,
dan kedua adalah orang yang mengatur dalam masalah keduniaan yaitu umara/ pemerintah.
Ketaatan kepada Ulil Amri itu tidak mutlak. Mengapa?
Hal itu disebabkan karena ketika Allah dalam firman-Nya tersebut menyebutkan tentang ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya, Allah menggunakan kata أَطِيعُوا (taatlah), adapun kepada Ulil Amri Allah tidak menyebutkan kata tersebut. Oleh karena itu, ketaatan kepada Ulil Amri diperbolehkan dengan syarat selama perintah tersebut tidak melanggar syariat.
Ketaatan itu ada 2 yakni
1. Ketaatan mutlak
Ketaatan yang ditujukan kepada Allah dan juga RasulNya
2. Ketaatan bersyarat
Ketaatan kepada Ulil Amri (baik dimaknai dengan Umaro/ pemimpin atau ulama)
Imam al-Mawardi, ulama besar yang bermazhab Syafi’i yang hidup pada masa kekhilafahan Abbasiyah, dalam kitab tafsir (Tafsir al-Mawardi, jilid 1, h. 499-500) menjelaskan bahwa ulil amri memiliki 4 makna:
1. Umara (pemimpin)
Umara disebut dengan pemimpin yang konotasinya untuk pemimpin keduniaan. Hal ini merujuk pada pendapat Ibn Abbas, as-Sady, dan Abu Hurairah serta Ibn Zaid dengan melihat asbabun-nuzul (sebab turunnya ayat).
2. Ulama dan Fuqaha
Ulama dan fuqaha merujuk pada pendapat dari Jabir bin Abdullah, al-Hasan, Atha dan Abi al-Aliyah.
3. Sahabat Rasulullah
Ulil Amri dinisbahkan khusus kepada sahabat-sahabat Rasulullah.
BACA JUGA: Siapa sebenarnya Ulil Amri dalam Al-Qur’an?
4. 2 Sahabat Rasulullah shalallahu alaihi wasallam
Ada 2 orang sahabat Rasulullah yaitu Abu Bakar dan Umar Ibnul Khattab.
Dari penjelasan di atas kita pahami bahwa:
Bila yang dimaksudkan ulil amri adalah pemimpin, maka perintah mereka wajib ditaati selama bukan dalam perkara maksiat. Dalam hadits disebutkan,
السَّمْعُ وَالطَّاعَةُ حَقٌّ ، مَا لَمْ يُؤْمَرْ بِالْمَعْصِيَةِ ، فَإِذَا أُمِرَ بِمَعْصِيَةٍ فَلاَ سَمْعَ وَلاَ طَاعَةَ
“Patuh dan taat pada pemimpin tetap ada selama bukan dalam maksiat. Jika diperintah dalam maksiat, maka tidak ada kepatuhan dan ketaatan.” (HR. Bukhari, no. 2955)
Sedangkan bila yang dimaksud adalah juga ulama maka Ulil Amri tentu bertugas juga mengurusi urusan agama. Wallahu a’lam. []