DI zaman media sosial seperti hari ini, kita mudah sekali jatuh ke dalam dua kutub ekstrem saat membicarakan tokoh—baik itu tokoh agama, tokoh politik, ustadz, dai, pemimpin, atau publik figur lainnya. Ada yang memujanya setinggi langit, seakan-akan tak pernah salah, dan ada pula yang menghujat tokoh lain dengan penuh kebencian hanya karena berbeda pandangan. Padahal, sikap semacam ini tidak hanya tidak adil, tapi juga bisa berbahaya bagi hati dan akal kita sendiri.
Islam mengajarkan kita untuk berlaku adil, bahkan terhadap orang yang tidak kita sukai. Allah berfirman:
“Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kalian penegak keadilan karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah kebencian terhadap suatu kaum mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa…” (QS. Al-Ma’idah: 8)
Jika kepada musuh saja kita diperintahkan untuk tetap berlaku adil, apalagi kepada sesama saudara Muslim, meskipun berbeda pandangan atau pendekatan.
BACA JUGA: 5 Nama Anak Perempuan Islam dari Tokoh Pengukir Sejarah
Meninggikan satu tokoh secara berlebihan hingga menutup mata terhadap kesalahan-kesalahannya adalah bentuk ghuluw (berlebih-lebihan) yang dilarang dalam agama. Nabi ﷺ bersabda:
“Janganlah kalian memujiku secara berlebihan seperti orang-orang Nasrani memuji Isa putra Maryam. Aku hanyalah seorang hamba, maka katakanlah: hamba Allah dan Rasul-Nya.”
(HR. Bukhari)
Jika Rasulullah ﷺ saja melarang umatnya memujinya secara berlebihan, apalagi tokoh-tokoh biasa yang bukan maksum dan tentu bisa salah? Semua manusia punya kekurangan. Ketika kita menjadikan tokoh sebagai “kebenaran”, maka kita akan buta terhadap kesalahannya. Padahal, seharusnya kita menimbang semua ucapan dengan ilmu dan dalil, bukan dengan nama besar seseorang.
Lebih parah lagi jika pujian terhadap satu tokoh diiringi dengan cacian kepada tokoh lain yang berbeda pandangan. Ini bukan hanya menyalahi adab, tapi juga bisa menciptakan perpecahan, menyebarkan fitnah, dan menumbuhkan rasa benci dalam umat. Dalam Islam, menjaga persatuan lebih utama daripada memenangkan ego pribadi.
Ulama salaf sangat berhati-hati dalam hal ini. Imam Malik rahimahullah pernah berkata:
“Setiap orang bisa diambil ucapannya dan ditolak, kecuali penghuni kubur ini,” sambil menunjuk ke makam Nabi ﷺ.
BACA JUGA: 7 Tokoh Islam yang Berkontribusi dalam Bidang Sains untuk Dunia
Artinya, tak ada tokoh yang sempurna, tak ada yang suci dari kesalahan selain Rasulullah ﷺ. Maka jangan sampai kita fanatik buta kepada satu orang hingga merasa berhak menjelek-jelekkan yang lain.
Mari kita belajar untuk bersikap adil dan seimbang. Menghargai kebaikan seseorang tanpa menutup mata terhadap kekeliruannya. Mengkritik dengan adab, bukan dengan caci maki. Dan jika kita belum mampu menyikapi perbedaan dengan bijak, maka diam lebih baik daripada menyebar kebencian.
Karena pada akhirnya, yang akan kita pertanggungjawabkan di hadapan Allah bukanlah siapa tokoh yang kita bela, tapi bagaimana kita menjaga lisan, hati, dan sikap dalam membela kebenaran. []