NAJIS merupakan lawan kata dari thaharah atau bersuci. Menurut syar’i, najis adalah nama tertentu untuk sesuatu yang menjijikkan. Wajib hukumnya bagi setiap muslim menyucikan diri darinya, dan mencuci bagian yang terkena najis.
Macam macam najis
Objek-objek yang telah ditetapkan oleh dalil syar’i sebagai najis adalah sebagai berikut:
a. Kotoran manusia dan air kencingnya
Menurut kesepakatan para ulama, keduanya tergolong najis. Terkait najisnya kotoran manusia, Rasulullah ﷺ bersabda
إِذَا وَطَى أَحَدُكُمْ بِنَعْلِهِ الْأَذَى فَإِنَّ الثَّرَابَ لَهُ ظَهُورُ
“Jika salah seorang di antara kalian menginjak kotoran dengan sandainya. maka tanah menjadi penyucinya.” (HR. Abu Dawud (385), sanadnya shahih)
Begitu juga dalil lainnya yang menunjukan kenajisannya adalah keumuman hadits yang memerintahkan untuk istinje yang akan dipaparkan sebentar lagi.
Adapun dalil tentang najisnya air kencing adalah hadits yang diriwayatkan oleh Anas, ia menuturkan bahwa ada seorang Arab badui kencing di dalam masjid. Maka, sebagian orang berdiri untuk mencegahnya. Nabi melarangnya seraya bersabda, “Biarkanlah ia jangan kalian mencegahnya.” Anas melanjutkan, setelah orang badui itu selesai membuang air kencing. Nabi memerintahkan untuk mengambil seember air kemudian menyiram tempat yang dikencingi badui tadi.” (Mutalaqun Alaihi. Al-Bukhari 16025), Muslim (284)
BACA JUGA: Khawatir Genangan Air Hujan Najis, Bagaimana?
b. Madzi dan Wadi
Madzi adalah air yang lembut dan lengket Keluar ketika syahwat sedang memuncak, seperti saat bercumbu. Atau ketika ingat tentang persetubuhan atau keinginan untuk berjimak. Tidak memancar keluarnya dan tidak menyebabkan rasa lemas setelah keluarnya. Bahkan, terkadang tidak terasa ketika keluarnya. Hal ini bisa terjadi pada laki laki atau perempuan (Fath Al-Bari 11/379), Syarh Al-Muslim lil Imâm An-Nawawi, (1/599). Namun, kebanyakan terjadi pada perempuan. Para ulama sepakat bahwa madzi adalah najis (Al Majmu’ li An-Nawawi (2/6), Al Moghni, Ibnu Qudamah (1/168). Oleh karena itu, Nabi Muhammad memerintahkan agar mencuci kemaluannya dari madzi.
Dalam Shahihain disebutkan bahwa Nabi ﷺ ditanya tentang madzi: pernah bersabda ketika
يَغْسِلُ ذَكَرَهُ وَيَتَوَضًا
“Hendaknya mencuci kemaluannya kemudian berwudhu.” (Mutalaqun Alaihi. Al-Bukhari (269), Muslim (303)
Adapun wadi, yaitu cairan yang berwarna putih kental. Keluar setelah buang air kecil. Menurut ijma’ para ulama, wadi termasuk najis.
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas, ia menuturkan “Mani, wadi dan madzi. Mani mengharuskan untuk mandi. Sedangkan wadi dan madzi, “Cucilah kemaluanmu atau seputar kemaluanmu. Kemudian berwudhulah seperti wudhu akan shalat.”” (Sunan Al-Baihaqi (1/115)
c. Darah haid
Diriwayatkan dari Asma’ binti Abu Bakar, ia menuturkan “Ada seorang wanita datang menghadap Nabi, dan bertanya, “Ya Rasulullah, ada salah seorang di antara kami yang bajunya terkena darah haid, apa yang harus dilakukannya?” Beliau ﷺ menjawab:
تَحْتُهُ ثُمَّ تَقْرِصُهُ بِالْمَاءِ ثُمَّ تَنْصَحُهُ، ثُمَّ تُصَلِّي عَلَيْهِ
“Hendaknya ia mengeriknya. Kemudian menggosok dan memercikinya dengan air. Setelah itu shalatlah dengan pakaian tersebut.” (Mutafaqun Alaihi. Al-Bukhari (227), Muslim (291)
d. Kotoran hewan yang dagingnya tidak boleh dimakan
Diriwayatkan dari Abdullah bin Mas’ud, ia menuturkan, “Suatu ketika Nabi ingin buang air besar. Kemudian beliau berkata kepadaku: “Ambilkan aku tiga batu.” Setelah aku mencari batu, aku hanya mendapat dua batu dan kotoran keledai. Beliau mengambil dua batu dan membuang kotoran tersebut, seraya bersabda, “Itu adalah najis.” (Shahih. Al-Bukhan (156). At-Tirmidzi (17), An-Nasa’i (42), Ibnu Khuzaimah dengan tambahan keledai)
Makna rijsun adalah najis. Hadits ini menunjukkan bahwa kotoran hewan yang dagingnya tidak boleh dimakan adalah najis.
e. Air liur anjing
Nabi ﷺ bersabda:
ظهُورُ إِنَاءِ أَحَدِكُمْ إِذَا وَلَعَ فِيْهِ الْكَلْبُ أَنْ يَغْسِلَهُ سَبْعَ مَرَّاتٍ أُوْلَاهُنَّ بِالتَّرَابِ
“Sucinya bejana salah satu di antara kalian yang dijilat anjing adalah dengan mencucinya tujuh kali. Cucian pertamanya dengan tanah.” (14. Shahih Muslim 279) Hadits ini menunjukkan bahwa air liur anjing adalah najis.
f. Daging babi
Menurut kesepakatan para ulama daging babi adalah najis, seperti disebutkan secara jelas dalam firman Allah:
قُل لَّا أَجِدُ فِي مَا أُوحِيَ إِلَى مُحَرَّمًا عَلَى طَاعِمٍ يَطْعَمُهُ إِلَّا أَن يَكُونَ مَيْتَةً أَوْ دَمًا مَّسْفُوحًا أَوْ لَحْمَ خِنزِيرٍ فَإِنَّهُ رِجْسٌ …
“Katakanlah, Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi, karena sesungguhnya semua itu kotor…” (QS. Al-An’am [6]: 145).
g. Bangkai
Maksudnya adalah hewan yang mati dengan sendirinya tanpa disembelih secara syar’i. Hukumnya najis menurut kesepakatan para ulama. Berdasarkan sabda Nabi Muhammad, “Jika kulit telah disamak maka ia telah suci.” (Shahih Muslim (366) Al-Ihab dalam hadits ini adalah kulit bangkai.
Namun, dalam hal ini ada beberapa pengecualian, di antaranya:
– Bangkai ikan dan belalang, keduanya suci. Berdasarkan sabda Rasulullah ﷺ:
أُحِلَّ لَنَا مَيْتَتَانِ وَدَمَانِ: أَمَّا الْمَيْتَتَانِ فَالْحُوْتُ وَالْجَرَادُ، وَأَمَّا الدَّمَانِ فَالْكَيْدُ والطحال
“Dihalalkan kepada kami dua bangkai dan dua darah. Adapun dua bangkai itu adalah bangkai ikan dan belalang. Sedangkan dua darah ialah hati dan limpa.” (HR. Ibnu Majah (3218) dan (3314), Ahmad (2 dan 97), dengan sanad yang shahih)
– Bangkai binatang yang tidak mengalir darahnya, seperti semut, lalat, lebah, kutu dan lainnya. Nabi bersabda, “Jika seekor lalat jatuh ke dalam bejana salah seorang di antara kalian, maka celupkanlah seluruh tubuhnya atau buanglah. Sesungguhnya pada salah satu sayapnya terdapat penyakit dan pada sayapnya yang lain ada obat penawarnya.” (Shahih Al-Bukhari (3320)
– Tulang hewan yang sudah mati, tanduknya, kukunya, rambutnya dan bulunya. Berdasarkan hukum asalnya semuanya suci. Imam Al-Bukhari as membawakan hadits mualaq dalam kitab Shahih-nya (1/342): Imam Az-Zuhri a berpendapat terkait dengan tulang hewan yang sudah mati, seperti gajah atau lainnya-, “Saya mendapati beberapa ulama salaf menjadikannya sisir dan tempat meletakkan minyak. Mereka tidak menganggapnya bermasalah.” Hammad berpendapat, bahwa tidak mengapa menggunakan bulu binatang yang sudah mati.”
h- Potongan tubuh hewan yang masih hidup
Potongan tubuh hewan yang masih hidup hukumnya sama dengan bangkai berdasarkan sabda Nabi ﷺ:
مَا قُطِعَ مِنَ الْبَهِيمَةِ وَهِيَ حَيَّةً فَهُوَ مَيْتَهُ
“Bagian tubuh hewan yang terpotong dalam keadaan hidup, maka termasuk bangkai.” (HR. At-Tirmidzi (1480), Abu Dawud (2758), Ibnu Majah (3216)
BACA JUGA: Cara Mencuci Pakaian yang Terkena Najis
i- Sisa minuman binatang buas dan hewan yang tidak boleh dimakan
As-Su’ru adalah bagian yang tersisa dalam bejana setelah minum.
Dalil yang menunjukkan bahwa itu najis adalah sabda Nabi ﷺ ketika ditanya tentang air yang berada di padang tandus dan sering dihampiri binatang buas dan binatang lainnya:
إِذَا كَانَ الْمَاءُ قُلَتَيْنِ لَمْ يَحْمِلُ الْخَبَتَ
“Jika air tersebut sampai dua kullah, maka tidak mengandung najis.” (Shahih. Abu Dawud (63), An-Nasa’i (1/46), At-Tirmidzi (67)
Adapun tentang kucing atau semisalnya, maka bekas minumnya suci. Sebagaimana sabda Nabi ﷺ:
إِنَّهَا لَيْسَتْ بِنَجَسٍ ، إِنَّهَا مِنَ الطَّوَّافِينَ عَلَيْكُمْ وَالطَّوَّافَاتِ
“Sesungguhnya kucing itu tidak najis. Kucing itu hidup di sekitar kalian.” (Shahih. HR. Muslim (1940), Ahmad (3/121). Adapun di dalam riwayat Imam Al-Bukhari tanpa ada lafal rijs)
j. Daging hewan yang tidak boleh dimakan
Berdasarkan hadits Anas, ia menuturkan, “Kami mendapatkan daging keledai pada perang Khaibar, maka Rasulullah ﷺ berseru:
إِنَّ اللَّهَ وَرَسُوْلَهُ يَنْهَاكُمْ عَنْ خُوْمِ الْحِمَرِ فَإِنَّهَا رِجْسٌ أَوْ نَجَسٌ
“Sesunggguhnya Allah dan Rasul-Nya melarang kalian untuk memakan daging keledai. Sebab daging tersebut rijs atau najis.” (Shahih. HR. Ahmad (5/303), Ashabu Sunan, 21 lihat Al-Irwa (173)
Dalam riwayat Salamah bin Al-Akwa disebutkan, “Ketika sore hari, pada penaklukan Khaibar, banyak di antara mereka menyalakan api. Rasulullah bertanya, “Api apakah ini? Untuk apa kalian menyalakannya?” Para shahabat menjawab, “Untuk memasak daging, wahai Rasulullah. Nabi bertanya, ‘Daging apa yang hendak dimasak? Mereka menjawab, ‘Daging keledai jinak. Beliau bersabda, “Tumpahkan dan pecahkan bejananya. Seseorang bertanya. Ya Rasulullah, bolehkah kami tumpahkan lantas mencucinya?’ Beliau menjawab, ‘Boleh, tidak mengapa.” (Shahih, HR Muslim
Dua hadits di atas menunjukkan bahwa daging keledai piaraan hukumnya najis, sebagaimana hadits Nabi dagingnya najis.” Perintah beliau yang pertama di atas, “Sesungguhnya untuk memecahkan bejana pertama kali kemudian boleh memakainya setelah dicuci tanpa memecahkannya untuk keterangan terakhir pada hadits kedua. []
SUMBER: HUMAYRO