INGIN kuceritakan tentang putri ustadzah pengampu hafalan Al-Qur’an kami. Semoga ada hikmah dan pelajaran yang bisa diambil.
Usianya baru genap dua tahun di bulan Mei 2016 nanti. Kosa kata yang bisa diucapkan barulah Mbu, Mbak, Bapak, dan adek. Tapi ia sudah bisa menirukan kata terakhir di tiap ayat surat-surat pendek. Anaknya lincah, bagi kami ia terlalu cerdas. Sebab mudah bergaul dan diajari berbagai hal.
Bila kami setoran hafalan, maka ia akan mengambil salah satu Al-Qur’an di meja santri untuk hafalan. Caranya sama, membaca lalu menutup mata dan menghafalkan. Setelah itu ia mendekati sang ibu untuk menyetorkan hasilnya. Entah apa yang diucapkan, tapi sudah memiliki lagu seperti kami dalam bertilawah.
Bila kami memberinya Al-Qur’an dan buku bergambar atau majalah anak, maka Al-Qur’an lah yang ia pilih. Ia selalu menyenangkan dan menarik perhatian orang-orang sekitar meski belum ada yang dikenal.
Tak hanya itu, secara fisik ia tampak sangat cantik dan menunjukkan aura kealiman seorang bocah. Sempurna, bukan?
Kami sebutkan rahasia yang dilakukan orang tuanya. Bukan! Bukan ustadzah yang membocorkan, tapi karena kami tinggal satu pondok dan aktifitas beliau senantiasa berbaur dengan para santri, maka apa pun kegiatannya kami ketahui.
Begini, ibunya seorang hafidzoh dan ayahnya ahli fikih lulusan salah satu pondok pesantren terbesar di Indonesia serta Mesir. Bukan sekadar pandai dalam bidang ilmu, tapi memang diterapkan kepada kami, para santrinya.
Semasa hamil sampai saat ini, beliau bangun jam dua malam untuk shalat jama’ah dan dilanjutkan saling simak hafalan sampai pukul 3.30 WIB. Bukan mengintip, tapi karena kamar yang berdekatanlah kami bisa mengetahuinya. Setelah itu dilanjutkan memimpin kami shalat Tahajjud dan Mujahadah.
Mulai Dhuha sampai sore hari, ustadzah ndarus/tilawah sebanyak yang dimampu. Sepengetahuan kami, selama hamil sembilan bulan, paling sedikit beliau bisa khatam seminggu sekali. Kemudian Ustadz senantiasa puasa Senin dan Kamis tiada putus.
Kecerdasan dan kepandaian seorang anak adalah hasil didikan orang tua. Bukan semata-mata keturunan. Oleh sebab itu, sebagai calon ayah/ibu, alangkah jauh lebih baik kita siapkan segala ilmunya. Belajar mendidik anak sejak sebelum pernikahan.
Meski kita bukan seorang ustadzah atau putri kyai sekali pun, bukanlah hal mustahil akan tumbuh alim ulama, mujahid, atau para pengubah dunia dari rahim kita. []
Yogyakarta, 5 Jumadil Akhir 1437 H