Oleh : Ramadani Ann Al-Qohirohiyyah
MALAM itu, sungguh tak ada yang spesial. Shakila masih lesu, mendekap bantal lalu pandangan menerawang ke luar jendela. Ada harap yang tak kunjung terpenuhi, rasa rindu membuncah. Sesosok pemuda rupawan telah menawan hatinya, Fauzi. Perkenalan yang tidak disengaja, dari sebuah grup Komunitas Penulis Indonesia di media sosial facebook.
Tulisan yang sering ia posting banyak membahas tentang syiar islam serta dakwah terkini. Shakila juga berkomunikasi dengannya lewat pesan pribadi, sekadar bertanya alamat hingga hal lainnya. Percakapan demi percakapan telah berlangsung, namun malam kemarin ada sesuatu yang terjadi, Shakila membalikkan badan. Posisinya masih terbaring di atas kasur, dengan posisi tubuh menghadap ke langit-langit kamar.
“Dek, sudah siap menikah?” tanya Fauzi saat chatting.
Tentu saja pertanyaan tersebut dinanti sebagian wanita dari orang yang dicintainya. Begitu juga Fauzi, bermaksud untuk ta’aruf, namun Shakila tidak semudah itu memberi jawaban. Justru menjawab dengan kalimat berbelit, mengalih topik serta bersikap acuh tak acuh, hingga Fauzi berujar bahwa dirinya telah menutup diri. Padahal bukan seperti itu maksudnya, tapi Shakila membiarkan Fauzi dengan sangkaannya sendiri. Mau ditahan pun tidak mungkin; kita adalah pikiran masing-masing.
Sehari setelah kejadian malam itu, Shakila pergi mengunjungi sahabatnya Rukayyah. Mereka berdua duduk di sofa ruang keluarga, kebetulan suami dari sahabatnya itu sedang tidak berada di rumah. Shakila menumpahkan semua pikirannya, bercerita perihal Fauzi yang telah mendominasi hati juga ruang pikirnya akhir-akhir ini.
“Aku harus apa, Rukayyah?” ujarnya sangat gundah.
“Jauhi dia … mungkin itu bukan cinta tapi nafsu,” seru Rukay.
Shakila menatap ruangan dengan hampa; peristiwa ini mengingatkannya kembali pada kejadian beberapa tahun silam. Saat itu ia telah mengutarakan rasa cinta pada ikhwan yang tengah menuntut ilmu di Turki, Raffa; teman seangkatan di Madrasah Aliyah dulu. Namun, lagi-lagi pikiran gadis ini menerawang jauh ke depan, sebab Raffa berstatus seorang pelajar, ia khawatir pernyataan itu akan mengganggunya. Esoknya, Shakila memutuskan pertemanan dengan Raffa, menafikan segala rasa yang sempat tertanam dalam hatinya.
“Mungkin ini bukan cinta, tapi nafsu. Maafkan aku!” ujar Shakila pada Raffa di saat chatting terakhirnya dua tahun silam.
Meskipun begitu, Shakila merasa tidak enak hati. Hingga detik ini masih memikirkan Raffa, bukan bersebab cinta; tapi rasa bersalah telah pergi menjauh di saat yang sama mengutarakan cinta. Ah, sungguh rumit membahas cinta, pikirnya.
“Mengapa kalian tidak mencoba saling ta’aruf?” Rukayyah memandang gadis itu dengan wajah bersemangat.
Shakila menggelengkan kepala, Rukayyah menasihati gadis itu dengan santun serta bijaksana. Menurutnya, jika secara fisik maupun psikologis belum siap untuk menikah, maka segala hal yang dilarang agama; masalah interaksi dengan ikhwan juga dilarang, apapun bentuknya. Shakila menyanggah, interaksi dengan Fauzi hanya sebatas chatting, bukankah itu hal biasa. Rukayyah mengangguk lalu tersenyum, kembali memaparkan masalah interaksi tadi, katanya jika benar hanya sebatas chatting, bukan tidak mungkin kalau sampai memikirkannya.
“Benar, aku selalu memikirkannya ….” ujar Shakila.
“Nah, kalau begitu artinya sudah biasa. Cinta hadir karena terbiasa, kalau tidak dibiasakan mungkin tidak akan cinta!”
Shakila mulai mengerti, sebenarnya dia tahu, tapi rasa kagum berlebihan menutup tabir ilmu yang pernah dikuasainya itu. Rukayyah menghidangkan semangkuk sup hangat, dan kedua wanita tersebut menikmatinya sembari membahas keseharian yang dilewati Rukayyah selama berumah tangga. Suka duka menjalani kehidupan berdua, meski awalnya sepasang suami istri itu tidak mengenal satu sama lain. Mereka dijodohkan, ridha atas pilihan orang tua, juga ridha karena jodoh langsung dipilih Allah. Sebagai makhluk-Nya, kita harus melabuhkan rasa cinta pada Sang Maha Cinta, bukan meliarkan nafsu berkedok cinta. Karena cinta itu sesungguhnya suci, tidak akan ternodai.
Setibanya di rumah, Shakila mengambil benda layar putih seukuran telapak tangan yang terhubung dengan dunia maya itu, mencari nama Fauzi, dan memilih tombol delete contact.
“Fauzi, maafkan aku. Mungkin ini juga bukan cinta tapi nafsu!” Shakila menghapus pertemanannya dengan Fauzi, demi cinta.
Betapa pun indahnya pesona seorang ikhwan ketika belum halal, maka ia tetap tidak halal. Shakila berusaha menaati perintah Allah untuk menjauhi zina; sebab zina bukan hanya persetubuhan. Zina mata dengan melihat yang diharamkan, zina tangan dengan menuliskan sesuatu yang memudharatkan, serta indera tubuh lainnya. Ada lagi zina terbaru; zina pikiran. Berimajinasi bahwa seseorang itu telah kita miliki, mencipta daya khayal fantasi, tentu tidak akan dibenarkan dalam islam.
Malam ini, Shakila memandang langit yang tiada berbintang. Perihal jodoh telah ia serahkan sepenuhnya pada pemilik-Nya. Meskipun telah menghapus beberapa ikhwan yang sempat bersemayam di hatinya, semua dikarenakan rasa cinta pada Sang Maha Cinta. Bukankah lebih baik saling bertemu dalam do’a, berujar tasbih tahmid memuji keagungan-Nya, maka suatu hari nanti, insyaaAllah jodoh terbaik akan datang. Asal mau memantaskan diri dulu; berlaku santun, berujar baik, dan benar.
“Ikhwan memesona itu haram ….” ujarnya sembari tersenyum. []