KETIKA kumenelusuri jejak-jejak sahabat rasulullah dalam memperjuangkan islam, ternyata diri ini tak ada apa-apanya.
Kalau bisa di ibaratkan olehku, kebaikan dan keistiqomahan mereka itu seperti gundukan tanah yang menjulang tinggi, sedangkan diriku hanya sebulir pasir bahkan mungkin debu yang jika tertiup anginpun bisa hilang jejaknya.
Begitupun dengan kesabaranku, aku masih belum bisa mengontrol emosiku yang terkadang mengancam iman diri ini. Aku belum bisa mengalahkan musuh terbesarku, yakni diriku sendiri. Memang secara fitrah manusia memiliki naluri baqo atau sifat ‘keukeh’ untuk mempertahankan dirinya dari rangsangan luar yakni oranglain.
Tapi ketika melirik sejarah ke belakang, diri ini sungguh jauh berbeda dengan sikap dan tingkah laku para sahabat, yang sejatinya secara fitrah mereka pun memiliki potensi yang sama dengan manusia lainnya, yakni memiliki naluri baqo atau sikap mempertahankan diri, tapi sayangnya anntara aku dengan mereka seperti bumi dengan langit, mereka mampu bisa sabar dan bisa mengendalikan emosi mereka, tapi diri ini masih terjebak dengan lingkaran hitam yang disebut egoisme dan tempramentalis yang menghinakan manusia.
Sebut saja Umar bin Khattab, walaupun beliau dikenal sebagai “singa padang pasir” yang bahkan setan pun akan kabur jika melihat beliau, tapi ketika beliau masuk islam, beliau mampu istiqomah dalam menerapkan semua perintah dan menjauhi larangan-Nya.
Seperti kesabaran beliau ketika menjadi khalifah ke dua menggantikan Khalifah Abu Bakar, beliau memilih menjadi pemimpin yang sabar dan wara’, bayangkan saja beliau rela hidup sederhana dan melarang keluarganya untuk tidak sedikitpun menyentuh dan menggunakan harta baitul maal, walaupun pada saat itu umat menganjurkannya.
Selain itu, karena ke zuhudannya, beliau yang sejatinya seorang pemimpin tapi saking ketakutan beliau terhadap Allah, beliau sampai rela menambal pakaianya hingga dua belas tambalan, subhanaallah begitu mulianya engkau wahai sahabat nabi dibanding dengan diri ini dan manusia-manusia sekarang.
Hingga akhirnya sampai pada titik simpul dan diri ini mengaca, ternyata :
Astagfirullah….sudah berapa kebaikan dan sudah berapa banyak usaha yang sudah aku lakukan demi kejayaan islam??? Rasanya masih sangat sedikit sekali, bahkan untuk sabar dan mengendalikan hawa nafsu saja pun aku belum mampu mengendalikannya, lantas bagaimana mungkin diri ini bisa memberikan kontribusi untuk islam?
Ya Rasulullah, aku malu jika suatu hari diri ini ditanyakan Allah SWT dan engkau ya rasulullah. Andai engkau menanyakan kepadaku,”Sudah berapa banyak usaha yang sudah dilakukan di dunia untuk berkontribusi terhadap diin Allah?”.
Rasanya aku tidak bisa menjawab dan mungkin hanya bisa tertunduk karena malu sekali atas diri ini. Yah..bukan hanya kepada Allah SWT dan rasul-Nya, tapi juga malu kepada para sahabat-sahabat yang dulu rela mati-matian membela islam, bahkan sebagian besar dari mereka sampai merelakan harta, kedudukan, keluarga, bahkan sampai mengorbankan jiwa raga mereka sendiri.. Subhanaallah, semoga Allah SWT memuliakan kedudukan mereka di syurga.
Wahai diri, tunggu apalagi? Weak up please!! Hayo bangun dari tidur panjangmu! Mulailah bulatkan tekad dan tancapkan niat yang kuat untuk istiqomah dalam membumingkan syiar-syiar islam ke seluruh penjuruh desa, kota, negeri, bahkan membumikan islam di dunia ini. Aamiin.
Semoga diri ini bisa bertemu sahabat-sahabat rasul, dan rasulullah di surga-Nya. Semoga pertemuan itu bisa membuatku mengangkat kepala dengan tegak tanpa ada rasa malu ketika menghampiri mereka, terlebih kepada Allah SWT tentunya. Aamiin Ya Rabbal’alamiin. Waallahu’alam. []