Oleh: Wisnu Tanggap Prabowo
Pengajar di Sekolah Tinggi Ekonomi Islam Tazkia, Bogor, dan di LBPP LIA
SEBAGAIMANA kelapangan, kesempitan hidup adalah sunatullah yang mesti berlaku hingga Hari Kiamat. Sebaik apapun kualitas dan kuantitas ibadah sejatinya tidak serta merta membebaskan seseorang dari kesempitan hidup. Bahkan semakin baik kualitas keimanan justru mengundang ujian yang lebih “berbobot”.
Kualitas keimanan akan melapangkan hati di segala kondisi fisik dan jiwa karena kebahagiaan terletak di hati. Keimanan yang baik dan benar adalah modal untuk menyongsong Kampung Akhirat, bukan dunia. Mustahil seseorang terus menerus terbebas dari kemalangan di dunia. Bukan itu dunia diciptakan. Ini juga berlaku bagi seorang guru. Begitu pun para milyuner, pemimpin, hamba-hambaNya yang shalih atau yang ingkar, bahkan para Nabi dan Rasul.
Takdir Baik Guru
Upah adalah halal dan gaji adalah hak, sebagaimana korupsi adalah haram dan menahan hak adalah kezaliman. Syariat Islam mengharuskan seseorang menafkahi mereka yang menjadi tanggungannya, diri sendiri, dan membelanjakan sebagiannya untuk syiar Islam. Allah Maha Kaya telah menjamin rezeki sesuai kadar yang dikehendaki-Nya. Baik itu melalui upah status honorer, guru tetap, bonus, bagi hasil, dan semisalnya.
BACA JUGA: Bukannya Dibela, Siswi SMP di Blitar Korban Pelecehan Guru Malah Di-bully Teman
Ketika sesuatu telah ditetapkan, maka tidak akan luput atau datang melainkan apa yang telah “tertulis”. Kewajiban kita adalah menjemput nikmat dengan berusaha, atau yang disebut dengan ikhtiar, meski kata ikhtiar sendiri sebenarnya berarti pilihan, bukan berusaha.
Mungkin, kata ikhtiar yang telah mengakar ini dimaksudkan agar masing-masing dari kita mencermati pilihan dalam mencari penghidupan. Apakah menjemput rizki dengan cara halal, haram, atau dengan cara menggadaikan kehormatan dan kepentingan umum. Dengan meyakini ini, maka seorang guru akan tenang hatinya, dan tetap dalam komitmennya.
Guru sejak dahulu adalah pekerjaan mulia dan terhormat. Seluruh syariat Islam dan hikmah para Nabi diteruskan melalui para guru umat ini. Sulit rasanya mencari guru yang tidak lapang hatinya meski secara lahiriah dihimpit oleh ujian hidup. Saya yakin, mereka yang menggunakan hak bersuara terkait status honorer sebenarnya lapang hatinya, hanya saja saat itu ajakan untuk turun ke jalan lebih kuat ketimbang apa yang mendominasinya selama ini.
Kambing Hitam Profesi
Secara materi profesi pengajar seringkali dinilai tidak terlalu mumpuni. Namun konon, jika ingin memiliki pekerjaan yang menentramkan hati, maka jadilah seorang pendidik. Sebab, guru adalah penebar kebaikan berupa ilmu dan akhlak. Sebuah kelaziman bahwa kebahagiaan adalah memberi manfaat bagi manusia lainnya. Ini adalah keistimewaan pendidik dibanding profesi lainnya, dan keistimewaan sedekah dibanding amal kebaikan lainnya.
Tidak diharamkan memang untuk menuntut hak atau meminta upah yang lebih besar. Kedua hal itu sama sekali tidak mengurangi nilai profesi pendidik atau kehormatan seseorang. Dari kacamata Qadha dan Qadar, kedua hal itu juga tidak akan mempercepat, memperlambat, menambah atau mengurangi kadar rezeki.
Menuntut pengangkatan status honorer menjadi guru tetap bisa saja digolongkan ke dalam bentuk usaha jika dilakukan sekedarnya selama tidak mencederai semangat dan komitmen seorang pendidik. Guru tidak harus diidentikan dengan kekurangan. Namun jikalau terdapat pendidik yang terus menerus merasa sempit, maka bukan semata-mata bukan karena profesi guru itu sendiri.
Pun halnya dengan kematian. Meski seseorang berada di benteng yang kokoh, maka maut akan tetap menemuinya. Artinya, betapa pun kokohnya jabatan dan tingginya status profesi, hal itu tidak dapat membentenginya dari apa yang tidak disukainya. Kita harus mulai melihat aspek lain selain meratapi profesi guru untuk mencapai kesejahteraan yang kita kehendaki.
Seorang guru harus memperhatikan ideologinya sebagai induk visi misinya. Bagi seorang muslim, manifestasinya adalah akidah; apa motivasi ia mendidik. Apakah kecukupan harta, hidup yang bermanfaat, kehormatan, jabatan, atau selainnya? Ideologinya akan menentukan sejauh mana ia puas dengan karir dan keseluruhan hidupnya.
Adapun mengenai kondisi ekonomi yang dinilai kurang berpihak, maka ini tidak hanya dialami oleh profesi guru saja. Kalaupun indeks gaji profesi guru yang cenderung rendah, maka di sebagian besar negara di dunia pun demikian, kecuali segelintir.
PR untuk Guru
Bangsa Indonesia membutuhkan seorang pendidik yang terbebas dari kepentingan. Mencermati konflik di level pemerintahan dan di masyarakat, guru dituntut untuk turut serta dalam meminimalisir “kebingungan” generasi muda. Terlebih di tengah maraknya promotor “kebenaran” versi pemikir sekulerisme dan liberalism agama. Seorang guru bisa mengaitkan disiplin ilmunya untuk mengarahkan anak didik ke pemahaman yang benar dengan nilai-nilai positif dalam masyarakat yang tidak berbenturan dengan nilai agama, moral, budaya dan ketertiban umum.
BACA JUGA: Pentingnya Guru Panutan
Sejatinya, sekulerisme agama tidak hanya menerpa umat Islam saja, melainkan seluruh agama, tak terkecuali Nasrani. Justru pemisahan agama dari politik dan bernegara sejatinya diusung oleh gerakan penolakan campur tangan gereja dalam politik di abad 19.
Seorang guru sepatutnya menjelaskan, sesuai relevansi disiplin ilmunya, bahwa tidak semua kebenaran bersifat relatif. Kebenaran harus berdasarkan data empiris, telaah historis, dan harus merunut pada teks-teks primer spiritual. Sehingga generasi muda memiliki kemampuan deteksi dan memahami bahwa hak asasi dibatasi dengan hak asasi lainnya dan kebebasan berbuntut tanggung jawab terhadap ketertiban umum. Kebutuhan pendidik dalam mencerahkan generasi muda di tengah perang pemikiran sangatlah mendesak.
Andaikata guru dapat memadukan antara misi mulianya, berjihad dalam menafkahi keluarga, dan mencukupi diri agar terhindar dari meminta, termasuk secara bergerombol di jalan-jalan, maka kehidupan lebih baik adalah keniscayaan.
Setidaknya, kekayaan hati akan membuat guru memiliki derajat yang tinggi. Sehingga gaji, bonus, jabatan dan bentuk materi semisalnya tidak membelenggu perjalanan hidupnya yang mulia. Inilah puncak pencapaian seorang guru. []