JAKARTA—Majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan memvonis pembekuan kelompok bersenjara Jemaah Anshorut Daulah (JAD) menyusul serangkaian serangan teror yang telah dilancarkan oleh kelompok ini dengan puluhan korban jiwa dan luka.
“Membekukan korporasi JAD dan organisasi lain yang terafiliasi dengan Islamic State in Iraq and Syria [ISIS] atau Al Dawla Al Sham [Daesh] atau Islamic State in Iraq and Levant [ISIL] atau Islamic State [IS] dan menyatakannya sebagai organisasi terlarang,” kata Hakim Ketua Aris Bawono dalam persidangan yang digelar di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Selasa.
Majelis Hakim menyatakan JAD secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana terorisme atas nama korporasi.
“Hal yang memberatkan ialah JAD menimbulkan ketakutan di masyarakat. Hal yang meringankan tidak ada,” ungkap Hakim Ketua Aris.
Selain membekukan JAD, majelis hakim juga mengenakan pidana denda Rp5 juta.
Sebelumnya, Jaksa Penuntut Umum (JPU) menilai bahwa JAD melanggar Pasal 17 Ayat 1 dan Ayat 2 juncto Pasal 6 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme sebagaimana telah ditetapkan menjadi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003.
Selain meminta hakim membubarkan JAD, JPU juga meminta hakim menjatuhkan pidana denda terhadap kelompok ini sebesar Rp5 juta yang diwakili oleh pimpinannya Zainal Anshori, serta membekukan JAD dan organisasi lain yang berafiliasi dengan kelompok radikal Islamic State in Iraq and Syria (ISIS) atau Al Dawla Al Sham (Daesh) atau Islamic State in Iraq and Levant (ISIL) atau Islamic State (IS) dan menyatakannya sebagai korporasi terlarang.
Namun kuasa hukum JAD Asludin Hatjani mengatakan bahwa JAD tidak memerintahkan anggotanya untuk melakukan serangan teror di Indonesia dan serangan teror yang dilakukan oleh anggota JAD dilakukan atas kehendak perseorangan.
Sejumlah aksi teror yang terkait dengan JAD ialah bom Surabaya (Jawa Timur), bom Kampung Melayu dan bom Sarinah Thamrin (kedua peristiwa terjadi di Jakarta), bom Gereja Oikumene Samarinda (Kalimantan Timur), serta penyerangan personel kepolisian di Bima (Nusa Tenggara Barat) dan Medan (Sumatera Utara). []
SUMBER: ANADOLU