INI sering muncul dalam kehidupan rumah tangga muslim, bahwa istri malas melayani suami untuk melakukan jima di malam hari dikarenakan harus mandi sebelum shubuh. Mari kita bahas dari beberapa sisi: agama, psikologis, dan komunikasi suami istri.
1. Aspek Fikih: Mandi Wajib Sebelum Subuh
Dalam Islam, jika seorang suami istri berhubungan di malam hari, maka mandi junub adalah wajib sebelum melaksanakan salat. Namun, tidak wajib langsung mandi setelah berhubungan. Yang penting, mandi dilakukan sebelum waktu salat (misalnya sebelum salat Subuh). Ini berarti:
Seseorang masih boleh tidur dalam keadaan junub, asalkan nanti bangun dan mandi sebelum salat.
Jadi, sebenarnya mandi sebelum Subuh itu bukan karena harus langsung, tapi karena tuntutan salat Subuh.
BACA JUGA:Â Akibat Suami yang Tidak Jima dengan Istrinya
Namun, banyak istri yang akhirnya menghindari hubungan di malam hari karena tidak ingin repot bangun pagi-pagi sekali hanya untuk mandi wajib. Ini masuk ke aspek kenyamanan dan kebiasaan.
2. Aspek Psikologis dan Emosional
Beberapa alasan mengapa istri mungkin malas atau enggan melayani suami di malam hari, termasuk karena harus mandi sebelum Subuh:
Kelelahan: Istri yang bekerja, mengurus anak, dan rumah tangga, bisa sangat kelelahan di malam hari.
Gangguan tidur: Jika harus bangun mandi di pagi buta, itu bisa mengganggu ritme tidur dan membuat tubuh makin lelah esok harinya.
Kondisi fisik dan emosional: Tidak setiap hari istri berada dalam kondisi yang siap secara fisik maupun mental.
Kurangnya komunikasi: Kadang suami tidak cukup peka atau tidak membicarakan waktu yang tepat dengan istri, sehingga permintaan terasa berat.
3. Solusi dan Pendekatan Bijak
Komunikasi yang sehat: Suami istri perlu membicarakan waktu yang sama-sama nyaman, bukan hanya menurut keinginan salah satu pihak.
Pemahaman agama yang tepat: Menyadari bahwa mandi junub bisa dilakukan sebelum salat Subuh, tidak harus langsung setelah berhubungan, bisa membuat istri lebih tenang.
BACA JUGA:Â Yang Tidak Disukai Istri dari Suami Ketika Jima
Pengertian dan empati suami: Jika suami memahami kondisi istri, ia bisa lebih bijak memilih waktu dan cara mendekati.
Penutup
Ibadah dalam rumah tangga, termasuk hubungan suami istri, adalah bentuk cinta yang bernilai ibadah jika diniatkan dengan benar. Namun, ibadah ini tidak boleh menjadi beban, terutama jika dilaksanakan tanpa kepekaan dan komunikasi. Keduanya harus berjalan dalam suasana saling memahami, bukan sekadar menuntut.
“Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik terhadap istrinya.” — (HR. Tirmidzi) []